Disambut sepi di dalam negeri, tak membuat Djasa Tarigan berhenti bergelut di kesenian tradisional Karo. Eksistensi sebagai putra daerah justru mendapat berbagai penghargaan dari negeri orang.
Pada “3rd International Rondalla Festival Querdas sa Pagkakaysa di Tagum City Philipina”, 12-19 Februari lalu Djasa Tarigan kembali dianugerahkan gelar Maestro Kulcapi Karo. Penghargaan itu diserahkan setelah penampilannya yang dianggap luar biasa oleh seluruh peserta.
Pada penampilannya itu, Djasa Tarigan memainkan lagu “Penganjak Kuda Sitajul” dengan kulcapi. Lagu itu mengisahkan cerita tradisional pada masyarakat Karo tentang seorang panglima pada masa peperangan dengan pasukan Aceh. Panglima tadi kemudian tewas ditembus peluru. Sebagai penghargaan masyarakat menggelar acara setiap tahunnya. Pada acara itu masyarakat meyakini arwah sang panglima hadir lewat suara kulcapi yang dipetik.
“Menurut seorang Maestro di Filipina itu, dia belum pernah mendengar efek suara seperti yang saya mainkan dari alat musik petik yang pernah ditemuinya di berbagai belahan dunia ini. Karena memang kulcapi bisa menimbulkan efek suara unik bila dimainkan menempel di kulit,” tuturnya.
Sebelumnya 2000 ayah dari Rocky Tarigan (25) dan Yanto Tarigan (21) ini dianugerahi gelar Maestro dari pabrikan elektronik asal Jepang, Technics. Gelar itu diberi berkat ide memprogram suara-suara dari musik tradisi masyarakat Karo untuk dimainkan pada keyboard. Ide yang bahkan belum terpikir oleh negeri yang menjadi raja elektronik itu.
Begitu juga dengan gelar maestro pertama yang diraihnya di Belanda. Gelar yang dianugerahkan karena keberhasilan membuat alat musik terpanjang di dunia. Ketika itu Djasa membuat keteng-keteng, alat musik tradisional Karo yang terbuat dari bambu sepanjang sembilan meter. Atraksi saat memainkan alat musik ciptaannya tadi mendapat aplaus dari peserta kegiatan yang digelar di Leiden University Belanda 2001 silam.
Namun semua itu tidak diraih dengan mudah bahkan tidak jarang harus menguras kantong pribadinya. Belum lagi pergolakan batin karena keinginan mengembangkan kesenian tradisional Karo justru membuatnya mundur dari bangku kuliah. Juga kerakusan masyarakat yang keliru melihat karyanya.
Lahir di Kabanjahe 19 Oktober 1963, Djasa kecil juga mewarisi bakat seni dari keluarga yang memang seniman. Untuk mengasah kemampuannya, Djasa berguru pada seniman tradisional Karo, Tukang Ginting (Alm) di Berastagi. Setelah menamatkan pelatihan, anak keenam dari 10 bersaudara ini bergabung dengan grup musik tradisi dan bermain di Hotel Bukit Kubu Berastasi sejak 1982.
Permainan alami yang diperlihatkan ternyata mendapat perhatian dari AP Pasaribu yang kala itu Rektor Universitas Sumatera Utara dan Rizaldi Siagian yang menjabat Ketua Jurusan Etnomusikologi USU. Djasa pun ditawarkan sebagai dosen musik Karo di kampus tersebut. “Setahun juga baru saya kasih jawaban dan itulah jalan saya ke Kota Medan,” kenangnya.
Perkembangan di dunia hiburan kala itu membuat Djasa yang juga aktif bermain musik di pesta-pesta masyarakat Karo sedikit kewalahan. Permintaan pun tidak lagi lagu tradisi semata juga lagu dangdut hingga lagu asing yang tidak mungkin diiringi dengan instrumen tradisional. Maka, mulai 1988 dirinya mengadopsi keyboard mendampingi alat musik tradisi yang tetap dipertahankan.
Inisiatif tadi terus menerus memberinya undangan bermain keliling Indonesia. Tidak itu saja, dirinya bahkan menjadi inspirasi puluhan grup musik Karo di sekitar kawasan Padang Bulan. Berlanjut pada membuat program suara masing-masing instrumen tradisional Karo ke dalam keyboard. Ide yang di satu sisi positif karena membuka lapangan pekerjaan sebagai pemain keyboard sekaligus berdampak negatif dan menyesakkan dada.
“Ide itu mendapat tentangan dari pemerintah dan kampus. Karena sekarang semua acara adat sekalipun hanya menggunakan keyboard. Tidak ada lagi alat musik tradisional yang memiliki interval nada berbeda dengan musik barat pada keyboard. Sekalipun orientasinya pada bisnis tapi situasi ini jauh dari gambaran saya dulu,” tutur pria single parents ini.
Djasa kemudian memutuskan berjalan sendiri memperkenalkan musik tradisional Karo. Bersama sahabatnya yang juga etnomusikolog Irwansyah Harahap mereka mengibarkan sansaka Merah-Putih dan menyanyikan Indonesia Raya di berbagai belahan dunia. Semua itu membuktikan bagaimana kebudayaan negeri ini sudah seharusnya mendapat perhatian pemerintah. Penghargaan yang tulus akan karya sang maestro pun diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kala di Istana Negara 2005 lalu. (jul)
Djasa Tarigan
Lahir : Kabanjahe, 19 Oktober 1963
Istri : Rosnala Br Barus (Alm)
Anak : Rocky Tarigan (25), Yanto Tarigan (21)
Alamat : Jalan Bunga Herba II No.26 Medan
Jabatan : Pemilik Djast Entertaiment
Penghargaan : Maestro Musik Karo di Leiden University Belanda 2000
Maestro dari Technics di Osaka Jepang 2001
Maestro Kulcapi Karo di Manila 2011
Karya : Program instrumen tradisional Karo pada keyboard 1986
Keteng-keteng terpanjang di dunia 2001
Konser Budaya Karo “Semalam di Tanah Karo” di Pardede Hall 2004
Kharismaadiputragurusinga says
Aqu mindo man kena ….uga daftar kampus musik karo na
Pio says
Lahir di Kabanjahe 19 Oktober 1963, Djasa kecil juga mewarisi bakat seni dari keluarga yang memang seniman. Untuk mengasah kemampuannya, Djasa berguru pada seniman tradisional Karo, Tukang Ginting (Alm) di Berastagi. Setelah menamatkan pelatihan, anak keenam dari 10 bersaudara ini bergabung dengan grup musik tradisi dan bermain di Hotel Bukit Kubu Berastasi sejak 1982.
Dari tulisan di atas untuk memenuhi selera masyarakat umumnya, sangat disayangkan beliau mulai beralih dengan menghilangkan beberapa bagian alat musik karo asli ke teknologi keyboard. Dan bahasa anak muda pun perlahan mulai bergeser yang tadinya kalo ngajak kawannya, Ayo nonton “perkolong kolong” menjadi Ayo nonto “keyboard”.
Jadi terus terang aku pribadi kurang sepaham adi ikateken maestro karena perban perubahan teknologi si e maka alat musik karo tergeser dengan keyboard.
Tiap mbegiken musik karo ijape gundari enggo bene sora surdam, surine ras kulcapi bagepe gendang karo.