• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home
You are here: Home / Archives for Opini

Opini

Degradasi Simbol Ke-Karo-an

16 April 2012 by karo 1 Comment

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Dalam sejarah bangsa tidak terlepas dari peradaban  dan budayanya. Tingginya peradaban dan budaya akan terlihat dalam peninggalan budaya, peralatan rumah tangga dan rumahnya. Simbol-simbol akan tampak dalam peradaban dan budaya itu sendiri. Begitu juga dengan suatu suku bangsa Karo, tentu  mempunyai banyak simbol. Tulisan ini bukan membawa  kea rah pemikiran sempit kesukuan, tapi lebih mengarah kedepan bagaimana keberadaan suatu suku diharapkan dimasa yang akan datang, dalam tatanan suku-suku diantara bangsa Indonesia.

Kaya Simbol    

Bila kita mempelajari sejarah bangsa Indonesia, apa yang dicapai sekarang merupakan akumulasi dan perkembangan dari masa lalu. Dengan kata lain dengan modal masa lalu kita tatap masa depan. Masalahnya, bagaimana memilih diantara banyak symbol untuk digunakan simbol  masa depan. Simbol Sumpah Palapa “menyatukan nusantara”, Sumpah Pemuda menyatakan “kedaulatan rakyat” dan kaum wanita sosok kartini sebagai simbol “kemajuan berpikir wanita”. Demikian juga suku Karo, simbol apa digunakan untuk masa depan.  Antara lain  simbol terdapat di masyarakat Karo:

  • Capah dan pinggan Pasu adalah simbol  kenikmatan makan bersama
  • Sekin, pisau belati dan tumpuk lada simbol sebagai pekerja dan peralatan senjata
  • Ukat dan kudin simbol peralatan rumah tangga.
  • Kampil dan isinya simbol pergaulan
  • Gung, kulcapi, baluat,surdam sarunai, penganak dan gendang symbol kesenian
  • Maba belo selambar symbol perkenalan keluarga dalam proses pelamaran
  • Nganting manuk symbol satu keluarga melamar pihak perempuan
  • Kerja symbol pengesahan secara peradatan perkawinan
  • Luah kalimbubu singalo bere-bere simbol kemandirian dan berkat  untuk berkeluarga
  • Amak mbentar simbol keberadaan dan penghormatan
  • Aron simbol kebersamaan dalam kesetiakawanan dalam bekerja.
  • Rumah adat siwaluh jabu simbol kebersamaan , kesatuan keluarga dalam tata cara adat.
  • Uis gara, Uis Nipes beka buluh, Gatip dan Kampuh simbol tata busana pakaian Karo.
  • Jambur simbol tempat pertemuan musyawarah mufakat
  • Ertutur merupakan symbol tata pergaulan Karo.

Dalam kehidupan peradaban dan peradatan Karo simbol ini banyak tidak dipakai disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Ada juga menganggap itu tidak perlu atau seadanya saja. Kalau kita sepakat bahwa symbol ini menunjukkan tingginya peradaban dan peradatan maka perlu ditegaskan kembali arti pentingnya dan komitmen akan symbol tersebut. Filosofis symbol ini mungkin mempunyai makna yang mendalam dari nenek moyang sejak dahulu, apakah mestinya hal itu dilupakan. Sudah merupakan kewajiban generasi penerus untuk menjaga dan mengembangkan symbol ini di masa mendatang.

Butuh simbol

Dalam berbangsa dan bernegara perlu  simbol seperti rambu lalulintas yang mengatur kapan maju, berhenti dan belok, semua  ada aturannya, begitu juga di masyarakat  suku Karo perlu simbol. Symbol ini yang mengatur dan bagaimana peradaban dan peradatan dilakukan. Dalam kehidupan era globalisasi ini terjadi degradasi symbol symbol entah itu alasan kuno, kepraktisan, buang-buang waktu ataupun ketergantungan ke pihak tertentu.

 Seperti contoh, “Uis gara “dan “uis nipes” dulu  sebagian proses produksi seperti pencelupan, dibuat di taneh Karo sekitar  berastagi, dewasa ini usaha seperti itu tidak ada, sehingga uis gara dan lainnya diproduksi oleh Batak Toba di daerah Balige. Apa konsekwensinya seperti ini, banyak yang dibuat uis nipes bukan  sesuai triwarna budaya Karo seperti, hijau ungu dan lain sebagainya. Ini merupakan proses evolusi penghilangan symbol tatabusana adat Karo. Pemerintah daerah dalam hal ini mestinya memberikan stimulus agar ada pengusaha Karo yang rela berinvestasi dalam hal ini.

