• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home
You are here: Home / Archives for Berita Baru

Berita Baru

Ketua DPRD Karo Telah Diganti

10 October 2011 by karo 1 Comment

Ketua DPRD Kabupaten Karo yang selama ini adalah Siti Aminah Perangin-angin SE akhirnya digantikan oleh Efendi Sinukaban yang merupakan salah satu wakil ketua PDI-P Cabang Kabupaten Karo.

Pergantian ini dilakukan melalui Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Karo [7/10] yang dihadiri 24 orang dan dinyatakan quorum. Dipimpin oleh wakil Ketua DPRD Kabupaten Karo, 6 orang anggota Fraksi PDIP hadir, kecuali Siti Aminah Perangin-angin. Maka diputuskan dan ditetapkan pergantian Ketua DPRD Kabupaten Karo dari Siti Aminah Perangin-angin SE kepada Efendi Sinukaban.

Tidak ada permasalahan berarti pada Rapat Paripurna tersebut. Semua berjalan lancar walau sebelumnya beredar kabar bahwa DPRD Karo akan melakukan kunjungan tiba-tiba bersama Pemkab Karo ke Jawa.

“Kunjungan kerja tersebut belum pernah diagendakan, rilis resmi tertulis akan kami berikan,” kata Plh Ketua PDI-P DPC Karo, Ir. Taufan AGung Ginting kepada Sora Sirulo [8/10 sorasirulo]

Filed Under: Berita Baru Tagged With: pergantian ketua dprd karo

“Jabu” dan Modernitas Lingga Karo

10 October 2011 by karo Leave a Comment

rumah ada karo lingga
Rumah tersebut berbentuk panggung. Tingginya sekitar dua meter dari permukaan tanah. Di dinding bawah rumah terukir motif-motif tradisional yang merupakan kombinasi dari lima warna khas daerah itu, yaitu merah, putih, hitam, hijau dan kuning atau biasa disebut oleh masyarakat yang bermukim di situ sebagai warna emas-emas.

Teras rumah itu dibuat dari susunan-susunan bambu yang disusun rapi. Untuk menaikinya dari arah depan, di sana terdapat sebuah tangga kayu yang terdiri dari tiga anak tangga, sementara dari arah belakang ada lima anak tangga. Ruangan masuk ke dalam rumah tersebut cenderung condong ke arah dalam dan tidak memiliki pintu.

Ketika baru memasukinya, pandangan mata akan tertuju pada lima buah para atau tungku api tempat penghuninya memasak. Di atas jejeran batu yang dijadikan tungku itu terdapat tempat untuk menyimpan kayu bakar. Delapan buah kamar tersedia dalam rumah itu. Di atapnya terdapat dua potong kayu yang memanjang dan dua potong kayu yang melebar sebagai penyangga rumah. Di ujung kenjahe atau arah barat dipasang kepala kerbau jantan dan di kenjuru-nya atau arah timur rumah itu dipasang kepala kerbau betina.

Rumah itu terbuat dari bermacam-macam kayu yang kuat dan kokoh, namun ada tiga jenis kayu yang menjadi syarat wajib dan harus ada dalam sebuah rumah. Jika syarat tiga jenis kayu itu sudah terpenuhi, maka kayu-kayu jenis lain bisa dipakai dengan leluasa untuk dijadikan material fondasi atau kontruksi rumah.

Tiga jenis kayu tersebut adalah ndarasi, ambertuah dan sibernaek. Ndarasi merupakan jenis kayu yang berfungsi agar keluarga dalam rumah tersebut bisa hidup serasi, ambertuah digunakan agar mereka dapat tuah atau keturunan dan sibernaek agar mereka mendapatkan rezeki yang banyak terutama dalam hal bercocok tanam sebagai mata pencaharian sehari-hari penduduk di tempat itu.

Siwaluh Jabu, begitulah nama rumah adat yang ada di Desa Budaya Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Karo, Sumatera Utara. Siwaluh Jabu bermakna “rumah delapan” jika diartikan secara harfiah. Maksudnya rumah tersebut terdiri dari delapan keluarga. Satu keluarga menempati satu kamar. Namun, kini rumah tersebut sudah ditinggalkan oleh para penghuninya. Hanya tinggal satu keluarga saja yang masih bertahan. Itupun karena tugas keluarga itu untuk menjaga kebersihan rumah. Mereka dibayar Rp. 500 ribu per bulan oleh Dinas Pariwisata Kota Karo.

