Bagi masyarakat Kabupaten Karo, di Sumatera Utara, keberadaan Jambur atau Losd telah menjadi kebutuhan yang terbangun secara alami.Jambur atau Losd awalnya tempat sosial warga tanah Karo untuk memanen hasil pertanian atau jual beli dan di masa kini berkembang menjadi tempat menggelar pesta adat seperti perkawinan atau kematian.Hampir setiap desa di tanah Karo memiliki Jambur atau Losd. Jambur bahkan banyak ditemui di kota Medan, karena telah menjadi kebutuhan sosial.
Jambur jugalah yang meringankan kegagapan pemerintah Kabupaten Karo, yang selama ini hanya disibukkan oleh arus perdagangan hasil pertanian yang melimpah ruah, dalam menangani bencana Gunung Sinabung, yang dipercayai baru kali pertama terjadi dalam 400 tahun terakhir.
Meletus kali pertama pada 30 Agustus lalu, Gunung Sinabung telah meletus selama lima kali, sehingga memaksa warga di 15 desa di 3 kecamatan, yaitu Payung, Tiganderket, dan Naman Teran, untuk mengungsi ke ibukota Kabupaten Kabanjahe dan kota pariwisata Berastagi, bahkan ada yang memilih hingga luar Kabupaten Tanah Karo.
Jumlah pengungsi sempat mencapai 30.000-an pengungsi yang menempati 25 titik yang umumnya berupa Jambur atau Losd. Hingga 10 september jumlah pengungsi masih mencapai 27.000 lebih.
Warga Tanah Karo yang umumnya hidup dari bertani sebenarnya hidup dalam berkecukupan karena hasil pertanian yang melimpah-ruah. Saat mengungsi pun rata-rata bisa mengurus diri sendiri karena masing-masing memiliki kendaraan, dan memiliki kekerabatan yang masih kuat sehingga mampu saling tolong menolong. Soal bantuan di pengungsian, warga sekitar kecamatan yang tidak terdampak saja mampu memberikan bantuan yang lebih banyak dan cepat dibanding dari pemerintah daerah.
Dampak bencana Gunung Sinabung yang umumnya dirasakan warga adalah hembusan debu vulkanik dan bau belerang, namun dampak bisa berkurang karena wilayah Tanah Karo yang kerap turun hujan.
Meski banyak kemudahan, tentu saja pemerintah daerah maupun pusat tidak memandang sebelah mata bencana Gunung Sinabung yang memang masih ditetapkan sebagai bencana lokal. Yang pertama karena, status awas gunung Sinabung yang belum bisa diprediksi, dan awal letusannya pun luput dari prediksi Tim PVBMG (Pusat Vulkanologi dan Bencana Mitigasi Geologi). Penelitian dan peralatan yang akurat dan canggih tentu perlu segera dibenahi.Yang kedua, perlunya pengeloaan pengungsian dan informasi dampak bencana Gunung Sinabung yang membuat kota pariwisata andalan Sumatera Utara, Brastagi, terlihat kumuh dan enggan dikunjungi wisatawan, karena dianggap tidak aman.
Yang terakhir, pemerintah juga memikirkan nasib petani yang lahannya bakal tidak bisa ditanami dalam satu atau dua tahun ini akibat tertutupi debu vulkanik. Jangan sampai karena satu atau dua tahun tak bisa mengolah pertanian, derita warga pengungsi terus berlanjut.(liputan6)