 Didalam peradaban suku Karo ada beberapa rumah adat dimana kondisinya sudah memprihatinkan. Dengan tidak adanya upaya penyelamatan peninggalan tersebut menunjukkan adanya penurunan symbol Karo. Rumah adat Karo menunjukkan tingginya peradaban Karo, maka hal ini perlu dipugar.

Di dalam peradatan Karo, kalo dulu Luah kalimbubu benar-benar merupakan pemberian tanda kasih kepada bebere sama anaknya yang dipestakan. Masih saya ingat dimasa kecil bahwa ada keluarga memberikan sepetak ladang atau sawah Luah Kalimbubu, makanya banyak hak tanah, pemberian kalimbubu kepada anak beru ( bebere). Realitas yang ada sekarang,  oleh karena  yang didapatkan anak perempuan itu bukan bebere ndeher  atau orang lain , Luah Kalimbubu berubah menjadi Luah kalimbubu Simanjilenken, terjadi degradasi simbol. Kalau ingin lebih berarti mengapa tidak berpijak pada suatu realitas, misalnya bebere adalah tukang ojek, maka luah kalimbubu diberikan sepeda motor bekas misalnya.

 Didalam kekrabatan bekerja bersama-sama ke ladang atau sawah, bisa dikatakan berubah motivasi. Kalau aron masa lalu sama sama bekerja di ladang atau sawah si A, besok si B dan seterusnya bergiliran sesuai dengan banyaknya anggota Aron. Namun dewasa ini Aron sama dengan sama-sama bekerja untuk untuk mendapatkan upah, hal ini sangat marak di Berastagi dengan mendatangkan pihak pekerja dari luar Kabupaten Karo. Perbedaan mendasar disini adalah motivasi dan ikatan emosional tidak ada.

Mungkin perlu digalakkan semangat Aron oleh pemerintah daerah, dengan tidak semata-mata bermotivasikan upah.

Musik tradisionil kesenian Karo sangat syahdu dan bagus kedengaran di telinga, namun, dewasa  ini kondisi seni musik tradisionil ini sangat memprihatinkan dan pangsa pasarnya pun kecil lebih menjurus digunakan pada saat kematian saja. Bila dilihat sebab musababnya karena tren musik modern sudah merasuk ke masyarakat, kedua masyarakat sendiri susah mengikuti musik tradisionil ini.

Apapun alasannya seni tradisionil Karo merupakan tingginya peradaban Karo, maka sebaiknya di pertahankan dan dikembangkan. Sudah merupakan tanggung jawab kita secara bersama sama mengembangkan symbol peradaban seperti ini. Alangkah indahnya  seni musik modern berjalan, namun seni tradisionil tetap dipertahankan bukan mengambil alih seni tradisionil Karo.

Begitu juga dengan sikuning-kuningen dan cerita dongeng  merupakan symbol karya cerita dan sastra. Dewasa ini tidak adalagi generasi penerus dan minat generasi baru untuk menggali dan mengembangkan karya seperti itu. Padahal dulu saya masih sangat terkesan dengan cerita kak koang tangkona bungaku dan cerita putrid hijau. Ini menunjukkan tingkat kecerdasan suatu bangsa.

Simbol Masa Depan

Bangsa Indonesia mempunyai banyak symbol berbangsa dan bernegara antara lain Pancasila, bagaimana dengan Karo di masa mendatang symbol apa yang dapat dikembangkan kepihak luar Karo, yang dapat menunjukkan bahwa jati diri orang Karo dapat tercermin dari symbol symbol yang dimiliki. Simbol symbol diatas merupakan symbol yang digunanakan secara internal orang Karo, menjadi masalah kedepan adalah perlunya symbol yang dapat memperkaya khasanah budaya Indonesia  secara nasional atau bahkan secara internasional. Marilah kita mencoba bersama sama merumuskan masalah symbol kedepan, agar Karo dapat menunjukkan keberadaannya ditengah bangsa Indonesia dan Dunia.

Oleh; Drs. Liasta karo-Karo Surbakti

Ketua DPD HMKI Sejabotabek.