Penghuni lain sudah banyak yang membangun rumah sendiri. Seperti yang dituturkan Brema Pranata Tarigan. Bocah kelas 6 Sekolah Dasar (SD) itu mengatakan bahwa keluarga-keluarga yang sebelumnya menempati rumah itu satu-persatu mulai keluar dan memilih untuk tinggal serumah hanya dengan keluarga sendiri. “Di sini tak ada lagi orang, semuanya udah pindah,” ujar Brema dengan polos.

Brema merupakan keluarga terakhir yang menjadi penghuni rumah itu. Ia tinggal bersama seorang adik, ibu dan ayahnya yang bekerja menjaga dan membersihkan rumah serta pekarangannya. Kadang-kadang ada juga turis yang berkunjung ke sana dan memberikan sejumlah uang yang dimasukkan dalam kotak sumbangan kebersihan yang ada di dalam rumah. “Ada yang kasih (uang) seratus, dua atau tiga ratus ribu untuk duit kebersihan,” tutur Brema.

Sekitar tahun 1970-an, tercatat ada 28 unit rumah adat di Desa Lingga tersebut. Rumah-rumah itu ada yang sudah berusia empat, tiga dan dua abad. Namun sudah banyak yang roboh dan hancur. Sekarang hanya tersisa empat rumah. Akibat gempa bumi yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua di antaranya roboh dan tak bisa ditempati lagi. Jadi rumah yang masih utuh saat ini hanya tersisa dua. “Kini hanya tinggal dua (rumah), dua lagi roboh karena gempa,” kata Hanita Ginting (51), salah seorang tetua kampung Desa Lingga yang kini memilih hidup mandiri dengan keluarganya.

Hanita baru sekitar lima bulan lalu meninggalkan rumah adat tersebut. Dulu ia tinggal di Sepuluh Dua Jabu atau rumah dua belas, yaitu rumah tempat tinggal raja yang terdiri dari dua belas keluarga. Ia merupakan generasi ketujuh dari seorang raja yang bernama Uroeng. Ia beralasan bahwa keluarganya memilih untuk meninggalkan rumah Sepuluh Dua Jabu karena zaman sekarang orang-orang sudah modern dan mulai mengenal privasi dan kebebasan berekspresi. “Kalau dulu ‘kan orang masih mau mengikuti aturan adat yang berlaku, tapi sekarang sudah maju. Sudah modern. Kalau (tinggal) di rumah itu ‘kan serba tertutup. Kita nggak bisa ngomong sembarangan. Orang juga butuh privasi,” tuturnya dengan Bahasa Indonesia yang lancar. Kebanyakan masyarakat Desa Lingga tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia.

“Sekarang di kampung (Lingga) ini sudah masuk listrik. Sudah ada lampu, tivi, radio dan peralatan canggih lainnya. Jadi kalau mau hidupin tivi di rumah (adat) itu ‘kan nggak mungkin, bisa mengganggu keluarga lain. Makanya kami pindah dan membangun rumah baru,” kata Hanita yang kemudian menyeruput segelas tuak panas yang terhidang di hadapannya.

Kini semakin banyak bekas penghuni rumah adat Lingga yang membangun rumah baru. Perlahan-lahan, penghuni rumat adat itu kian berkurang. Apalagi sekarang hanya tersisa dua rumah adat saja. Maka tak lama lagi eksistensi rumah ada tersebut akan punah. Hanita memahami realitas tersebut dan membuatnya khawatir. Namun bagaimanapun nasibnya rumat adat itu nanti, hal itu kembali berpulang ke kebijakan masyarakat Lingga sendiri. Seperti sekarang, yang tersisa hanya penjaga dan tukang bersih rumah adatnya saja, sementara rumah adat itu sendiri sudah lebih cenderung terlihat sebagai museum daripada rumah adat yang pernah menjadi bukti sejarah peradaban masyarakat Desa Budaya Lingga. []

*Penulis merupakan pemimpin redaksi DETaK Unsyiah dan delegasi Pelatihan Jurnalistik Tingkat lanjut (PJTL) Salam Ulos 2011 yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiwa (LPM) Suara USU, Berastagi, 27 September – 1 Oktober 2011.

