Globalisasi menunjukkan wujud yang lain, tidak hanya bermotif ekonomi, juga kebudayaan. Globalisasi kebudayaan telah menggiring masyarakat pada tahapan prosesnya yang ketiga, yaitu era posmodern.
Pada era posmodern, masyarakat mengalami absurditas pada corak berpikirya, terjadi tumpang tindih antara spiritualitas pramodern dan rasionalitas modern. Hal ini juga dialami oleh berbagai kebudayaan tradisi di masyarakat Indonesia. Salah satunya, tradisi lisan -tradisi yang dilangsungkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi- masyarakat Karo yang dalam ritual gendang kematian-nya mulai bersinggungan dengan modernitas. Gendang lima sedalanen, salah satu ensambel dalam ritual gendang kematian mulai digantikan oleh keyboard.
Barker mengakui, wacana globalisasi turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang saling multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik dan identitas. Perubahan yang dianggap chaos ini diantisipasi melalui penyelidikan tentang budaya konsumer, budaya global, imperalisme budaya dan postkolonialitas. Proses globalisasi yang berciri ekonomi banyak mengacu pada sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme dan hal ini terkait dengan isu-isu makna kultural dan proses-proses kultural global (Barker, 2005: 133).
Pada perkembangannya kategori-kategori seni juga mengalami perubahan karena desakan modernitas. Seni tradisional yang dulu merupakan batang tubuh dari proses pengalaman dan pendalaman dalam kehidupan sehari-hari, mulai digantikan oleh seni modern. Pengalaman akan seni merupakan pengalamann estetis, sehingga seni dapat menyelidiki makna-makna kehidupan. Lebih jauh lagi, seni merupakan bagian dari pengungkapan hasrat-hasrat spiritualitas dalam mencari penjelasan mengenai keseimbangan alam semesta, sehingga spiritualitas menjadi penting untuk dipertahankan, dalam arus globalisasi kebudayaan dan kapitalisme saat ini.
Pada dasarnya spiritualitas memang tidak empirik, tapi memiliki-makna-makna yang terwujud dalam artefak-artefak kebudayaan masyarakat. Hal ini karena suatu produk kebudayaan akan selalu terikat pada isi-isi kebudayaannya. Bentuk dan isi merupakan perwujudan dari spiritualitas dan materialitas suatu masyarakat. Absurditas bentuk dan isi, saat ini terjadi karena pergumulan masyarakat dengan arus modernitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Bisa saja dalam perwujudan spiritualitasnya, nilai-nilai atau bahkan makna menjadi banal atau kosong.
Prinst (2003) mengatakan keselarasan antara manusia dengan alam akan menyejukkan dan mengharmoniskan irama kehidupan manusia dan lingkungannya. Sebaliknya, setiap ketimpangan (kejanggalan) yang terjadi dalam masyarakat akan mengakibatkan disharmoni (ketidakharmonisan) kosmos (alam) dan masyarakat. Ketidakharmosian ini akan menimbulkan bencana, seperti kemarau panjang atau malapetaka lainnya. Keselarasan atau keseimbangan dalam suatu mayarakat, sering dikaitkan dengan bagaimana mereka beraktifitas sehari-hari. Disitulah yang disebut sebagai kosmologi dapat terwujud.
Selanjutnya, Liembeng (2007), masyarakat Karo meyakini alam dan lingkungan, selain sebagai tempat hunian manusia, juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dengan makhluk-makhluk lain. Bagi penulis, inilah yang disebut sebagai perwujudan spiritualitas yang terkait dengan kosmologi masyarakat Karo.
Perwujudan spiritualitas masyarakat Karo sering diutarakan dalam berbagai ungkapan-ungkapan kesehariannya. Salah satunya, ungkapan yang sering diutarakan dalan upacara kematian, yaitu: buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi begu, yang artinya: rambut menjadi ijuk, darah menjadi air, nafas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu (begu) (Liembeng, 2007: 17). Kalimat tendi jadi begu, menyiratkan bahwa kematian merupakan salah satu perwujudan spiritualitas bagi masyarakat Karo. Hal ini dikarenakan berubahnya roh menjadi hantu (tendi jadi begu), menandakan setelah mati tubuh manusia akan kembali menjadi materi-materi yang dalam lingkungan kesehariannya tergolong benda mati. Roh tetap kekal dalam bentuknya sebagai hal yang abstrak, namun bisa dirasakan eksistensinya. Gendang kematian pun menjadi penting dalam kosmologi masyarakat Karo, karena dalam mati ada hidup dan dalam hidup ada mati.