Filed Under: Opini Tagged With: masyarakat karo, simbol karo

Kini Saatnya Membangun Karo

13 April 2012 by karo Leave a Comment

Berbagai usaha dilakukan Masyarakat Karo baik di Taneh Karo maupun diluar Kabupaten karo, dalam penjaringan Balon Bupati Karo kurang lebih 38 orang, akhirnya telah menghasilkan buah dengan terpilihnya Drs. Daniel Daulat Sinulingga dengan Ir Nelson Sitepu dalam Pilkada lalu.

Berpuluh puluh karangan bunga sebagai ungkapan simpati dan selamat atas pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Karo tanggal 27 Desember 2005, pertanda ada harapan besar dari masyarakat Karo agar Bupati dan Wakil terpilih dapat membangun Karo sesuai dengan aspirasi masyarakat. Ada kebanggaan bagi masyarakat karena pilkada berjalan dengan lancar, aman, dan tertib. Kebanggaan ini merupakan modal dasar bagi Bupati dan Wakil Bupati dalam pemerintahannya. Bupati yang dipilih langsung oleh rakyat mempunyai kekuasaan penuh yang dipercayakan oleh rakyat, oleh karena itu Kabupaten karo dimasa yang akan datang bukan hanya ditentukan oleh Bupati dan Wakil Bupati beserta jajarannya (pemerintah) tetapi masyarakat mempunyai suatu peran yang tidak kalah pentingnya dalam proses pembangunan.

Harapan Masyarakat

Menyadari geografis yang dimiliki Kabupaten Karo, tentu harapan utama masyarakat tidak terlepas dari masalah pertanian dan pasca panen dari hasil pertanian. Artinya tanaman aman dan hasil tanaman bisa dijual dengan harga yang memuaskan. Petani merasa aman kalau ke pasar ( Pekan), tidak merasa terancam ataupun tertekan oleh kurang nyaman kondisi pasar yang semraut seperti selama ini. Selanjutnya masalah budaya dan parawisata Karo, bisa menjadi kebanggaan bersama masyarakat Karo di tingkat nasional maupun terwujudnya Berastagi sebagai “Swiss Van Sumatera” ditingkat Internasional.

Bila dilihat harapan ini, tidaklah terlalu besar karena kepercayaan masyarakat bahwa Bupati dan Wakil Bupati terpilih bisa mewujudkan harapan ini, juga sangat besar.
Ada beberapa alasan mengapa masyarakat percaya bahwa hal ini bisa terwujud. Pertama Bupati terpilih mempunyai pengalaman memimpin Karo, saat itu membawa perubahan didalam pembangunan fisik dan ekonomi. Kedua mempunyai visi dan misi yang realistis dalam keamanan, ekonomi pasar dan pembangunan fisik. Ketiga pilkada yang dilakukan adalah benar-benar pilihan rakyat (walaupun 42,5%), sehingga kebijakan dan program pemerintah yang ada akan didukung sepenuhnya oleh rakyat, minimal pendukung diatas. Keempat, kondisi Karo dititik kulminasi kejenuhan, dimana ingin perubahan. Itu berarti masyarakat sendiri mempunyai niat secara bersama sama ingin membangun daerahnya. Bupati dan wakil Bupati harus memanfaatkan kepercayaan masyarakat ini dalam membangun Karo. Kelima, sesuai dengan desakan nasional dimasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang, agara Bupati dan Wakil terpilih sebaiknya menjauhkan diri dari tindakan yang mengarah kepada Korupsi., karena masalah korupsi saat ini sama seperti menyembunyikan durian, makin lama makin tercium oleh banyak orang.

Komunikasi dan Kerjasama

Agar pembangunan yang direncanakan berjalan sukses, Bupati dan Wakil Bupati terpilih sebaiknya mengadakan komunikasi dan kerjasama yang baik antar calon-calon bupati di Pilkada (waktu itu 6 pasangan), para balon-balon dalam penjaringan ( 40 orang) maupun tokoh masyarakat serta investor. Oleh karena Bupati dan Wakil merupakan pejabat publik, maka dalam menciptakan akselerasi bersama dalam membangun Karo, tidak menguntungkan apabila terjadi pengkotak-kotakan pendukung dan non pendukung.