Filed Under: Berita Baru Tagged With: rumah adat karo

Mengumpulkan Koin, Menyelamatkan Rumah Adat (Sebuah Bakti Mahasiswa)

7 October 2011 by karo 1 Comment

mari selamatkan rumah adat karo
Sekumpulan mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan Universitas Negeri Medan yang tergabung dalam Sanggar Seni Sirulo dan Sanggar Seni Tinuang melakukan pentas seni di beranda sebuah rumah adat Karo di Desa Melas, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, Sabtu (29/5)

Apakah anda perduli dengan nasib Budaya Karo. Jika andad perduli silakan baca artikel ini lebih lanjut. Artikel ini saya ambil dari kompas, barangkali ada diantara kita yang belum sempat membacanya. Mari kita sama-sama lestarikan budaya karo. Berikanlah sumbangsih anda meskipun itu adalah berupa Koin.

Nada suara Rajadat Bukit terdengar berat saat menceritakan nasib rumah adat milik keluarganya di Desa Melas, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara Matanya menerawang ke masa 30 tahun lalu, saat dirinya bersama tujuh keluarga lain harus meninggalkan rumah adat. Gerimis sore itu seperti memaksa Rajadat mengingat satu-satunya kesalahan komunal warga Karo yang menelantarkan warisan leluhur mereka, tak dapat merawat rumah adat.

Rumah adat milik keluarga Rajadat kini hampir rusak seluruhnya. Atap ijuknya di beberapa tempat telah berlubang, tak kuasa menahan gempuran air hujan. Akibat lama tak dirawat, banyak lumut tumbuh di atap ijuk tersebut.

“Saya lahir dan besar di rumah adat. Bahkan, sampai anak bungsu saya lahir, saya masih tinggal di sana. Sekarang anak bungsu saya sudah berusia 30 tahun,” ujar Rajadat yang mengaku tak lagi mendiami rumah adat sejak akhir 1970-an. “Mungkin sekitar tahun 1979 rumah itu tak lagi kami tempati. Saya tak ingat kapan persisnya,” kata Rajadat.

Rumah adat milik keluarga Rajadat didirikan pada 1922. Rajadat, yang kini berusia 68 tahun, mengingat, kakeknya yang dulu membangun rumah adat. Kini dia memasrahkan perbaikan rumah adat keluarganya kepada komunitas anak-anak muda yang tergabung dalam Sanggar Seni Tinuang dari Universitas Negeri Medan (Unimed) dan Sanggar Seni Sirulo dari Universitas Sumatera Utara (USU).

Kepedulian mahasiswa

Awalnya, aktivis Sanggar Seni Tinuang yang kebanyakan berasal dari mahasiswa Jurusan Seni Rupa Unimed mencoba memperbaiki dinding kayu rumah milik keluarga Rajadat. Mereka mengecat ulang dan menggambar beberapa ornamen adat khas Karo. Selain itu, anak-anak muda ini juga membuat beranda dari batang bambu di depan pintu. Beranda itu dilengkapi tangga kecil karena memang rumah adat Karo berbentuk panggung.

Karena ditinggalkan lama, jangankan beranda atau tangga, rumah adat di Desa Melas ini kondisinya mengenaskan hingga di bagian dalam. Tak bersisa sedikit pun bekas bahwa di dalam rumah pernah tinggal delapan keluarga. Namun, struktur bangunan rumah masih banyak yang utuh. Bekas dapur atau perapian masih tersisa dua, dari biasanya ada empat. Bagi rumah adat yang didiami delapan keluarga, biasanya memiliki empat dapur. Satu dapur untuk dua keluarga.

Selain itu, ornamen tempat menggantung bumbu masakan hingga tempat mengeringkan padi masih tersisa di dalam rumah. Struktur panggung rumah juga masih utuh. Kayu juhar dan ingul yang bisa dijadikan penopang lantai dan panggung rumah masih utuh dan selamat dari keropos. Hanya saja lantai rumah tak lagi bersisa. Kerusakan lain yang jelas terlihat adalah atap ijuknya.

Upaya aktivis Sanggar Seni Tinuang memperbaiki rumah adat Karo tersebut rupanya diketahui penggiat seni tradisi Karo lainnya di USU, yakni Sanggar Seni Sirulo. Secara kebetulan, komunitas yang tergabung dalam Sanggar Seni Sirulo menerbitkan tabloid bulanan bagi komunitas Karo di seluruh dunia. Mereka pun kemudian mengekspos upaya perbaikan rumah adat oleh Sanggar Seni Tinuang.

“Akhirnya kami berdiskusi dan sepakat agar ada gerakan moral untuk menyelamatkan rumah adat Karo dari kepunahan. Kami kemudian menggagas gerakan pengumpulan koin sebagai simbol kampanye moral menyelamatkan rumah adat Karo. Kami berharap kampanye ini bisa membuat masyarakat Karo di mana pun mereka tinggal sekarang ini ikut tergerak menyelamatkan warisan leluhurnya,” ujar salah seorang aktivis Sanggar Seni Sirulo, Juara Ginting.

