• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home

Deli Tua Situs Sejarah yang Terlupakan

14 September 2011 by karo 1 Comment

Selain wisata alam Danau Toba dan alam pegunungan di Bukit Lawang, Sumatera Utara (Sumut) masih mempunyai beberapa segi wisata, antara lain wisata sejarah. Salah satu wisata sejarah di Sumut yang belum banyak dikenal orang adalah menelusuri sejarah Kerajaan Haru, yang merupakan salah satu cikal bakal kesultanan yang melahirkan Istana Maimoon di Medan. Sejarah Kerajaan Haru pulalah yang memadukan masyarakat Karo, Melayu, dan Aceh pada sebuah pertalian.

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-15, Kerajaan Haru itu termasuk salah satu kerajaan terbesar di Sumatera, setara dengan Kerajaan Pasai dan Malaka. Saat ini, di wilayah bekas Kerajaan Haru ini telah berdiri sebelas kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara bagian timur, yaitu Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Karo, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu.
Pertalian Aceh, Karo, dan Deli bisa dilihat dari hal ini. Sultan pertama Kerajaan Deli yakni Tuanku Panglima Gocoh Pahlawan. Ia adalah Panglima Perang Aceh yang ditempatkan di sekitar wilayah Kerajaan Haru. Penempatan tersebut dilakukan untuk meredam pemberontakan terhadap Kerajaan Aceh pada masa Raja Iskandar Muda. Setelah menguasai ibu kota Kerajaan Haru di Deli Tua, Gocoh Pahlawan meminang putri keturunan Karo dan mendirikan Kerajaan Deli di tempat yang sama.

Salah satu Keturunan Gocah Pahlawan adalah Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, yang membangun Istana Maimoen pada akhir abad ke-19. Istana itu bahkan masih berdiri megah hingga saat ini di tengah Kota Medan, Sumatera Utara. Sabtu, 6 April 2002.

Menjelajahi situs Kerajaan Haru adalah sebuah keasyikan tersendiri. Lokasi bekas ibu kota Kerajaan Haru itu terletak sekitar lima kilometer dari Pasar Deli Tua Baru di Jalan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada daerah yang udaranya masih bersih. Cocok untuk trekking sambil berwisata.
Setelah melalui jalan aspal beberapa saat, perjalanan ke situs itu kemudian dilanjutkan dengan melewati jalan berbatu dan sempit, menyusuri pinggiran Sungai Deli dan menyeberangi sebuah jembatan gantung yang bergoyang saat dilewati.

Usai melewati jembatan gantung, sampailah kita pada jalan yang diberi nama Jalan Pancur Gading. Nama ini diberikan, sebab di sepanjang jalan tersebut akan ditemui dua dari sebelas pancuran air yang dikeramatkan penduduk setempat. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pancuran-pancuran air tersebut, dulunya, sering digunakan oleh penduduk di Kerajaan Haru, mulai dari raja hingga dayang-dayang kerajaan.

Kini, semua pancuran air tersebut telah dibuat permanen. Mata air yang turun langsung dari bukit tersebut ditampung dalam sebuah bak tembok setinggi satu setengah meter. Air tersebut kemudian dikeluarkan melalui dua buah pipa plastik yang tidak pernah ditutup sehingga airnya yang jernih itu mengalir terus-menerus.
Pancuran yang terbesar, yaitu berasal dari tiga titik keluaran air, terletak setelah kita melewati pancuran pertama yang berada di pangkal Jalan Pancur Gading. Penduduk setempat mempercayai bahwa pancuran terbesar itu merupakan tempat Putri Hijau, salah seorang penguasa terakhir Kerajaan Haru, untuk mandi. Situs sejarah bekas Istana Kerajaan Haru berada dekat dengan pancuran yang kedua itu. Pada hari libur atau akhir pekan, puluhan orang bermalam di pancuran ini.

Kini kita sudah dekat dengan situs sejarah peninggalan Kerajaan Haru. Dengan menaiki satu bukit lagi, sampailah kita di sana.

Akan tetapi, jangan membayangkan akan menjumpai runtuhan istana atau serakan batu candi misalnya. Situs itu kini hanya menyisakan gundukan tanah dengan tinggi sekitar lima meter dan lebar empat meter sehingga membentuk parit-parit yang dalam dan panjang. Gundukan tanah tersebut dibangun sebagai benteng pertahanan Kerajaan Haru saat menghadapi serangan laskar Sultan Aceh Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat atau Sultan Alaiddin Riayat Shah Al Qahhar.

“Orang Karo zaman dulu membangun rumah atau istana semata dari kayu. Jadi, tidak ada peninggalan yang bisa kita rasakan saat ini,” kata Darwan Perangin-angin, seorang tokoh masyarakat Karo yang mengarang buku “Adat Karo”.

Bukti bahwa gundukan tanah tersebut digunakan sebagai benteng pertahanan jaman Kerajaan Haru adalah letak gundukan tanah itu yang mengelilingi tanah datar yang ada di atas bukit itu. Tepat di atas tanah datar itulah tempat Istana Kerajaan Haru dan permukiman penduduk Kampung Deli Tua dulu berada. Sementara, letak gundukan tanah yang menghadap ke arah Sungai Deli dimaksudkan untuk menangkal serangan dari musuh yang masuk lewat laut melalui aliran Sungai Deli.

Dengan berada di situs bekas Istana Haru, kita merasakan betul bahwa lokasi istana itu sangatlah strategis. Dengan membayangkan bahwa keliling istana itu dulu dikelilingi pohon bambu, terasa betul betapa kuat dan strategisnya lokasi Istana Haru terhadap serangan musuh mana pun.