Ada beberapa hal perlu diantisipasi, pertama hasil pilkada walaupun suara terbanyak namun belum menunjukkan mayoritas pemilih. Kedua adanya duri dalam daging dengan menarik dukungan sebelum dan saat Pilkada dari partai pendukung awal, bisa merupakan resistan (penghambat) dalam tujuan. Ketiga, pendukung setia atau tim sukses sedapat mungkin diakomodasi dan disosialisasikan bahwa Bupati dan wakil Bupati pejabat publik sehingga harus berbuat sama kepada masyarakat pendukung maupun non pendukung. Keempat, oleh karena di legislatif, anggota partai pendukung masih minoritas maka perlu dijalin kerjasama yang proporsional dengan dewan, walaupun peran anggota legislative dewasa ini tidak sedominan dulu sebelum otonomi daerah. Dalam penyusunan kepala Dinas hendaknya diperhatikan keprofesionalan tanpa membedakan arah dukungan semasa Pilkada.

Selama ini ada anggapan bahwa masyarakat Karo identik dengan masyarakat Karo yang tinggal di Kabupaten karo, hal ini perlu diluruskan karena masyarakat karo di luar Tanah Karo merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dengan kabupaten Karo hal ini terlihat dalam perhatian dan tindakan perbuatan masyarakat Karo tinggal di luar karo terhadap kabupaten Karo.

Upaya dalam dalam terciptanya komunikasi dan kerjasama yang baik diawali dengan adanya keterbukaan dari Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Keterbukaan dalam perencanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang maupun didalam pelaksanaan serta pertanggung jawabannya. Hal ini sejalan dengan tuntutan terciptanya Good Governance di pemerintahan.

Penutup

Pembangunan Karo hendaknya bukan hanya keinginan sebagian orang saja, tapi merupakan keinginan masyarakat, Karo secara keseluruhan. Dengan melihat kemajuan daerah daerah lain dalam pembangunan dan pemekaran menjadikan pemicu bagi masyarakat Karo secara bersama-sama untuk maju. Apabila tidak ingin tertinggal maka apa yang ada didaerah lain dapat menjadi kenyataan di daerah Karo, bisa kita realisasikan seperti pemekaran dan lainnya. Kebajikan dan Kebijaksanaan bersama sangatlah indah apabila ikuti kuan-kuan karo “Mari dage sikuning-kuningen gelah radu megersing ula siageng-agengen banci radu mbiring.” Selamat Bejuang dan berbakti, Bupati dan Wakil Bupati Karo, mbera-mbera bagi manuk sindung-indung, ugapape rupa anakna ike-pkepna kerina !!!

Oleh : Liasta Karo-Karo Surbakti, akt
Ketua DPD HMKI cabang Sejabotabek

Filed Under: Opini Tagged With: opini, tulisan

Layas Layasilah Perukurenta Gelah Reh Deherna Perkade-kadenta

14 December 2011 by karo Leave a Comment

Kata Perlebe
Perlebe kuataken bujur man bandu kerina ibas kita enggo berproses seh paksa enda tempa-tempa niakapndu bagi sikurang menda tempa ngepkep percakapenta bas jejaring sosial enda lako mepelajari adat istiadat daerahta si memerluken pendalamen yang intensif la erngadi-ngadi la ertamat-tamat lit nge kari usur siakap kurang sibage kurang sibagah nina bas ukurta, perban kai, perban memang dalam hubungankekerabaten kita kalak karo penuh dengan keunikan, labo banci ngertikenca bagi erlajar bas bangku sekolah, emakana nibahan me kite kitena siman bentasen, labo banci, la erguna ia adina nihapal hapal saja, entah pe segelah banci kita saling meperdebatkannya, labage turi- turina. Benang merahna e mekapken kai kin Adat e: adat e emekapken, ibas nentuken kerna kai siman dahinken labo banci ate ateta saja, nicakapkenlah bagi oratna, adina lit masalah megermet lah ras senina bagepe sembuyakta lit hal hal sini man belasenken lit ka la man belasenken. megermet kai ngendia sibagi oratna man belasenken man bana, bage kape mana anak berunta pemelasken kata sinipeseh man bana tentuna bagi motto kalak karo “metami eranak beru kata metami lah kesan/pesan sinupeseh (niergai ia gelah mejingkat ia erdahin), sebab bas susana batin kalak karo lit istilah gelarneng te lang ninaka), bage kape meseh kata man kalimbubu erbelaslah alu kesan/pesan ni hamati ia bagi oratnalah belasken man bana labo banci kai kai saja pe nibelasken man bana, gelah ia pe banci ngulihi nami nami kita.

