Rumah tersebut berbentuk panggung. Tingginya sekitar dua meter dari permukaan tanah. Di dinding bawah rumah terukir motif-motif tradisional yang merupakan kombinasi dari lima warna khas daerah itu, yaitu merah, putih, hitam, hijau dan kuning atau biasa disebut oleh masyarakat yang bermukim di situ sebagai warna emas-emas.
Teras rumah itu dibuat dari susunan-susunan bambu yang disusun rapi. Untuk menaikinya dari arah depan, di sana terdapat sebuah tangga kayu yang terdiri dari tiga anak tangga, sementara dari arah belakang ada lima anak tangga. Ruangan masuk ke dalam rumah tersebut cenderung condong ke arah dalam dan tidak memiliki pintu.
Ketika baru memasukinya, pandangan mata akan tertuju pada lima buah para atau tungku api tempat penghuninya memasak. Di atas jejeran batu yang dijadikan tungku itu terdapat tempat untuk menyimpan kayu bakar. Delapan buah kamar tersedia dalam rumah itu. Di atapnya terdapat dua potong kayu yang memanjang dan dua potong kayu yang melebar sebagai penyangga rumah. Di ujung kenjahe atau arah barat dipasang kepala kerbau jantan dan di kenjuru-nya atau arah timur rumah itu dipasang kepala kerbau betina.
Rumah itu terbuat dari bermacam-macam kayu yang kuat dan kokoh, namun ada tiga jenis kayu yang menjadi syarat wajib dan harus ada dalam sebuah rumah. Jika syarat tiga jenis kayu itu sudah terpenuhi, maka kayu-kayu jenis lain bisa dipakai dengan leluasa untuk dijadikan material fondasi atau kontruksi rumah.
Tiga jenis kayu tersebut adalah ndarasi, ambertuah dan sibernaek. Ndarasi merupakan jenis kayu yang berfungsi agar keluarga dalam rumah tersebut bisa hidup serasi, ambertuah digunakan agar mereka dapat tuah atau keturunan dan sibernaek agar mereka mendapatkan rezeki yang banyak terutama dalam hal bercocok tanam sebagai mata pencaharian sehari-hari penduduk di tempat itu.
Siwaluh Jabu, begitulah nama rumah adat yang ada di Desa Budaya Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Karo, Sumatera Utara. Siwaluh Jabu bermakna “rumah delapan” jika diartikan secara harfiah. Maksudnya rumah tersebut terdiri dari delapan keluarga. Satu keluarga menempati satu kamar. Namun, kini rumah tersebut sudah ditinggalkan oleh para penghuninya. Hanya tinggal satu keluarga saja yang masih bertahan. Itupun karena tugas keluarga itu untuk menjaga kebersihan rumah. Mereka dibayar Rp. 500 ribu per bulan oleh Dinas Pariwisata Kota Karo.
Penghuni lain sudah banyak yang membangun rumah sendiri. Seperti yang dituturkan Brema Pranata Tarigan. Bocah kelas 6 Sekolah Dasar (SD) itu mengatakan bahwa keluarga-keluarga yang sebelumnya menempati rumah itu satu-persatu mulai keluar dan memilih untuk tinggal serumah hanya dengan keluarga sendiri. “Di sini tak ada lagi orang, semuanya udah pindah,” ujar Brema dengan polos.
Brema merupakan keluarga terakhir yang menjadi penghuni rumah itu. Ia tinggal bersama seorang adik, ibu dan ayahnya yang bekerja menjaga dan membersihkan rumah serta pekarangannya. Kadang-kadang ada juga turis yang berkunjung ke sana dan memberikan sejumlah uang yang dimasukkan dalam kotak sumbangan kebersihan yang ada di dalam rumah. “Ada yang kasih (uang) seratus, dua atau tiga ratus ribu untuk duit kebersihan,” tutur Brema.
Sekitar tahun 1970-an, tercatat ada 28 unit rumah adat di Desa Lingga tersebut. Rumah-rumah itu ada yang sudah berusia empat, tiga dan dua abad. Namun sudah banyak yang roboh dan hancur. Sekarang hanya tersisa empat rumah. Akibat gempa bumi yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua di antaranya roboh dan tak bisa ditempati lagi. Jadi rumah yang masih utuh saat ini hanya tersisa dua. “Kini hanya tinggal dua (rumah), dua lagi roboh karena gempa,” kata Hanita Ginting (51), salah seorang tetua kampung Desa Lingga yang kini memilih hidup mandiri dengan keluarganya.
Hanita baru sekitar lima bulan lalu meninggalkan rumah adat tersebut. Dulu ia tinggal di Sepuluh Dua Jabu atau rumah dua belas, yaitu rumah tempat tinggal raja yang terdiri dari dua belas keluarga. Ia merupakan generasi ketujuh dari seorang raja yang bernama Uroeng. Ia beralasan bahwa keluarganya memilih untuk meninggalkan rumah Sepuluh Dua Jabu karena zaman sekarang orang-orang sudah modern dan mulai mengenal privasi dan kebebasan berekspresi. “Kalau dulu ‘kan orang masih mau mengikuti aturan adat yang berlaku, tapi sekarang sudah maju. Sudah modern. Kalau (tinggal) di rumah itu ‘kan serba tertutup. Kita nggak bisa ngomong sembarangan. Orang juga butuh privasi,” tuturnya dengan Bahasa Indonesia yang lancar. Kebanyakan masyarakat Desa Lingga tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia.
“Sekarang di kampung (Lingga) ini sudah masuk listrik. Sudah ada lampu, tivi, radio dan peralatan canggih lainnya. Jadi kalau mau hidupin tivi di rumah (adat) itu ‘kan nggak mungkin, bisa mengganggu keluarga lain. Makanya kami pindah dan membangun rumah baru,” kata Hanita yang kemudian menyeruput segelas tuak panas yang terhidang di hadapannya.
Kini semakin banyak bekas penghuni rumah adat Lingga yang membangun rumah baru. Perlahan-lahan, penghuni rumat adat itu kian berkurang. Apalagi sekarang hanya tersisa dua rumah adat saja. Maka tak lama lagi eksistensi rumah ada tersebut akan punah. Hanita memahami realitas tersebut dan membuatnya khawatir. Namun bagaimanapun nasibnya rumat adat itu nanti, hal itu kembali berpulang ke kebijakan masyarakat Lingga sendiri. Seperti sekarang, yang tersisa hanya penjaga dan tukang bersih rumah adatnya saja, sementara rumah adat itu sendiri sudah lebih cenderung terlihat sebagai museum daripada rumah adat yang pernah menjadi bukti sejarah peradaban masyarakat Desa Budaya Lingga. []
*Penulis merupakan pemimpin redaksi DETaK Unsyiah dan delegasi Pelatihan Jurnalistik Tingkat lanjut (PJTL) Salam Ulos 2011 yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiwa (LPM) Suara USU, Berastagi, 27 September – 1 Oktober 2011.
Leave a Reply