Juara, yang kebetulan juga pengajar di Jurusan Antropologi USU, tengah meneliti rumah adat Karo untuk disertasi doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda. Bak gayung bersambut, upaya sesama anak muda Karo yang kebetulan tengah menempuh studi di Medan ini diwujudkan dalam Deklarasi Penyelamatan Rumah Adat Karo di Desa Melas, Sabtu (29/5). Diiringi gerimis, mereka berkumpul bersama perwakilan delapan keluarga pemilik rumah adat. Rajadat adalah kepala dari delapan keluarga yang pernah tinggal di rumah adat Desa Melas.

Sebenarnya masih ada satu bangunan rumah adat lain di Desa Melas. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah adat milik keluarga Rajadat. Namun, kondisinya sudah tak mungkin lagi diperbaiki. Atap ijuknya jebol. Air hujan langsung menimpa struktur kayu. “Rumah yang satu lagi tinggal menunggu runtuh. Kami tak mungkin lagi memperbaikinya. Sebenarnya yang seperti ini banyak dijumpai di pelosok desa Tanah Karo. Rumah adat yang rusak parah dan tinggal menunggu runtuh,” kata Juara. Rumah adat bagi masyarakat Karo adalah simbol komunalitas mereka.

Sabtu sore itu, setelah disepakati bagaimana cara menggalang dana memperbaiki rumah adat, dua komunitas seni tersebut berbarengan menampilkan seni musik tradisional Karo di hadapan seluruh penduduk Desa Melas. Seperti ingin menggugah kesadaran penduduk setempat akan warisan leluhur mereka, selain bermain musik dan menyanyi, mahasiswi USU dan Unimed tersebut juga mengajak warga menari landek, tarian keakraban dalam masyarakat Karo.

Niat baik dan kepedulian anak-anak muda Karo ini membuat trenyuh Kepai Tarigan yang pernah mendiami rumah adat di Desa Melas. Kepai merupakan kerabat Rajadat. Dia mengatakan, jika sampai rumah adat mereka selesai diperbaiki, mereka mempersilakan siapa pun yang hendak tinggal dan merawatnya. “Tanpa kami pungut apa pun, asal mau merawat rumah tersebut,” ujar Kepai. Bagi Kepai dan Rajadat, sudah cukup generasi setelah mereka mengingatkan kesalahan kebanyakan warga Karo yang membiarkan rumah adat mereka di ambang kepunahan.

Banyak pihak sebenarnya peduli terhadap ancaman kepunahan rumah adat Karo. Kolektor rumah adat di Indonesia malah tak peduli mengeluarkan banyak biaya untuk mengangkut seluruh struktur bangunan rumah adat itu supaya bisa dibawa ke luar Tanah Karo dan dimiliki mereka. Rumah adat milik keluarga Rajadat sempat ditawar untuk dibeli oleh Gereja Batak Karo Protestan. Namun, akhirnya keluarga memutuskan, tak menjualnya. Terlebih setelah ada niatan dua komunitas seni tradisi Karo di Medan memperbaiki rumah tersebut.

Menurut Juara, koin yang dikumpulkan ini akan menjadi titik awal perjuangan mereka merevitalisasi rumah adat Karo. “Semoga dengan upaya kami ini, akan semakin banyak orang Karo tergugah menyelamatkan salah satu identitas komunitasnya. Bagaimana pun rumah adat ini salah satu bentuk peneguhan identitas orang Karo,” katanya (sorasirulo)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: rumah adat karo, selamatkan rumah adat karo

Rumah Adat Karo, Ditinggal Tradisi

7 October 2011 by karo Leave a Comment

rumah adat karo hancur

Menyusuri petak demi petak tanah suku Karo, berjejer rumah dengan atap seng, kadang bertembok kayu, kadang bertembok beton. Di antara rumah-rumah modern itu, masih ada dua rumah unik. Rumah adat suku Karo, Desa Lingga, Kabupaten Karo.

Gerga, rumah panggung yang pernah ditinggali raja dan keturunannya, masih terlihat kokoh. Nampak kuat dibanding rumah adat lainnya. Ada satu keluarga yang tinggal di Gerga. Untuk merawat, dan mengasapkan rumah. “Kita tinggal di sini, biar rumah tidak rusak,” kata Brema Pranata Tarigan, seorang anak yang sekarang tinggal di Gerga. Ibarat kapal laut, makin sering kena air dan berpenghuni, tetap awet. Rumah adat, makin sering diasapi tengku api, tetap kokoh rumah adat itu.