Dahi-dahin Adat Karo
Dahi dahin adat karo, eme sada dahin sini si aturken,i bahan sebagai upaya untuk mengimplementasikan kai kai saja sini ateta si nibahan lako banci erlayas ia, erdalan bagi sura sura, tembe bagi dalanna . Emakana lit kenca dahi dahin runggu me nibahan dalan dalanna maka banci jumpa sada ras sidebana mempersiapkan diri sue ras fungsina sekalak sekalak, jadi rungggu nge lalap harihken gelah min ula rido mindo kurang sibagah kurang sibage ningen usur. dampak sipeduaken, runggu e me sada dampar inganta sekolah erlajar kerna Adat istiadat karo, engkaimakana bage perban, ibas runggu megatinge enggo siakap mehuli tapi labo bage nina sideban, ugape lit nge usur sila tengteng sehpe bas pelaksanenna kerja/dahin sinienggo nirungguken e lalap nge lit pandangen . Kai ertina e, em dalanna gelah ula siakap ita enggo beluh kerna adat istiadat karo, tekunlah terus erlajarlah terus, gelah alu bage reh tuana perukurenta, reh erlayasna ita erbelas encibalken kata, uga kita bagi oratna erbelas ku senina/ sembuyakta, ugaka kita ngerana – ngerana ras Anak berunta, terlebih lebih pe uga bagi oratna kita peseh kata man kalimbubunta e.
Emakana sue ras kata perlebe sini turiken e ibas kita nggeluhken pergeluhta bas keluarga, gelah megegeh sangkep nggeluh rakutna Si telu bas darehta e. la cukup e saja, harus ditingkatken bagi oratnakalah kita ikut runggu bas dahi dahin Adat e, ula permela, harus mejingkat, ula perbiar, sipenting rehlah ula la mejingkat, jem ita itempa jadi metua rukur, lang adina la ita mejingkat ndahi dahin kerja Adat ras sidebanna,man ngenca kita reh e gelarna e banci me nikataken “labo kita radat adi bage” cirem saja ngenca kita kari rusur padahal dahinta siman pejoreken, ma enggo nuhnah jadina nina perlanja sira nai.
Alu bage hubungan kekerabaten kita kita kalak karo, labo bas dahi dahin adat e ngenca makana ita megermet er Sembuyak/Ersenina, metami er anak beru, bagepe mehamat erkalimbubu, ibas kegeluhen sitep tep waripe usahaken lah bage ka ia, segelah dahi dahin runggu e banci siangkaen kerina, Begem ia : Hubungan perkade kadenta bas darehta e tep tep wari sini layasi e, sangat erat kaitannya berpengaruh besar terhadap kelancaren runggu dahi dahin adat e.Kata Pengajuk Man banta kerina sini cio cio bas Saponta enda: Enggo kita sepakat kita makana muat bagin lah ita kerina dalam melestarikan kebudayaen karo ninta .
Dage gelah erbuah ia mari dage runggu ita usur saling toleran, bage pe enggo mbue si erbelas bagepe dalam suka duka dalam berkomentar, lit ka deba mungkin erkuritab jadina perukurenna perban la bagi ukurna . Jenda sentabi aku melasken kata manbanta kerina kerna adat istiadat karo labo lit beluh The best ngoleken ras pe ngodakkenca, mehuli siakap bage pe teridah buahna ras ingetndu makana mempelajarisa la bagi sini enggo ipelajari ibas bangku sekolah, kai sini enggo sidat pemeteh ibas Saponta enda ibas kita runggu selama enda . Mejingkatlah menghadapi ujian ngikuti dahi dahin kerna Adat, adina lit undangen mislah kam mejingkat, kai sinienggo pelajarindu bas Saponta enda peraktekkendu bas runggu adat e, entah kinkam sebagai sembuyak / senina, bagepe entah sebagai Anak Ber, ras pe kam niunadang sebagi Kalimbubu, erbelaslah kam usur bagi oratna, adina kurang pas kapndu, nipandangi sideban kam waktu kam erbelas e, ula ka e lanai ka kam reh sekali nari, e la mehuli bage, sibahas ka si tingkatken ka pemetehta, arih araih ka ita bas sapaonta enda, sekalian nari kam kam runggu reh tuana ia, reh beluhna ka kam melasken kata .pe, erlajar ka, bage ia secara terus menerus la ertamat tamat.
Lang adina la bage labo sieteh kai sini enggo sieteh e ujilah bas kam runggu e. Alu bage litme gunana fungsi Saponta enda man jelma si enterem sebab kai adina kerina kapndu si anggota Saponta enda beluh ia runggu pejoreken dahinna, ras pe meriah akap pertendindu e.na dakam dat kemalemen ate jadina. Dager sibar em lebe nake, aku enda terus terang kuataken man bandu kerina. labo aku beluhsa ngerana kerna sie, saja ngenca perban lakidahken lit kata persinget sibage rupana, emakana kupalapali me nuliskenca tentu kurang sempurna aku nusun kata katana, pehui- pehulikenndu, petunggungkenndu lah si intina emekapaken mejingkat ndahi dahin adat, sebab arah e ngenca banci kita metua rukur lit kap kata penjemba nina nininta nai ” Jung nguda e pe adina iparaken jadi metua dungna ” nggitlah min ita iparaken ikut bas dahi dahin adat e,ikut runggu berperan aktif . Bagem ia siman layas layasen ukurta sekalak sekalak, Bujur ras mejuahjuah ita kerina aminna ijapape kita ringan genduari enda. (Ngajarsa Sinuraya Bre Bangun)