MASIH ada hal lebih menarik untuk kita telusuri. Perjalanan dilanjutkan ke permukiman penduduk yang terdekat dengan situs sejarah ibu kota Deli Tua tersebut, yaitu Dusun 1, Kampung Deli Tua, di Kabupaten Deli Serdang. Sekitar abad ke-15, kampung ini merupakan ibu kota Kerajaan Haru dengan nama yang sama yakni Deli Tua.

Sebagai bagian yang menyatu dengan bekas reruntuhan ibu kota Kerajaan Haru, yang masih tertinggal di dusun ini hanyalah ceritera-ceritera legenda yang dimiliki oleh hanya sebagian penduduknya, yang diperoleh mereka secara lisan turun-temurun dari orang tuanya. Maka, mampirlah ke sebuah kedai kopi di sana, dan dengarkan berbagai ceritera menarik dari penduduk, misalnya dari Nambun Sembiring Milala (71).

Di kampung tersebut, hanya Nambun yang masih menyimpan ceritera-ceritera legenda, seperti Putri Hijau yang mempunyai dua orang saudara yang berubah wujud menjadi naga dan meriam puntung. Legenda rakyat yang berkembang tentang Kerajaan Haru, pada beberapa bagian, memperoleh penguatan dari bukti-bukti yang ditemukan oleh penduduk Kampung Deli Tua itu sendiri.

Kisah tentang kemenangan laskar dari Sultan Aceh dalam perang melawan Kerajaan Haru, misalnya dari kisah mata uang dirham (deraham dalam bahasa Karo), yang berbentuk logam dan konon yang terbuat dari emas. Uang logam emas bertuliskan huruf Arab tersebut digunakan pasukan Aceh untuk memancing pasukan Haru keluar dari bentengnya.

Bukti bahwa peristiwa penyebaran uang logam tersebut terjadi bisa kita dapatkan dari ceritera para penduduk di sini. Nambun mengatakan sudah pernah menemukan lima keping uang logam emas yang dipercaya pernah digunakan oleh pasukan Kerajaan Aceh tersebut. Uang-uang emas itu ia temukan di sekitar pekarangan rumahnya pada sekitar tahun 1970.

“Sudah saya jual. Waktu itu, sekitar 10 tahun lalu, satunya masih laku Rp 4.000. Sekarang saya tidak menyimpan satu pun. Di sekitar sini juga pernah ditemukan patung naga terbuat dari emas dan pada bagian matanya dari berlian. Tapi, sudah diamankan polisi saat itu juga,” kata lelaki kelahiran tahun 1931 itu menambahkan.

Bukan hanya Nambun, Ngirim Ginting juga mempunyai pengalaman sama, hanya saja benda bersejarah yang ditemukannya berbeda. Ngirim menceritakan bahwa ia pernah menemukan sarung keris yang terbuat dari emas, serta beberapa peluru timah berbentuk bulat. Sarung keris berlapis emas itu kemudian ia jual ke Pasar Deli Tua Baru, sedangkan peluru-peluru timah itu ia lebur dan dijadikan sebagai vas bunga di rumahnya.
“Saya jual sarung keris itu waktu harga emas masih Rp 2.000 segramnya. Hampir semua penduduk di sini pernah menemukan uang logam emas Deraham itu, tapi pasti dijual. Terakhir masih ada yang menemukannya tahun kemarin,” kata Ngirim.

Satu-satunya penduduk yang masih menyimpan uang logam tersebut adalah seorang ibu, penduduk dusun yang sama, yang enggan disebut namanya. Uang emas berdiameter kurang dari satu sentimeter itu ditunjukkannya kepada Kompas untuk difoto.
Berhiaskan kaligrafi dalam huruf Arab dan ukiran berbentuk bulat di sekeliling pinggiran lingkarannya, uang dirham itu memang tampak sangat tua. Penduduk setempat menyebut kaligrafi itu sebagai tulisan berbahasa Aceh.

Namun, baik Nambun maupun Ngirim mengakui, mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa uang logam tersebut bernilai sejarah yang tinggi. Mereka tidak mengerti bagaimana sebuah uang emas tipis seperti itu mampu mengungkapkan jati diri dan sejarah keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa uang logam tersebut terbuat dari emas 24 karat dan bernilai uang jika dijual.

“Mereka juga tidak mengerti bahwa selama ini rumah yang mereka diami berada di sebuah bekas ibu kota kerajaan besar di zaman dahulu. Mereka tidak sadar bahwa dusun tempat mereka tinggal adalah sebuah situs sejarah yang mengenaskan karena tidak tersentuh usaha perlindungan sejarah, dan segera akan terlupakan,” ujar Darwan.(Kompas)

Filed Under: Sejarah Tagged With: benteng putri hijau, deli tua

Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

13 September 2011 by karo 1 Comment

Prof. Dr. Rasinta Tarigan, drg.,Sp.KG
Prof. Dr. Rasinta Tarigan, drg.,Sp.KG

Lukisan-lukisan Rasinta Tarigan mengekspresikan banyak tema, namun tema paling dominan adalah budaya Karo. Idiom yang digunakan untuk mengekspresikan ide-idenya adalah corak seni modern. Latar belakang Rasinta sebagai orang Karo yang dibesarkan dengan budaya Karo sangat mempengaruhi tema lukisannya. Meskipun Rasinta telah menjalani pendidikan modern, hingga jenjang tertinggi (S3) di Jerman, lukisan- lukisannya mengangkat nilai-nilai lokal budaya Karo. Rumah-rumah tradisional Karo, wanita-wanita Karo, kampung halaman Karo, keindahan alam Karo adalah beberapa tema lukisannya.
Rasinta menjadi pelukis karena dorongan hatinya. Cita-cita menjadi pelukis sudah ada sejak masih kanak-kanak dan keinginan diwujudkan dengan usaha keras, Rasinta belajar pada sejumlah pelukis, dunia akademis senilukis di ASRI Yogyakarta juga pernah dimasukinya meski tidak lama. Rasinta Tarigan pelukis yang juga seorang guru besar bidang kedokteran. Dia seorang Profesor. Setelah tidak aktif sebagai dosen di almamaternya, Rasinta produktif berkarya menciptakan lukisan. Di usianya 70 tahun, karya-karyanya dipamerkan pada tanggal 10-11 September 2011 di Ruang Pamer Kampus IT&B Medan, Jalan Mahoni No. 16 Medan.