Rumah adat yang ada sejak ratusan tahun yang lalu ini, dibangun dengan gotong royong warganya. Dengan ditopangi kayu pancang sekitar 16 buah, sebagai pondasi awal membangun rumah adat. Pemuda suku Karo mengambil kayu-kayu di hutan. Biar semangat, anak gadis ikut menunggangi kayu yang diangkat pemuda. Kayu dipilah dengan teliti, demi sebuah rumah yang layak ditinggali. Ada tiga kayu wajib yang harus ada ditiap rumah. Kayu Ndarasi, arti dalam bahasa Karo, sehat. Kayu Ambartuah, artinya keturunan. Kayu Sibarnaek artinya rejeki. “Supaya dalam satu rumah itu, sehat semua, banyak keturunan, mudah rejeki,” ujar Hamita Ginting, warga keturunan raja yang pernah tinggal di Gerga.
Ia juga menjelaskan, tidak sembarang kayu dalam membuat rumah. “Harus dimimpikan dulu sama dukun,” katanya. Para dukun yang menentukan, kayu mana yang layak untuk rumah. Jika dukun tak setuju. Cari lagi kayu yang lain, kemudian tunggu mimpi dukun, begitu seterusnya sampai dukun menyetujuinya.

Hamita Ginting masih menghuni rumah adat sekitar 7 bulan lalu. Namun ia lebih memilih tinggal di rumah sendiri. Bapak berumur 51 tahun ini, tahu betul tentang rumah adat, turis lokal atau internasional, banyak tanya kepadanya. Sehari-hari hidup bertani, pernah sekolah tamat SMA. Ingatannya masih kuat, cerita-cerita dari amaknya belum hilang.
“Saya dulu tinggal di rumah adat, 5 bulan lalu. Kehidupan jaman sekarang berbeda. Saya lebih memilih tinggal di rumah sendiri.”
“Di rumah adat, tidak bisa bebas.”
“Tidak bisa nonton TV dan denger radio…”

Dengan suara pelan, ia menceritakan segala hal tentang rumah adat Suku Karo. Ia tidak tahu pasti kapan rumah-rumah itu dibangun. Seingatnya, sekitar tahun 70-an, ada sekitar 28 rumah. Kian kemari, kian rusak. Tersisa 15 buah pada tahun 90-an. Sekarang 2 buah rumah adat suku Karo masih kokoh. Ia masih ingat, 7 tahun lalu masih banyak yang menghuni.

Selebihnya, rusak tak terawat. Gerga dan satu rumah adat biasa, yang tersisa. Ada beberapa rumah yang rusak 5 bulan lalu. Gara-gara hujan es dan angin kencang. Kebanyakan yang rusak tak berpenghuni. Dari pemerintah, Rp.500.000, tiap bulan, untuk uang perawatan. Warga banyak memilih hidup di rumah masing-masing. Sembari melihat robohnya rumah adat mereka. (lpminstitute)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: rumah adat karo, tidak terurus

Perbaikan Jalan Negara di Karo Terancam tidak Sesuai Waktu

5 October 2011 by karo Leave a Comment

perbaikan parit

Pembangunan sruktur jalan nasional wilayah I Provinsi Sumatara Utara (Sumut) batas Kota Kabanjahe–Merek tepatnya di Desa Sukadame Kec Tigapanah Kab Karo diperkirakan tidak akan selesai sesuai dengan batas kontrak. Proyek tersebut dikerjakan PT DIAN Perkasa dengan konsultan PT Triduta Mitraprama sesuai kontrak nomor : 05/KTR- APBN/033.04.498576/2011, tanggal 30 Mei 2011. Nilai kontrak sebesar Rp 2.154.056.260,- bersumber dari dana APBN tahun anggaran 2011. Volume pekerjaan 1.16 KM dengan masa pelaksanaan selama 120 hari klender. Sesuai perhitungan maka pekerjaan tersebut sudah selesai Rabu (28/9).

Menurut penuturan warga setempat pada watawan Kamis (29/9), keterlambatan perbaikan pekerjaan itu di duga atas kelalaian pihak kontraktor. Sejak di mulainya pelaksanaan proyek, pihak pemborong terkesan tidak serius mengerjakannya dan sering terhenti pekerjaannya tanpa alasan yang tidak jelas, ujar Erwin Perangin-angin.