Filed Under: Opini Tagged With: ogen, pengajaren

Menghilangnya Beru di Nama Wanita-Wanita Karo

6 September 2011 by karo 5 Comments

gadis karoBelakangan ini banyak sekali wanita-wanita Karo yang tidak lagi menggunakan br (beru) di namanya. Misalkan Anita br Ginting, dibuat menjadi Anita Ginting. Hal ini terlepas dari penggunaan nama di Facebook yang memang tidak memperbolehkan penggunaan gelar (Dr. Ir. Prof. dll) didalam pemilihan nama, dan br ini juga dianggap sebagai salah satu bagian dari gelar tersebut, sehingga tidak bisa digunakan.
Di sebuah majalah mengenai Karo yang cukup populer, ada beberapa pengurus majalah tersebut yang berjenis kelamin wanita dan tidak menggunakan br di dalam namanya, apakah ini contoh yang baik? Yang secara notebene majalah tersebut adalah majalah yang konon katanya, untuk memperkenalkan Karo, berikut seni dan budayanya.
Beru adalah salah satu keunikan orang Karo yang harus tetap dijaga, keunikan yang hanya ada di Karo sendiri. Pernah di satu perkumpulan, seseorang yang ada didepan anak muda, berkata “apai kam si merga Karo Karo angkat tanddu!”, dan ternyata yang aku lihat sungguh diluar dugaan, hampir semua gadis br Karo Karo ikut mengangkat tangan, bukan hanya yang merga Karo Karo (laki-laki), apakah disini orang karo sendiri tidak lagi memahami arti dari merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk wanita).
Disamping itu di komunitas-komunitas Karo yang aku ikuti, ada kecenderungan para wanita menggunakan bahasa Indonesia untuk saling menyapa, sangat lain dibandingkan ‘anak perana’ yang masih banyak menggunakan bahasa (cakap) Karo dalam berbicara.

—
Adi kita kin kalak Karo (si diberu) pake lah beru ibas gelarnta.

Filed Under: Opini Tagged With: beru karo

Sastra Karo Selayang Dipandang

4 September 2011 by karo Leave a Comment

Sastra Karo Selayang Dipandang

Era Sastra Karo
Sejak kapankah sastra Karo ada ? sejauh penelitian yang dilakukan penulis, tidak ada penanggalan yang akurat perihal masa pelontaran sastra Karo. Namun, guna memudahkan penelaahan, era sastra Karo dapat dibagi dalam dua masa, yakni Era Klasik dan Era Modern. Yang dimaksud dengan Era Klasik, adalah karya sastra yang lahir sebelum 28 Oktober 1928, yang bercorak cipta kedaerahan. Tema-tema yang di usung, lebih mengedepankan dongeng dan mitos. Seperti, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan bisa berbicara. Peperangan antara gunung sibayak dan sinabung.