Senang Melukis Sejak Kanak-kanak

Lukisan “Putri Hijau” karya Pelukis Rasinta Tarigan.
Rasinta Tarigan lahir di Kabanjahe 30 Agustus 1941. Meskipun senang melukis, latar belakang keluarganya bukanlah keluarga seniman. Kedua orangtuanya tenaga medis (perawat) di Rumah Sakit Zending Sibolangit. Latar belakang pendidikan Rasinta dijalani di sekolah umum, yaitu pendidikan dasar di Sekolah Rakyat. Kemudian dilanjutkan di SMP Nasrani Jalan Candi Biara (1955). Studi di SMA I Medan (1958).

Cita-citanya menjadi pelukis menggebu-gebu, namun dorongan keluarga untuk studi dibidang kedokteran begitu kuat. Rasinta melanjutkan studi di peguruan tinggi di Universitas Sumatera Utara (USU) di Fakultas Kedokteran Gigi. Studinya berlanjut hingga jenjang doktoral (S3) di Deutsche Akademische Austausch Dients (DAAD) Jerman. Rasinta memanfaatkan waktu luang masa studinya dengan ikut kursus melukis selama studi di DAAD Bonn Jerman. Selain itu, Rasinta juga menggunakan waktu luangnya untuk mengunjungi museum-museum seni di negeri itu.

Sejak kecil Rasinta menggemari lukisan dan komik (cerita bergambar). Dia suka membaca komik Ramayana dan Mahabrata. Sakin sukanya dengan gambar, dia membuat sendiri komik berjudul “Patisumus”. Komik lainnya berjudul “Hutan Larangan”.

Kecintaannya pada dunia senilukis begitu mendalam, Rasinta bekeinginan besar menambah pengetahuan dan ketrampilan melukis, dia pun belajar melukis pada M. Kamel. Tidak puas belajar pada seorang guru, Rasinta berpetualang hingga ke Jawa. Dia masuk studii Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada tahun 1963-1964. Selain itu, Rasinta belajar melukis pada Ng. Bana Sembiring.

Lukisan “Tanah Karo dan Gunung Sinabung”
Lukisan-lukisan Rasinta cenderung ekspresif representasional. Sapuan kuasnya spontan. Warna-warna lukisanya cenderung warna tersier dan skunder. Warna-warna gelap dikombinasikan dengan warna terang, membuat lukisannya mampu tampil menarik. Pusat perhatian (centre of interest) lukisan dibuat dengan menciptakan warna terang di antara warna gelap.

Komposisi lukisannya balans asimetris dengan menempatkan objek-objek secara bebas, namun tetap tampak seimbang. Manusia, rumah, orang dan adat serta tradisi Karo dilukiskan secara representasional. Sejumlah fragmen budaya Karo terangkai dalam satu frame lukisan, seperti sebuah synopsis.

Budaya Karo dalam perubahan, lukisan-lukisan Rasinta merepresentasikan perubahan dari nilai tradisi ke modern. Rasinta Tarigan meskipun telah bergelar Profesor, Dr. drg, Sp.Kg dan hidup dalam masyarakat modern, unsur-unsur tradisional Karo tidak bisa dilepaskan sama sekali. Lukisan-lukisan karya Rasinta Tarigan menggunakan idiom-idiom seni modern, namun aspek ideologi lukisan berisi nilai-nilai tradisi budaya Karo. Lukisan berjudul Gadis Karo, Rumah Karo, Guru Patimpus, Putri Hijau adalah beberapa tema lukisannya yang menunjukkan hal itu.

Aktif Pameran Lukisan

Sebagai seorang pelukis, Rasinta aktif dalam berbagai kegiatan pameran lukisan tunggal maupun kelompok. Pameran lukisan tidak hanya dilakukan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Sejumlah kegiatan pameran tunggalnya antara lain pada tahun 1988 pemeran tunggal di PPIA Medan, pembukaan dilakukan oleh KOF Schneider. Tahun berikutnya 1989 pameran tunggal di Taman Budaya Medan, dibuka oleh Kepala Taman Budaya. Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun1996 pameran tunggal di Uni Plaza Medan, dibuka oleh KOF Schneider (Konsul Jerman untuk Medan).

Tahun 1995 Rasinta pameran tunggal di Sanggar Malioboro Medan, dibuka oleh Ir. Nurlisa Ginting. Selanjutnya 1996 pameran tunggal di SIMPASSRI Medan, dibuka oleh Ben Pasaribu. Pameran tunggal ke-7 di Galeri 33 Medan. Pameran tunggal ke-8 di Galeri Milenium Plaza De Best Jakarta Selatan, dibuka oleh Ir. Sarwono Kusumaatmadja. Pameran tunggal ke-9 di Galeri Tondy, dibuka oleh Grace Siregar. Berikutnya pada tahun 1997 pameran tunggal di Herford Jerman.

