Menyusuri petak demi petak tanah suku Karo, berjejer rumah dengan atap seng, kadang bertembok kayu, kadang bertembok beton. Di antara rumah-rumah modern itu, masih ada dua rumah unik. Rumah adat suku Karo, Desa Lingga, Kabupaten Karo.
Gerga, rumah panggung yang pernah ditinggali raja dan keturunannya, masih terlihat kokoh. Nampak kuat dibanding rumah adat lainnya. Ada satu keluarga yang tinggal di Gerga. Untuk merawat, dan mengasapkan rumah. “Kita tinggal di sini, biar rumah tidak rusak,” kata Brema Pranata Tarigan, seorang anak yang sekarang tinggal di Gerga. Ibarat kapal laut, makin sering kena air dan berpenghuni, tetap awet. Rumah adat, makin sering diasapi tengku api, tetap kokoh rumah adat itu.
Rumah adat yang ada sejak ratusan tahun yang lalu ini, dibangun dengan gotong royong warganya. Dengan ditopangi kayu pancang sekitar 16 buah, sebagai pondasi awal membangun rumah adat. Pemuda suku Karo mengambil kayu-kayu di hutan. Biar semangat, anak gadis ikut menunggangi kayu yang diangkat pemuda. Kayu dipilah dengan teliti, demi sebuah rumah yang layak ditinggali. Ada tiga kayu wajib yang harus ada ditiap rumah. Kayu Ndarasi, arti dalam bahasa Karo, sehat. Kayu Ambartuah, artinya keturunan. Kayu Sibarnaek artinya rejeki. “Supaya dalam satu rumah itu, sehat semua, banyak keturunan, mudah rejeki,” ujar Hamita Ginting, warga keturunan raja yang pernah tinggal di Gerga.
Ia juga menjelaskan, tidak sembarang kayu dalam membuat rumah. “Harus dimimpikan dulu sama dukun,” katanya. Para dukun yang menentukan, kayu mana yang layak untuk rumah. Jika dukun tak setuju. Cari lagi kayu yang lain, kemudian tunggu mimpi dukun, begitu seterusnya sampai dukun menyetujuinya.
Hamita Ginting masih menghuni rumah adat sekitar 7 bulan lalu. Namun ia lebih memilih tinggal di rumah sendiri. Bapak berumur 51 tahun ini, tahu betul tentang rumah adat, turis lokal atau internasional, banyak tanya kepadanya. Sehari-hari hidup bertani, pernah sekolah tamat SMA. Ingatannya masih kuat, cerita-cerita dari amaknya belum hilang.
“Saya dulu tinggal di rumah adat, 5 bulan lalu. Kehidupan jaman sekarang berbeda. Saya lebih memilih tinggal di rumah sendiri.”
“Di rumah adat, tidak bisa bebas.”
“Tidak bisa nonton TV dan denger radio…”
Dengan suara pelan, ia menceritakan segala hal tentang rumah adat Suku Karo. Ia tidak tahu pasti kapan rumah-rumah itu dibangun. Seingatnya, sekitar tahun 70-an, ada sekitar 28 rumah. Kian kemari, kian rusak. Tersisa 15 buah pada tahun 90-an. Sekarang 2 buah rumah adat suku Karo masih kokoh. Ia masih ingat, 7 tahun lalu masih banyak yang menghuni.
Selebihnya, rusak tak terawat. Gerga dan satu rumah adat biasa, yang tersisa. Ada beberapa rumah yang rusak 5 bulan lalu. Gara-gara hujan es dan angin kencang. Kebanyakan yang rusak tak berpenghuni. Dari pemerintah, Rp.500.000, tiap bulan, untuk uang perawatan. Warga banyak memilih hidup di rumah masing-masing. Sembari melihat robohnya rumah adat mereka. (lpminstitute)