Seperti kisah Ampie Ampio. Cerita rakyat Karo ini berkisahkan tentang suami istri yang berubah menjadi burung. Hal ini dikarenakan anak-anak mereka sangat malas, suka melawan orangtua dan suka berkelahi satu sama lain. Meskipun telah dinasehati berkali-kali, tetap saja tidak ada pertobatan dari anak-anak tersebut. Karena keputusasaan, akhirnya ayah dan ibu mereka berdoa, bersumpah dan meminta agar takdir kehidupannya dirubah apabila anak-anak mereka tetap tidak berubah.

Doa ayah dan ibu tersebut dianggap angin lalu oleh anak-anak mereka. Di penghujung keputusasaan, akhirnya orangtua mereka meminta kepada Penguasa Kehidupan, agar diri mereka diubah menjadi burung yang akan terbang kesana-kemari. Sehingga diri mereka terlepas dari beban penderitaan hidup. AKhirnya, sepasang suami istri tersebut berubah menjadi sepasang burung.

Semenjak kejadian ini, perubahan drastis terjadi pada anak-anak mereka yang merasakan kehilangan mendalam. Mereka sangat menyesali tingkah laku mereka. Yang tadinya malas dan suka bertengkar, tiba-tiba menjadi akur dan rajin sekali. Setiap senja tiba, anak-anak mereka selalu bernyanyi sambil menengadah ke langit ;
Ampie ampio, sora kami erlebuh bandu
Ampie ampio, ulihi kami nande bapa kami
Ampie ampio, ukur metedeh kami la erngadi-ngadi

Ampie ampio melukiskan suara siulan untuk memanggil burung. Pemaknaannya dalam bahasa Indonesia ;

Ampie ampio, suara kami memanggil-manggil dirimu.
Ampie ampio, kembalilah kepada kami wahai ayah ibu kami
Ampie ampio, rasa rindu di hati kami datang tiada hentinya

Penyesalan selalu datang terlambat. Ayah ibu mereka tidak dapat lagi berubah menjadi manusia. Kisah ini sering dijadikan orangtua sebagai dongeng bagi anak-anak mereka sebelum tidur. Dongeng ini memiliki amanah utama, agar anak-anak tidak malas, cinta orangtua dan akur dengan saudara-saudaranya. Amanah tambahan, agar manusia juga mencintai margasatwa yang ada. Karena di ujung cerita diungkapkan, anak-anak tersebut tidak lagi mengenal burung yang mana yang menjadi jelmaan orangtua mereka. Akhirnya, mereka sangat mencintai setiap burung. Dan setiap senja, mereka menaburkan makanan burung di halaman rumah mereka. Dengan harapan, dari puluhan burung yang datang untuk makan, dua diantaranya adalah orangtua mereka.

Sementara Era Modern, ditandai lahirnya nasionalitas Indonesia dengan pengakuan secara resmi bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Meskipun demikian, penulis belum ada menemukan karya sastra Karo yang bertemakan nasionalitas Indonesia pada masa tersebut. Walaupun begitu, setidaknya gaung Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, juga membahana ke bumi turang meski terlambat beberapa waktu, karena minimnya sarana komunikasi. Tema-tema yang diusung, didominasi oleh gambaran kehidupan social kemasyarakatan.

Pemandangan yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada sastra Indonesia. Beragam pendapat muncul perihal tonggak kelahiran kesusastraan Indonesia. Menurut pandangan Nugroho Notosusanto sebagaimana dikemukakan Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, 1995, kesusastraan Indonesia lahir seiring berdirinya organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia yang pertama, yakni Budi Utomo, pada 20 Mei 1908.

Namun, penentuan kelahiran tersebut, harus juga didasarkan pada adanya karya sastra nyata, yang bersifat nasional. Kenyataannya, pada tanggal tersebut belum ada karya sastra yang bersifat nasional Indonesia. Ada karya sastra yang terbit sekitar tahun 1920 yang telah berciri nasional dengan bahasa Indonesia. Yakni, roman Student Hidjo karya Mas Marco, 1919 dan Hikayat Kadirun karya Semaun, 1920. Sementara pengakuan secara resmi perihal bahasa, bangsa dan tanah air Indonesia baru dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.
Pergumulan dan kegelisahan perihal bunga rampai sastra daerah dan nasional, tidaklah perlu dianggap sebagai penghalang. Tetapi akan lebih nikmat bila dijadikan santapan awal guna menggeluti lebih jauh perihal khasanah sastra. Lebih baik menjaga dan melestarikan apa yang masih tersisa, sembari tetap mencari apa yang masih terasa hilang.

