Membanjirnya buah impor yang masuk ke pasar Indonesia tak terkecuali Sumatera Utara (Sumut), ditambah akan masuknya jeruk kino Pakistan pada tahun depan, membuat kalangan petani di sentra pertanian jeruk di Kabupaten Karo terus terpuruk karena produksi jeruk lokal selalu kalah bersaing. Rendahnya daya saing jeruk lokal selain karena faktor harga yang disebabkan biaya produksi tinggi, juga dikarenakan kualitas dan kuantitas produksi jeruk lokal kini semakin menurun akibat banyaknya serangan hama dan penyakit.
Ketua Asosiasi Petani Jeruk Indonesia Kabupaten Karo, Saul Surbakti, mengatakan, saat ini kondisi jeruk dari Karo atau yang sering disebut Jeruk Medan semakin menurun produksinya. Sebab, petani tidak memiliki gairah lagi mengembangkannya dan bahkan banyak yang telah mengalihfungsikan lahan ke komoditas tanaman lain yang lebih menguntungkan.
“Saat ini memang harga jual jeruk kita mahal, tapi itu pun tidak membuat petani senang. Karena jeruk lokal masih tetap kalah dengan jeruk impor yang dari segi bentuk, warna dan harga lebih menarik masyarakat,” ujarnya saat dihubungi MedanBisnis, Selasa (20/9).
Dikatakannya, jeruk impor asal China yang banyak dijual di pasaran memang sangat menganggu keberadaan jeruk lokal. Apalagi diperkirakan pada tahun depan impor jeruk kino dari Pakistan juga akan deras masuk dengan telah disepakatinya kerjasama perdagangan bebas antara Indonesia-Pakistan, yang membebaskan bea masuk (BM 0%) jeruk kino Pakistan masuk ke Indonesia.
“Ini pasti akan semakin menenggelamkan keberadaan produksi jeruk lokal. Sebab sekarang saja kita sudah ketar-ketir dengan banyaknya jeruk impor dari China, ditambah lagi pemerintah mengizinkan masuknya jeruk dari Pakistan. Kalau begini keadaannya petani pasti akan semakin merugi dan akan meninggalkan tanaman jeruknya,” kata Saul.
Kondisi sekarang, tambahnya, dengan banyaknya serangan hama dan penyakit pada tanaman jeruk membuat biaya produksi tanaman semakin tinggi. Ini belum sebanding dengan harga jual jeruk dan permintaan yang banyak dari pasar.
“Bagaimana kita mau tanam, kalau hanya buat rugi. Jadi lebih baik pilih tanaman yang lain saja,” ucap petani jeruk lainnya di Karo, Domino.
Untuk harga jeruk saat ini yang mencapai Rp 6.500/kg, dikatakan Domino memang lumayan tinggi dipicu minimnya produksi jeruk dan dengan ukuran buah yang kecil-kecil. “Tidak ada lagi jeruk yang ukuran super karena petani kurang perawaan dan sudah lemah membudidayakan jeruk,” akunya seraya menambahkan biaya produksi tanaman jeruk bisa mencapai Rp 4.700/batang pertahun.
Kabid Bina Usaha Tani Dinas Pertanian Sumut, Ratna Gultom, mengakui produksi jeruk lokal di Sumut memang semakin menurun. Kondisi ini bisa saja semakin parah dengan banyaknya buah impor yang beredar di pasaran, jika produktivitas tanaman buah lokal tidak dipertahankan.
“Tapi begitupun, tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena komoditas kita tidak kalah dengan buah impor dan telah memiliki pasar sendiri,” katanya.
Pemerintah juga tetap melakukan banyak program dalam peningkatan produktivitas tanaman komoditas hortikultura seperti pemberian bibit, pengembangan produksi, pembinaan dan lainnya sehingga petani tetap bergairah mengembangkan. “Seperti pembentukan asosiasi pemasaran ekspor buah yang difasilitasi pemerintah juga merupakan upaya mempertahankan produksi buah lokal,” imbuhnya.
Namun, selain itu, Ratna juga meminta kepada masyarakat untuk mencintai produk atau buah lokal yang kualitasnya lebih tinggi dibandingkan buah impor. Tidak hanya mendapat jaminan produk, tapi masyarakat juga dapat membantu petani dalam meningkatkan pendapatannya.
“Kita yang harus menghargai hasil kerja petani dengan membeli buah yang dihasilkan. Lagipula produk lokal terjamin kualitasnya meski harga sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan impor,” pungkasnya.
Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, nilai impor buah naik 49,07% periode Januari hingga Juli 2011 dengan US$31.050 juta dan volume 34.640 ton dibandingkan periode yang sama ditahun lalu dengan nilai US$20.829 juta dan volume 23.545 ton.(Medanbisnis)