Selain pameran tunggal, Rasinta aktif dalam kegiatan pameran kelompok. Beberapa aktivitas pameran kelompok diikutinya. Tahun 1985 pameran bersama di Galeri SIMPASSRI Medan. Tahun 1986 pameran bersama Maxy di Galeri SIMPASSRI Medan. Tahun 1987 pameran bersama dengan M. Yatim di PPIA Medan. Tahun 1992 pameran bersama dengan G. Siregar di PPIA Medan. Tahun 1994 pameran bersama dengan G. Siregar di PPIA Medan. Tahun 1995 pameran bersama dengan G. Siregar di HDTI Medan. Tahun 1995 pameran bersama seni eksperimental di Medan. Tahun 1967-1995 pameran bersama pelukis SIMPASSRI di Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Sibolga, Padang, Banda Aceh, Lampung, Jakarta, Solo. Tahun 1998 pameran bersama SIMPASSRI di Medan.

Kolektor Lukisannya

Lukisan-lukisan Rasinta Tarigan termasuk telah banyak dikoleksi oleh sejumlah pecinta senilukis. Karya-karyanya terpajang di sejumlah rumah dan perkantoran. Lukisannya berjudul “Rumah Karo” dikoleksi oleh Prof. EN. Kosasih (Medan). Lukisan berjudul “Beca-Beca” dikoleksi oleh Ir. Pardede. Lukisan berjudul “Nande-Nande” dikoleksi oleh Arris Djuri.

Selain dikoleksi oleh para kolektor tersebut, lukisannya juga dikoleksi oleh kolektor lainnya. Lukisan berjudul “Meniup Suling” dikoleksi oleh Drg. Mercia Sitorus. Lukisan berjudul “Rumah Karo” dan “Ngampekan Tulan-Tulan” dikoleksi oleh CV Union Medan. Lukisan berjudul “Pasar” dikoleksi oleh ibu Suhendra. Lukisan berjudul “Labuhan” dikoleksi oleh kolektor di Sei Kambing Medan. Lukisan berjudul “Ersurdam” dikoleksi oleh kolektor di Jalan Bukit Barisan Medan. Lukisan berjudul “Wanita Karo” dikoleksi oleh Prof. Bucharo Kasim. Lukisan berjudul “Ikan-Ikan” dikoleksi oleh Mr.Urs dari Jakarta. Lukisan berjudul “Wanita-Wanita” dikoleksi oleh Raja Inal Siregar.

Gigih Berkesenian Hingga Usia Senja

Rasinta Tarigan melewati usia 70 tahun. Meski memasuki usia senja, semangatnya berkesenian tidak pernah pudar. Rasinta produktif berkarya menciptakan lukisan, selain itu juga masih sangat bersemangat untuk berpameran. Energinya seperti matahari, menyala terus seolah tidak akan pernah padam. Kegigihan dan semangatnya berkesenian pantas menjadi teladan bagi para pelukis muda. Selamat berpameran Rasinta Tarigan, terus bersemangat menginspirasi kaum muda untuk gigih berkesenian.

Analisa

Oleh : Dr. Agus Priyatno, M.Sn
Penulis: dosen pendidikan seni rupa FBS Unimed.

Filed Under: Berita Baru

Pendengar Setia Radio Karo Online

8 September 2011 by karo Leave a Comment

logo karo
Ini beberapa screeshoot pendengar Radio Karo Online. Ada yang bersedia mendonasikan untuk penyediaan server Streaming Indonesia?
listener radio karo online

pendengar setia lagu karo

terimakasih buat semua, bila mau request Lagu Karo, bisa melalui twitter di RadioKaroOnline atau di group Facebook Radio Karo.

Filed Under: Berita Baru Tagged With: dengar radio karo, listening radio online, radio karo

Menghilangnya Beru di Nama Wanita-Wanita Karo

6 September 2011 by karo 5 Comments

gadis karoBelakangan ini banyak sekali wanita-wanita Karo yang tidak lagi menggunakan br (beru) di namanya. Misalkan Anita br Ginting, dibuat menjadi Anita Ginting. Hal ini terlepas dari penggunaan nama di Facebook yang memang tidak memperbolehkan penggunaan gelar (Dr. Ir. Prof. dll) didalam pemilihan nama, dan br ini juga dianggap sebagai salah satu bagian dari gelar tersebut, sehingga tidak bisa digunakan.
Di sebuah majalah mengenai Karo yang cukup populer, ada beberapa pengurus majalah tersebut yang berjenis kelamin wanita dan tidak menggunakan br di dalam namanya, apakah ini contoh yang baik? Yang secara notebene majalah tersebut adalah majalah yang konon katanya, untuk memperkenalkan Karo, berikut seni dan budayanya.
Beru adalah salah satu keunikan orang Karo yang harus tetap dijaga, keunikan yang hanya ada di Karo sendiri. Pernah di satu perkumpulan, seseorang yang ada didepan anak muda, berkata “apai kam si merga Karo Karo angkat tanddu!”, dan ternyata yang aku lihat sungguh diluar dugaan, hampir semua gadis br Karo Karo ikut mengangkat tangan, bukan hanya yang merga Karo Karo (laki-laki), apakah disini orang karo sendiri tidak lagi memahami arti dari merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk wanita).
Disamping itu di komunitas-komunitas Karo yang aku ikuti, ada kecenderungan para wanita menggunakan bahasa Indonesia untuk saling menyapa, sangat lain dibandingkan ‘anak perana’ yang masih banyak menggunakan bahasa (cakap) Karo dalam berbicara.

—
Adi kita kin kalak Karo (si diberu) pake lah beru ibas gelarnta.

Filed Under: Opini Tagged With: beru karo

Trauma Tsunami Aceh, Warga Karo Berhamburan Keluar Rumah

6 September 2011 by karo Leave a Comment

seismograph

Gempa bumi berkekuatan 6,7 SR mengguncang Aceh dan Medan, Sumatera Utara Selasa dinihari. Akibat gempa tersebut, warga Desa Gongsol, Karo, Sumatera Utara panik dan berhamburan keluar rumah.

