Malam menjelang. Puncak Sinabung yang mengepulkan asap tebal baru saja lenyap dari pandangan. Senyap menaungi Desa Bekerah, Naman Teran, Karo, Sumatera Utara. Di rumah, sang kepala desa, Naik Sembiring, sibuk mengontak rekannya menggunakan radio panggil. “Kepala Desa Suka Meriah masuk… Uruk 4… masuk,” suaranya memecah sunyi. Berkali-kali memanggil, tak ada sahutan. Hanya suara gemeresak.
“Kepala Desa Sigarang-garang masuk…,” Naik Sembiring memanggil kepala desa lain. Tak ada jawaban. Tiba-tiba lampu mati. Gelap seketika menyelimuti. Naik tak menyerah. Ia tetap berupaya mengontak rekannya. “Di sana lampu mati atau tidak, ya?” ujarnya.
Kali ini terdengar jawaban dari seberang, “Silakan Kepala Desa Bekerah. Di sini mati lampu juga.” Keduanya kemudian terlibat obrolan tentang listrik yang kerap mati.
“Rupanya karena mati lampu jadi tidak ada kerjaan, ya. Baruhidupkan HT,” komentar Naik Sembiring, yang semula sebal panggilannya diabaikan rekan-rekannya.
Sejak Gunung Sinabung yang berketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut itu tiba-tiba meletus pada 29 Agustus 2010, Naik rajin bertukar kabar dengan kepala desa lain melalui radio panggil alias handy talky (HT) mengenai situasi teranyar Sinabung. Radio panggil tersebut pemberian Pemerintah Kabupaten Karo kepada kepala desa di radius 6 kilometer dari puncak agar berkoordinasi jika terjadi letusan Sinabung.
Setiap kepala desa, menurut Naik, memiliki nama sandi mulai dari Uruk (kampung) 1 hingga 30. Namun, dari 30 HT yang dibagikan, hanya separuh yang diaktifkan. “Beberapa kepala desa sama sekali tak pernah menghidupkan HT-nya,” katanya.
Naik mengatakan, sebagian rekannya merasa malu menggunakan HT. Kepala Desa Suka Meriah Amin Ginting punya alasan enggan menggunakan HT. “Baterainya sudah nge-drop, hanya bertahan dua jam,” katanya. “Padahal, sebenarnya, saya ingin berkomunikasi dengan kepala desa lain dengan HT itu.”
Bagi Naik dan kepala desa yang lain, berkomunikasi dengan HT merupakan hal baru. Oleh karena itu, sebagian enggan menggunakannya. Namun, demi keselamatan diri dan warganya, Naik antusias menggunakan HT. Ia bahkan rela merogoh kocek sendiri untuk membeli pengeras suara. “Jika terjadi letusan lagi, akan lebih mudah menginformasikan dan mengevakuasi warga,” ujarnya.
Sumber informasi
Naik kini terbiasa mengamati gunung, yang berjarak 33 kilometer dari tepi Kaldera Toba, yang sebelumnya tak pernah meletus itu. Begitu melihat perubahan di Gunung Sinabung atau terjadi gempa, biasanya ia langsung menghubungi Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di Bandung, Jawa Barat, guna mendapatkan informasi.
Ia baru merasa yakin bahwa informasi itu datang langsung dari pusat. Terkadang, warga ikut mendesaknya mencari informasi langsung dari Surono.
Lantas bagaimana jika kebetulan Pak Surono tidak bisa menjawab panggilan? Naik tak bisa menjawabnya. Mitigasi bencana mengandalkan satu atau dua orang saja pasti memiliki banyak titik lemah.
Walaupun sejak Sinabung meletus statusnya dinaikkan dari gunung api Tipe B—dengan alasan tercatat belum pernah meletus sejak 1600—menjadi Tipe A, infrastruktur pemantauan di sana lambat siap. Setahun berlalu, petugas pos pemantauan Gunung Sinabung, Armen Putra, belum mempunyai kantor tetap.
Armen dan dua rekannya yang bertugas memantau Gunung Sinabung harus menyewa rumah warga di Desa Ndokum Siroga, Simpang Empat, Karo. “Ini pos sementara. Kami masih mengusahakan ada pos pemantauan tetap,” ujar Armen.
Sampai saat ini, masih banyak warga yang tidak mengetahui keberadaan pos pemantauan ini. Akibatnya, pantas saja banyak kepala desa yang langsung menghubungi Surono.
Bukan hanya soal aliran informasi yang masih terpusat pada satu orang, menurut Naik, melainkan jalur dan prosedur evakuasi juga belum jelas. Ia khawatir pengalaman buruk saat letusan Gunung Sinabung tahun lalu terulang kembali.
Naik mengisahkan, saat itu terjadi kekacauan dalam evakuasi. Keluarga terpencar, anak-anak kecil terpisah dari ibunya. Tempat pengungsian tak mampu menampung luapan pengungsi.
Pengalaman itu mestinya menjadi momentum mengenalkan mitigasi bencana dalam perbendaharaan budaya masyarakat di lereng tersebut.
Namun, tampaknya itu tidak terjadi. Setelah Sinabung kembali tenang, kenangan buruk seakan terlupakan. Secepat hilangnya abu putih yang pernah total menyelimuti desa tersebut, secepat itu pula warga memadati desa-desa mereka, yang sebetulnya berada di dalam kawasan rawan bencana. Selain HT dan nomor telepon seluler (HP) Surono, nyaris tak ada hal baru yang dilakukan untuk membuat warga lebih waspada menghadapi letusan Sinabung.
“Tak banyak pengetahuan tentang antisipasi bencana yang diberikan kepada warga,” kata Naik. Informasi tentang evakuasi, menurut dia, baru diberikan ke tiga desa. Itu pun sebatas ditunjukkan harus lari ke mana jika Sinabung meletus lagi. Tidak ada pemasangan papan-papan petunjuk jalur evakuasi, apalagi perbaikan jalurnya. Padahal, terdapat jalan-jalan buntu yang berujung di sungai atau jurang di desa tersebut.
Menanamkan suatu budaya dan kesadaran baru, termasuk tentang mitigasi bencana, memang tidak mudah, tetapi harus dimulai sebelum Sinabung terbatuk-batuk lagi (kompas)
Leave a Reply