“Awas batuuuuu…,” teriakan keras itu memecah malam sunyi. Dengan bantuan sinar senter, mata liar mencari arah jatuhan batu. Badan bergeser ke tubir tebing, sementara tangan erat mencengkeram akar pepohonan.
Tiba-tiba terdengar suara tak kalah keras, “Aduuuh.” Salah seorang porter, yang berada beberapa langkah di depan, rupanya terlambat menghindar. Tangannya terbentur batuan longsor. Untung hanya terluka kecil.
Walau “hanya” berketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut, pendakian ke Sinabung tidaklah mudah. Batuan rapuh, cadas licin berselimut lumut, dan tanjakan berkemiringan 75 derajat menemani perjalanan, 26 Juli lalu. Demi mengejar matahari terbit di puncak, perjalanan malam pun ditempuh.
Lau Kawar
Sehari sebelum pendakian, Puncak Sinabung diselimuti asap tebal. Digolongkan sebagai gunung api Tipe B—karena tak aktif sejak tahun 1600—Sinabung tiba-tiba meletus, 29 Agustus 2010. Letusan itu menaikkan status Sinabung menjadi Tipe A dan dipantau intensif.
Letusan itu juga menumbuhsuburkan ritual terkait gunung. Jejak ritual berupa sesaji terlihat di sepanjang jalur pendakian, biasanya berupa jeruk peras, daun sirih, dan rokok.
Pendakian diawali dari Danau Lau Kawar. Danau seluas 200 hektar yang siang hari begitu indah berubah misterius pukul 00.30. Pikiran pun melayang pada legenda danau tersebut.
Konon, sebelum jadi danau, Lau Kawar merupakan lahan pertanian. Hiduplah satu keluarga petani. Silih berganti anggota keluarga menunggu ladang, hingga siang itu tiba giliran sang nenek. Sebagaimana biasa, cucunya, Kawar, mengantarkan makanan.
Namun, dalam perjalanan, Kawar kelaparan. Tanpa pikir panjang disantapnya jatah nenek hingga tersisa tulang. Nenek kecewa ketika menemukan bekalnya tanpa lauk-pauk lagi.
Sambil menangis, ia berkata, “Daging pun aku sulit mengunyah, kenapa cucuku tega memberi tulang. Seakan aku tidak berguna lagi di dunia.”
Seketika itu juga hujan lebat turun, disertai petir. Banjir melanda, menenggelamkan Kawar, nenek, dan lahan pertanian sehingga terbentuklah danau yang dinamakan Lau Kawar.
Moral cerita ini barangkali untuk mengingatkan agar menghormati orang tua dan jangan serakah. Namun, di baliknya ada upaya merekonstruksi penciptaan danau. Antropolog dari Universitas Pittsburgh, Pamela J Stewart dan Andrew Strathern, dalam Landscape, Memory and History: Anthropological Perspectives (2003) menyebutkan, formasi alam yang unik, seperti gunung, danau, dan sumber air panas, kerap dikeramatkan. Pantangan dibuat demi menghormati ruang sakral itu.
“Saat mendaki Sinabung, tak boleh berpikir dan berucap kotor, membakar babi atau anjing, karena akan mendatangkan bencana,” kata Sidarta, pemandu pendakian.
Bagi orang Karo, Sinabung bukan sekadar gunung. Dia juga ruang spiritual, yang jejaknya terekam dari sejumlah sesajen di jalur pendakian. Antropolog dari Universitas Sumatera Utara, Sri Alem Sembiring, mengatakan, orang Karo percaya tendi yang mengisi alam semesta. Ritual dilakukan jika terjadi ketidakseimbangan antara tubuh dan tendi. Keseimbangan alam terganggu jika inti kehidupan, seperti tanah, air, dan udara, terusik. Ritual berfungsi menjaga keseimbangan makrokosmos agar tidak terjadi bencana.
Sang petarung
Bertolak dari tepi danau itu, kami mendaki ke puncak. Tidak banyak yang dilihat lantaran gelap. Satu jam mendaki, pepohonan lebat dengan akar menghalangi digantikan bebatuan cadas yang terbentuk dari lelehan lava. Jalan semakin terjal.
Batu-batuan longgar dengan mudah tercongkel dan gugur. Sebelum berangkat, petugas pos pemantauan Sinabung, Armen Putra, mengatakan, aktivitas Sinabung stabil dan aman didaki. Hanya saja, pendaki harus berhati-hati dengan kemungkinan runtuhan batu. Sinabung memang tak bisa diremehkan. Selain jalan terjal, bebatuannya pun rapuh dan mudah longsor.
Tak heran, Sinabung disebut “gunung petarung”. “Ada kepercayaan, jika mau sukses dalam hidup, dakilah Sinabung,” ujar Ita Sembiring, budayawan Karo.
Tiga setengah jam mendaki, kami tiba di area lapang, hanya 10 meter dari puncak. Hari masih gelap. Kami tiba satu jam lebih awal dari jadwal. Kabut tebal turun. Angin menderu kencang, membawa gigil dingin. Kami menunggu di tanah lapang itu, menggelar mantel dan membungkus tubuh dengan pakaian tebal yang dibawa.
Pukul 05.30, langit tetap gelap. Setengah jam berlalu, suasana tak berubah. Kami memutuskan menuju puncak. Berdiri di Puncak Sinabung, seperti tegak di atas awan. Matahari nyaris tak terlihat, bersembunyi di balik kabut. Kami bertahan, menunggu alam bermurah hati membuka diri.
Hanya sekelebatan kabut menyingsing. Tak cukup memberi waktu untuk mengabadikan panorama menawan.
Sinabung memberi kami pelajaran penting, gunung ini sulit diduga dan tak boleh diremehkan. *kompas
Leave a Reply