Salah seorang warga Desa Gongsol, Firman mengatakan, getaran tersebut sangat kuat sehingga masyarakat berhamburan keluar rumah.

“Guncangan sangat kuat, sehingga semua orang lari ketakutan keluar rumah,” kata Firman saat dikonfirmasi okezone, Selasa, (6/9/2011).

Menurut Firman, dirinya masih trauma dengan tsunami di Aceh 2004 silam yang memakan korban jiwa yang besar. “Aku masih trauma waktu tsunami di Aceh,” pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, gempa berkekuatan 6,7 SR mengguncang Aceh dan Medan, Sumatera Utara Selasa dinihari. Situs Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mencatat gempa terjadi pukul 00.55 WIB, Selasa (6/9/2011).

Lokasi gempa berada pada titik 2.81 LU – 97.85 BT. Pusat gempa berada 59 Km Timur laut Singkilbaru-Aceh. Atau 78 km Barat Daya Kabanjahe, Sumut. Sedangkan Pusat gempa berada di kedalaman 78 Km. Gempa tidak berpotensi tsunami. Belum diketahui kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa tersebut. (put)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: gempa bumi

Sastra Karo Selayang Dipandang

4 September 2011 by karo Leave a Comment

Sastra Karo Selayang Dipandang

Era Sastra Karo
Sejak kapankah sastra Karo ada ? sejauh penelitian yang dilakukan penulis, tidak ada penanggalan yang akurat perihal masa pelontaran sastra Karo. Namun, guna memudahkan penelaahan, era sastra Karo dapat dibagi dalam dua masa, yakni Era Klasik dan Era Modern. Yang dimaksud dengan Era Klasik, adalah karya sastra yang lahir sebelum 28 Oktober 1928, yang bercorak cipta kedaerahan. Tema-tema yang di usung, lebih mengedepankan dongeng dan mitos. Seperti, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan bisa berbicara. Peperangan antara gunung sibayak dan sinabung.

Seperti kisah Ampie Ampio. Cerita rakyat Karo ini berkisahkan tentang suami istri yang berubah menjadi burung. Hal ini dikarenakan anak-anak mereka sangat malas, suka melawan orangtua dan suka berkelahi satu sama lain. Meskipun telah dinasehati berkali-kali, tetap saja tidak ada pertobatan dari anak-anak tersebut. Karena keputusasaan, akhirnya ayah dan ibu mereka berdoa, bersumpah dan meminta agar takdir kehidupannya dirubah apabila anak-anak mereka tetap tidak berubah.

Doa ayah dan ibu tersebut dianggap angin lalu oleh anak-anak mereka. Di penghujung keputusasaan, akhirnya orangtua mereka meminta kepada Penguasa Kehidupan, agar diri mereka diubah menjadi burung yang akan terbang kesana-kemari. Sehingga diri mereka terlepas dari beban penderitaan hidup. AKhirnya, sepasang suami istri tersebut berubah menjadi sepasang burung.

Semenjak kejadian ini, perubahan drastis terjadi pada anak-anak mereka yang merasakan kehilangan mendalam. Mereka sangat menyesali tingkah laku mereka. Yang tadinya malas dan suka bertengkar, tiba-tiba menjadi akur dan rajin sekali. Setiap senja tiba, anak-anak mereka selalu bernyanyi sambil menengadah ke langit ;
Ampie ampio, sora kami erlebuh bandu
Ampie ampio, ulihi kami nande bapa kami
Ampie ampio, ukur metedeh kami la erngadi-ngadi

Ampie ampio melukiskan suara siulan untuk memanggil burung. Pemaknaannya dalam bahasa Indonesia ;

Ampie ampio, suara kami memanggil-manggil dirimu.
Ampie ampio, kembalilah kepada kami wahai ayah ibu kami
Ampie ampio, rasa rindu di hati kami datang tiada hentinya

Penyesalan selalu datang terlambat. Ayah ibu mereka tidak dapat lagi berubah menjadi manusia. Kisah ini sering dijadikan orangtua sebagai dongeng bagi anak-anak mereka sebelum tidur. Dongeng ini memiliki amanah utama, agar anak-anak tidak malas, cinta orangtua dan akur dengan saudara-saudaranya. Amanah tambahan, agar manusia juga mencintai margasatwa yang ada. Karena di ujung cerita diungkapkan, anak-anak tersebut tidak lagi mengenal burung yang mana yang menjadi jelmaan orangtua mereka. Akhirnya, mereka sangat mencintai setiap burung. Dan setiap senja, mereka menaburkan makanan burung di halaman rumah mereka. Dengan harapan, dari puluhan burung yang datang untuk makan, dua diantaranya adalah orangtua mereka.

Sementara Era Modern, ditandai lahirnya nasionalitas Indonesia dengan pengakuan secara resmi bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Meskipun demikian, penulis belum ada menemukan karya sastra Karo yang bertemakan nasionalitas Indonesia pada masa tersebut. Walaupun begitu, setidaknya gaung Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, juga membahana ke bumi turang meski terlambat beberapa waktu, karena minimnya sarana komunikasi. Tema-tema yang diusung, didominasi oleh gambaran kehidupan social kemasyarakatan.

Pemandangan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada sastra Indonesia. Beragam pendapat muncul perihal tonggak kelahiran kesusastraan Indonesia. Menurut pandangan Nugroho Notosusanto sebagaimana dikemukakan Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, 1995, kesusastraan Indonesia lahir seiring berdirinya organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia yang pertama, yakni Budi Utomo, pada 20 Mei 1908.