Gendang kematian, salah satu ritual kematian yang terdapat pada masyarakat Karo. Didalamnya terdiri dari berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri dari lima unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan yaitu: (1) Gendang lima sedalanen (musik), (2) landek (tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (tangisan), (5) rende (nyanyian/senandung). Salah satu peranan gendang lima sedalanen sebagai iringan musik dan tari dalam upacara kematian adalah “perekat” dari semua unsur upacara. Gendang lima sedalanen digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai pesan dan harapan bagi keluarga dan bagi orang yang sudah meninggal dunia.
Secara simbolis Gendang lima sedalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan masyarakat Karo melalui berbagai unsur-unsurnya, seperti instrumen yang digunakan, para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Karena itu keberadaan gendang lima sedalanen menarik untuk diteliti dengan melihat bagaimanakah sesungguhnya bentuk, fungsi dan makna spiritualitas gendang lima sedalanen dalam gendang kematian pada masyarakat Karo. Gendang lima sedalanen merupakan simbol tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam, hingga kini. Penggunaan gendang lima sedalanen mengalami pergeseran pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu menggunakan instrumen tradisional seperti, sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), maupun gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau keyboard.
Sekurang-kurangnya dua dekade terakhir musik Karo telah menggunakan alat musik keyboard, yaitu alat musik modern yang memiliki berbagai fasilitas program musik. Bahkan alat ini cukup dimainkan oleh seorang pemain, guna menghasilkan musik combo (band), maupun orkestra (big band). Lebih jauh lagi telah terjadi konsensus di masyarakat Karo secara tidak sadar untuk menggabungkan unsur modernitas dan tradisionalitas mereka dalam istilah gendang kibod. Alat musik ini bahkan dapat menyerupai musik Karo dalam berbagai ekspresi dan kreasi seniman-seniman Karo. Peneliti telah mengamati dalam beberepa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran dalam gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi) dan nganting manuk (malam sebelum upacara adat perkawinan Karo berlangsung).
Dua tahun terakhir kibod mulai merambah ke gendang kematian pada masyarakat Karo. Hal ini terwujud bukan semata-mata karena ekonomi. Kepraktisan penggunaan alat ini, justru sebagai salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat menggunakan kibod. Selain itu penggunaan kibod juga tidak banyak melibatkan jumlah pemain, bahkan umumnya cukup dimainkan oleh satu orang (player). Gendang lima sedalanen bagi masyarakat Karo, merupakan prosesi ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu segala unsur gendang lima sedalanen dalam gendang kematian pada masyarakat Karo mengandung simbol-simbol dan makna simboliknya. Pudarnya sistem kepercayaan ini setidaknya mendorong perubahan maupun pergeseran pada penggunaan alat-alat tradisonal gendang Karo menjadi alat musik modern berupa kibod.
Memudarnya sistem kepercayaan asli masyarakat Karo juga tidak terlepas dengan sistem kepercayaan agama-agama wahyu yang hanya percaya kepada Tuhan Yang Esa. Makna sakral yang terdapat pada gendang Karo termasuk pada alat yang digunakan secara perlahan berubah menjadi makna profan, karena alat musik modern berupa kibod mampu menirukan repertoar gendang kematian. Secara perlahan masyarakat pemilikpun semakin kehilangan tentang makna dari gendang ini.
Spiritualitas Gendang lima sedalanen dalam gendang kematian pada masyarakat Karo dikhawatirkan tidak akan bertahan lama, padahal di dalamnya mengandung berbagai pesan dan mitos yang disampaikan secara lisan telah berlangsung berabad-abad.
Perbedaan spiritualitas tidak lepas dari terjadinya dinamika dalam struktur masyarakat. Masyarakat tradisional telah menjadi masyarakat modern, dan yang modern telah menjadi postmodern. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Yasraf sebagai postspiritualitas; kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan, sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur (Adlin, 2007: 207).
Kapitalisme tidak hanya menyentuh sendi-sendi profan dari suatu tradisi tetapi juga nadi sakralnya. Pada proses ini tentunya, seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa manusia bagian dari suatu kebudayaan perlu untuk berpartisipasi kritis terhadap fenomena globalisasi kebudayaan saat ini. Oleh Pulumun Ginting, S.Sn
Leave a Reply