Dikatakannya, situasi pekerjaan dilapangan pada hari ini Kamis (29/9) terlihat pihak pemborong masih terus beraktifitas melaksanakan pembuatan parit disisi bahu jalan. Sebagian hasil tumpukan galian parit masih dibiarkan menumpuk di saluran drenase tersebut, sehingga diprediksi mengganggu fungsi saluran drainase.

Selain itu, tampak bahan material berupa batu onderlag yang belum di gunakan masih berserakan di pinggir jalan. Ketika dikonfirmasi Kamis (19/9) kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan konsultan proyek tidak dapat dijumpai di lapangan. Menurut salah seorang pekerja proyek, tidak tau siapa pengawas dan petugas dari pemerintah. “Saya bekerja di sini atas suruhan bos saya,” ujarnya tanpa menyebutkan siapa bos itu. (ps/analisa)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: Perbaikan Jalan Negara

Amri Tambunan Sinyalkan Tokoh Karo Lanjutkan Pembangunan Deliserdang

5 October 2011 by karo Leave a Comment

Meski masa kepemimpinannya masih sekira 2,5 tahun lagi, Bupati Drs Amri Tambunan sudah mulai memberikan sinyal kepada tokoh-tokoh yang dinilai mampu memimpin untuk melanjutkan pembangunan Deliserdang, ke arah lebih baik di masa mendatang.
Salah satunya, sinyal tersebut diungkapkannya saat menghadiri halalbihalal sekaligus membuka secara resmi Musyawarah Cabang (Muscab) ke-3 Keluarga Muslim Karo (Kamka) Deliserdang, di Delitua, beberapa waktu lalu.

Sebelum menyampaikan sambutannya, Amri Tambunan secara diplomatik mengungkapkan harapannya agar tokoh masyarakat karo Deliserdang mengisi dan melanjutkan pembangunan di Deliserdang. Satu-satunya tokoh masyarakat karo Deliserdang yang namanya disebut Amri Tambunan yakni, H Sabar Ginting SE juga anggota DPRD Deliserdang dari fraksi PAN.

Isyarat Amri Tambunan tampaknya disahuti oleh tokoh masyarakat Karo. Ketua Umum DPP Kamka Drs H Ibrahim Tarigan saat menyampaikan materi Sejarah Kamka memaparkan keberhasilan tokoh muslim karo di Sumut. Beberapa di antaranya Ngogesa Sitepu yang saat ini menjabat Bupati Langkat, Timbas Tarigan Wakil Walikota Binjai dan lainnya.

Sedangkan di tingkat nasional ada Menteri Informasi dan Komunikasi Ir H Tifatul Sembiring, mantan Menteri Kehutanan MS Kaban dan tambah Sekjen DPP Kamka H Siddik Surbakti, kedua tokoh nasional tersebut merupakan tokoh karo yang muslim.

Ibrahim Tarigan juga menyebut nama Sabar Ginting beberapa kali terkait keberadaan masyarakat Karo di Deliserdang yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin di daerah tersebut pada masa mendatang.

Menyikapi sinyal yang ditujukan Bupati Amri Tambunan kepada dirinya, H Sabar Ginting ketika dikonfirmasi Analisa hanya tersenyum dan secara diplomatis, menjawab bahwa dirinya hanya berupaya dan berbuat semaksimal mungkin bisa bermanfaat bagi rakyat Deliserdang.

Tepat atau tidak dirinya memimpin Deliserdang, Sabar Ginting hanya melihat orang karo sangat potensial untuk memimpin daerah tersebut, bila bersatu dan membangun secara bersama-sama. Terlebih, sejarah Deliserdang tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan orang karo.

Beberapa warga Kamka yang dimintai pendapatnya, di antaranya Purnama Munthe menilai sinyal Amri Tambunan yang ditujukan kepada H Sabar Ginting cukup beralasan. Pasalnya, selain sukses membangun bisnis dengan mengibarkan bendera Ginting Jaya, Sabar Ginting juga telah menerima anugerah sebagai tokoh pembangunan langsung dari Bupati Deliserdang Amri Tambunan. (ak/analisa)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: Tokoh Karo

  • « Go to Previous Page
  • Page 1
  • Interim pages omitted …
  • Page 14
  • Page 15
  • Page 16
  • Page 17
  • Page 18
  • Interim pages omitted …
  • Page 30
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • La Kudiate
  • Percian
  • Rudang Rudang Sienggo Melus
  • Sayang
  • Nokoh

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2025 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home