Namun, penentuan kelahiran tersebut, harus juga didasarkan pada adanya karya sastra nyata, yang bersifat nasional. Kenyataannya, pada tanggal tersebut belum ada karya sastra yang bersifat nasional Indonesia. Ada karya sastra yang terbit sekitar tahun 1920 yang telah berciri nasional dengan bahasa Indonesia. Yakni, roman Student Hidjo karya Mas Marco, 1919 dan Hikayat Kadirun karya Semaun, 1920. Sementara pengakuan secara resmi perihal bahasa, bangsa dan tanah air Indonesia baru dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.
Pergumulan dan kegelisahan perihal bunga rampai sastra daerah dan nasional, tidaklah perlu dianggap sebagai penghalang. Tetapi akan lebih nikmat bila dijadikan santapan awal guna menggeluti lebih jauh perihal khasanah sastra. Lebih baik menjaga dan melestarikan apa yang masih tersisa, sembari tetap mencari apa yang masih terasa hilang.

Secara tidak langsung, mau atau tidak mau, sastra Karo merupakan bagian dari sastra Indonesia. Sebab, khasanah kesusasteraan nasional Indonesia, ditopang oleh kesusasteraan daerah yang terdapat dari Sabang hingga Merauke. Jadi, yang menjadi substansi kegelisahan, adalah bagaimana agar Sastra Karo menjadi eksis dan tidak tenggelam diantara `hiruk pikuk` kesusasteraan di Indonesia.

Agar sastra Karo dapat dikenal secara nasional dan internasional, maka sastra Karo itu harus memakai `jalan pengenalan` yang diakui publik sesuai dengan segmen sasaran yang ingin dicapai. Misalkan, menggunakan bahasa Indonesia untuk tingkat nasional, dan minimal menggunakan bahasa Inggris untuk kalangan internasional.

Sementara, penilaian akan kwalitas sebuah karya sastra, cenderung bersifat relatif. Karena, ini tergantung `kaca mata` penelaahan yang dipakai si penerima (pembaca) karya, dan tergantung bagaimana si pembuat karya menyampaikan pesan melalui karyanya. Penilaian tersebut berlaku umum. Terlepas dari pergumulan di atas, upaya-upaya untuk menggali dan mengembangkan karya sastra Karo, baik yang berkembang di Era Karo Klasik dan Era Karo Modern, perlu terus digalakkan. Karya sastra merupakan cerminan sosial sebuah peradaban yang mengandung amanah-amanah kehidupan. sebagaimana kaidah sastra, maka dia akan berkembang dan tumbuh seiring zamannya.

DEFENISI SASTRA KARO
Apakah defenisi sastra Karo ? Apa ciri khas sastra Karo dibandingkan karya sastra suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia?. Berbicara tentang Karo, tentu ada dua poin utama. Yakni orangnya dan alam ulayatnya. Merujuk hal tersebut, maka sastra Karo, tentunya karya sastra yang bertautan erat dengan unsur-unsur berikut, yakni :

Pertama, bertautan dengan orang Karo dan system kekerabatan yang dianutnya. Yakni, Merga Silima (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.), Rakut Sitelu (anak beru, senina/sembuyak dan kalimbubu), Tutur Siwaluh (sipemeren, siparibanen, sipengalon, anak beru, anak beru menteri, anak beru singikuri, kalimbubu, puang kalimbubu) dan Perkade-kaden Sepulu Dua + Sada (Unsur Sepulu Dua = nini, bulang, kempu, bapa, nande, anak, bengkila, bibi, permen, mama, mami, bere-bere).

Sedangkan untuk unsur Sada, beragam pendapat muncul mengenai apa yang dimaksud dengan Sada (Satu) tersebut. Ada tiga tafsir yang muncul. Pertama, Sada merupakan perwakilan dari adanya keyakinan, bahwa terdapat kekuatan yang ada di luar unsur manusia. Keberadaannya tidak terlihat, namun dapat dirasakan. Dia diyakini memiliki kekuasaan atas alam dan manusia. Kedua, Sada merupakan perwakilan dari Ketuhanan sebagaimana yang digambarkan oleh kepercayaan/agama-agama yang masuk ke wilayah nusantara, khususnya wilayah yang didiami suku Karo. Tafsir ketiga, Sada merupakan perwakilan dari suku bangsa lainnya, yang hidup berdampingan dengan suku Karo. Lebih jauhnya lagi, orang yang berasal dari suku bangsa lainnya tersebut, ditabalkan memeluk salah satu dari silima merga. Misalkan karena perkawinan silang, atau eratnya rasa persaudaraan yang terjalin. Dalam beberapa kasus sekarang ini, penabalan merga kepada yang di luar suku Karo, sudah cenderung bermotifkan kebutuhan politik.

Bila merunut ke belakang, ditambahi lagi dengan informasi-informasi yang diperoleh penulis semasa masih remaja (1990-an) dari Alm. Sapih br Purba, yang saat itu berusia 82 tahun, maka penulis cenderung berpendapat kalau yang dimaksud dengan unsur Sada dalam system kekerabatan masyarakat Karo, adalah tafsir yang pertama.

Kedua, mengandung unsur alam/wilayah ulayat Karo. Merujuk kepada hasil rekomendasi dari Kongres Kebudayaan Karo 1996, maka yang disebut dengan Tanah Karo adalah meliputi enam (6) wilayah yang di kawasan tersebut dihuni banyak masyarakat Karo. Antara lain :

1. Kabupaten Karo
2. Kabupaten Dairi (2 Kecamatan : Tiga Lingga dan Taneh Pinem)
3. Kabupaten Deli Serdang (13 Kecamatan : Lubuk Pakam, Bangun Purba, Galang, Gunung Meriah, Sibolangit, Pancur Batu, Namo Rambe, Sunggal, Kutalimbaru, STM Hilir, Hamparan Perak, Tanujung Morawa dan Sibiru-biru)
4. Kabupaten Langkat (8 Kecamatan : Padang Tualang/Batang Serangan, Bahorok, Salapian, Kuala, Selesai, Sungai Bingai, Binjai dan Stabat)
5. Sebagian Aceh Tenggara, yakni daerah Lau Desky, Lau Sigala-gala, Lau Perbunga serta Kecamatan Simadam.
6. Kotamadya Medan, yang dikatakan didirikan Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Ketiga, bahasa penyajian adalah bahasa Karo. Idealnya, menggunakan aksara Surat Haru yang dilandasi tulisan Nagari yang dibawa migran dari India sembari memperkenalkan agama Budha sekitar abad ke-5. Minimal, menggunakan bahasa Karo yang dilandasi huruf latin.

Untuk kwalifikasi pertama dan kedua di atas, adalah hal yang tidak merepotkan untuk masa yang sekarang. Namun, ketika memasuki poin yang ketiga, tentu banyak pergumulan yang perlu direnungkan. Jangankan dulu untuk orang di luar Karo, namun, untuk kalangan masyarakat Karo sendiri, diyakini tidak ada lima persen pun yang masih memahami Surat Haru. Namun, bilamana untuk kebutuhan lokal, dan tujuan untuk melestarikan warisan leluhur, ketiga kwalifikasi di atas perlu dijadikan rujukan utama. Meski demikian, upaya untuk membangun pembelajaran tentang Surat Haru, perlu terus digenjot.

Pemandangan lainnya perihal bahasa adalah, perbedaan mengenai dialek Karo itu sendiri. Menurut penelitian Darwin Prinst, dialek Karo itu terbagi lima. Yakni, Teruh Deleng, Singalur Lau, Liang Melas, Jahe dan Julu. Sedangkan bila menurut pendapat Henry Guntur Tarigan, bahasa Karo terdiri dari tiga dialek utama. Yaitu, Dialek Gunung-gunung, Dialek Kabanjahe dan Dialek Jahe-jahe. Perbedaan dialek tersebut, tentu mempengaruhi pencitraan karya baik melalui lisan atau tulisan. Terutama tulisan yang menggunakan huruf Latin. Sebab, metode pengucapan mempengaruhi penulisan. Belum diketahui pasti, apakah hal tersebut juga akan terjadi bila menggunakan Aksara Haru.

JENIS-JENIS SASTRA KARO
Merujuk kepada Rumusan Seminar Adat Istiadat Karo ke-3 yang diadakan di Kabanjahe, 16-19 Februari 1977, maka jenis ragam sastra yang diwarisi masyarakat Karo adalah : Cakap Lumat, Talibun Gurindam, Lak-lak Kayu, Buku-buku Pustaka, Lagu Tabas-tabas, Lagu Pingko-pingko, Lagu Tangis-tangis dan Lagu Kolong-kolong.

Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan dalam Bunga Rampai Seminar Kebudayaan Karo dan Kehidupannya Masa Kini, Kabanjahe, September 1985, mengemukakan, masyarakat Karo memiliki tradisi sastra lisan dan tulisan.

Sastra lisan merupakan suatu tradisi pada masyarakat Karo. Sastra lisan ini biasanya dipergunakan pada upacara-upacara adat. Seperti upacara melamar gadis, upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara menghormati orang yang berusia lanjut, upacara kematian, upacara peletakan batu pertama mendirikan rumah, upacara memasuki rumah baru, upacara memanggil roh, upacara menanam dan menuai padi, upacara pesta tahunan, upacara menolak roh-roh jahat, upacara memanggil hujan, upacara menolak hujan dan lain sebagainya

Bentuk-bentuk sastra lisan yang terkenal pada masyarakat Karo, antara lain:

Ndungdungen : Dapat disamakan dengan pantun Melayu, biasanya terdiri dari 4 baris bersajak abad. Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.

Bilang-bilang : Yang berupa ‘dendang duka’, biasanya didendangkan dengan ratapan oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ibu yang telah meninggal dunia, meratapi idaman hati yang telah direbut orang lain atau pergi mengembara ke rantau orang.

Cakap Lumat : Atau ‘bahasa halus’ yang penuh dengan bahasa kias, pepatah pepitih, perumpamaan, pantun, teka-teki, dan lain-lain. Cakap lumat biasanya digunakan oleh bujang dan gadis bersahut-sahutan pada masa pacaran dimalam terang bulan; atau oleh orang tua pemuka adat dalam berbagai upacara, misalnya upacara meminang gadis.

Turin-turin : Atau cerita berbentuk prosa, misalnya mengenai asal usul marga, asal-usul kampung, cerita bintang, cerita orang sakti, cerita jenaka dan lain-lain. Biasanya diceritakan oleh orangtua pada malam hari menjelang tidur.

Tabas-tabas : Atau mantra-mantra yang pada umumnya hanya para dukun saja yang mengetahuinya. Konon kabarnya kalau para mantra sudah diketahui orang banyak maka keampuhannya akan hilang.

Kuning-kuningen : Atau ‘teka-teki’ yang dipergunakan oleh anak-anak, pemuda-pemudi,orang dewasa diwaktu senggang sebagai permainan disamping mengasah otak.

Sastra tulis juga dikenal oleh masyarakat Karo. Sastra tulis pada masa lampau, sebelum lahirnya mesin cetak, menggunakan laklak atau kulit kayu dan bamboo sebagai media komunikasi. Tulisan tersebut menggunakan surat Karo ’Aksara Karo’ yang berupa huruf silabis ( semua huruf atau silabe dasar berbunyi a ) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabe pertama aksara Karo.

BEBERAPA KARYA ORANG KARO DI ERA 50-AN, 60-AN DAN 70-AN
MENGENAI SASTRA DAN KEBUDAYAAN KARO

Pada tahun 1952, Balai Pustaka menerbitkan karya P. Tamboen ‘Adat Istiadat Karo’ (206). Buku ini merupakan pelopor mengenai adat istiadat Karo karya putra Karo sendiri. Buku ini terdiri atas 11 bab, yang berturut-turut memaparkan mengenai letak geografis, sejarah penduduk, pemerintahan, pengadilan, keuangan, persawahan, pengajaran, kesehatan, bank anak negeri.

Pada tahun 1958 Toko Bukit menerbitkan “Isi Kongres 1958” yang berjudul Sejarah Adat Istiadat dan Tata Susunan Rakyat Karo (134 halaman). Dalam Kongres Kebudayaan Karo yang diketuai oleh Mr. Roga Ginting terdapat seksi adat yang terdiri atas 4 subseksi, yaitu :
1. Sejarah Adat/Tata Susunan Rakyat
2. Adat Kekeluargaan
3. Hukum Adat Tanah
4. Hukum Perselisihan.

Pada tahun 1960, Masri Singarimbun menampilkan karyanya ‘1000 Perumpamaan Karo’ yang diterbitkan oleh CV. Ulih Saber di Medan. Suatu usaha yang amat berguna bagi masyarakat Karo serta pendokumentasian bahasa dan sastra Karo. Sayang teks perumpamaan Karo itu tidak disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan penyebarluasannya terbatas pada masyarakat Karo serta orang-orang yang mengerti bahasa Karo saja. Tebal buku 175 halaman.

Pada tahun 1965, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘nurenure di Karo’ (85 halaman) di bandung, yang memuat percakapan dalam cakap lumat ‘bahasa halus’ antara bujang dan gadis, mulai dari pertemuan pertama, masa pacaran, sampai perkawinan. Teks bahasa Karo disertai dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1972 di Bandung, Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan telah menerbitkan dua jilid ‘ Syair Lagu-lagu Karo’, masing-masing 105 halaman dan 110 halaman yang masing-masing memuat 41 dan 45 teks syair lagu Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1972, Rahmat Tarigan tampil dengan karyanya ‘Tambaten Pusuh’ (108 halaman) yang merupakan kumpulan 4 cerita pendek dan 26 puisi. Teks bahasa Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1975, Penerbit Yayasan Kobe di Delitua, Medan, telah menerbitkan cerita ‘Pawang Ternalem’( dalam dua jilid ).

Pada tahun 1976, Jaman Tarigan telah menyelesaikan penyusunan Pantun Karo: Anak Perana ras Singuda-nguda yang diterbitkan oleh Percetakan Toko Buku Mbelin Gunana di Kabanjahe ( 145 untai pantun )

Pada tahun 1976, Toko Bukit menerbitkan brosur, yaitu karya Raja Malem Bukit yang berjudul “Peranan Marga Dalam Perkawinan Adat Karo” (30 halaman). Kedua karya di atas, yaitu karya Jaman Tarigan dan Raja Malem Bukit dapat saling mengisi, saling melengkapi satu sama lain.

Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan telah menyusun sebuah naskah ‘Tabas-tabas Karo’ ( 40 halaman). Teks bahasa Karo disertai terjemahan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘Percikan Budaya Karo’ yang merupakan kumpulan karangan mengenai budaya Karo yang pernah dimuat dalam beberapa majalah di Jakarta, Bandung, Jogya (229 halaman)

Pada tahun 1977, Toko Bukit menerbitkan karya Ngukumi Barus dengan judul ‘Guru Pertawar Reme ras Perdagang Ganggang’ ( 24 halaman ) dalam bahasa Karo tanpa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Dan pada tahun 1978 Toko Bukit pun menerbitkan ‘ Sekelumit Dari Cerita-cerita Karo’ (30 halaman) yang dikumpulkan oleh S.P. Keliat.

Pada tahun 1977, Palestin Sitepu muncul dengan karyanya yang berjudul “Kesenian Tradisional Karo” (58 halaman), di Medan. Buku ini terdiri atas 14 bab yang berturut-turut membicarakan : seni musik Karo tradisionil, pola teori Karo tradisionil, peraturan-peraturan gendang, upacara kematian, para seniman tradisionil Karo, ose-ose (busana tradisional Karo), teori jenis hiburan, guro-guro aron, nure-nure, upacara-upacara religius, upacara berhubungan dengan adat-istiadat, rumah adat Karo, merga silima, pentahbisan merga kepada orang bukan orang Karo.

Pada tahun 1978, Henry Guntur Tarigan telah pula menyelesaikan naskah ‘Tendi Nipi’ Tafsir Mimpi, (100 halaman). Setiap teks mimpi disertai terjemahan dan penjelasan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1978, Toko Bukit menerbitkan sebuah brosur karya seorang pensiunan ABRI, Jaman Tarigan yang berjudul “Gelemen Merga Silima, Iket Sitelu, Tutur Siwaluh Kalak Karo” (25 halaman), yang memaparkan apa yang disebut ‘Merga Silima’ (Karokaro, Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan), apa yang disebut ‘Iket Sitelu’ (senina, kalimbubu, anak beru) dan apa yang disebut ‘Tutur Siwaluh’ (sembuyak, senina, senina sipemeren, senina siperibanen, anak beru, anak beru menteri, kalimbubu, puang kalimbubu).
Oleh : Medi Juna Sembiring

Filed Under: Opini

  • « Go to Previous Page
  • Page 1
  • Interim pages omitted …
  • Page 35
  • Page 36
  • Page 37
  • Page 38
  • Page 39
  • Interim pages omitted …
  • Page 57
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • La Kudiate
  • Percian
  • Rudang Rudang Sienggo Melus
  • Sayang
  • Nokoh

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2025 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home