Secara tidak langsung, mau atau tidak mau, sastra Karo merupakan bagian dari sastra Indonesia. Sebab, khasanah kesusasteraan nasional Indonesia, ditopang oleh kesusasteraan daerah yang terdapat dari Sabang hingga Merauke. Jadi, yang menjadi substansi kegelisahan, adalah bagaimana agar Sastra Karo menjadi eksis dan tidak tenggelam diantara `hiruk pikuk` kesusasteraan di Indonesia.

Agar sastra Karo dapat dikenal secara nasional dan internasional, maka sastra Karo itu harus memakai `jalan pengenalan` yang diakui publik sesuai dengan segmen sasaran yang ingin dicapai. Misalkan, menggunakan bahasa Indonesia untuk tingkat nasional, dan minimal menggunakan bahasa Inggris untuk kalangan internasional.

Sementara, penilaian akan kwalitas sebuah karya sastra, cenderung bersifat relatif. Karena, ini tergantung `kaca mata` penelaahan yang dipakai si penerima (pembaca) karya, dan tergantung bagaimana si pembuat karya menyampaikan pesan melalui karyanya. Penilaian tersebut berlaku umum. Terlepas dari pergumulan di atas, upaya-upaya untuk menggali dan mengembangkan karya sastra Karo, baik yang berkembang di Era Karo Klasik dan Era Karo Modern, perlu terus digalakkan. Karya sastra merupakan cerminan sosial sebuah peradaban yang mengandung amanah-amanah kehidupan. sebagaimana kaidah sastra, maka dia akan berkembang dan tumbuh seiring zamannya.

DEFENISI SASTRA KARO
Apakah defenisi sastra Karo ? Apa ciri khas sastra Karo dibandingkan karya sastra suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia?. Berbicara tentang Karo, tentu ada dua poin utama. Yakni orangnya dan alam ulayatnya. Merujuk hal tersebut, maka sastra Karo, tentunya karya sastra yang bertautan erat dengan unsur-unsur berikut, yakni :

Pertama, bertautan dengan orang Karo dan system kekerabatan yang dianutnya. Yakni, Merga Silima (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.), Rakut Sitelu (anak beru, senina/sembuyak dan kalimbubu), Tutur Siwaluh (sipemeren, siparibanen, sipengalon, anak beru, anak beru menteri, anak beru singikuri, kalimbubu, puang kalimbubu) dan Perkade-kaden Sepulu Dua + Sada (Unsur Sepulu Dua = nini, bulang, kempu, bapa, nande, anak, bengkila, bibi, permen, mama, mami, bere-bere).

Sedangkan untuk unsur Sada, beragam pendapat muncul mengenai apa yang dimaksud dengan Sada (Satu) tersebut. Ada tiga tafsir yang muncul. Pertama, Sada merupakan perwakilan dari adanya keyakinan, bahwa terdapat kekuatan yang ada di luar unsur manusia. Keberadaannya tidak terlihat, namun dapat dirasakan. Dia diyakini memiliki kekuasaan atas alam dan manusia. Kedua, Sada merupakan perwakilan dari Ketuhanan sebagaimana yang digambarkan oleh kepercayaan/agama-agama yang masuk ke wilayah nusantara, khususnya wilayah yang didiami suku Karo. Tafsir ketiga, Sada merupakan perwakilan dari suku bangsa lainnya, yang hidup berdampingan dengan suku Karo. Lebih jauhnya lagi, orang yang berasal dari suku bangsa lainnya tersebut, ditabalkan memeluk salah satu dari silima merga. Misalkan karena perkawinan silang, atau eratnya rasa persaudaraan yang terjalin. Dalam beberapa kasus sekarang ini, penabalan merga kepada yang di luar suku Karo, sudah cenderung bermotifkan kebutuhan politik.

Bila merunut ke belakang, ditambahi lagi dengan informasi-informasi yang diperoleh penulis semasa masih remaja (1990-an) dari Alm. Sapih br Purba, yang saat itu berusia 82 tahun, maka penulis cenderung berpendapat kalau yang dimaksud dengan unsur Sada dalam system kekerabatan masyarakat Karo, adalah tafsir yang pertama.

Kedua, mengandung unsur alam/wilayah ulayat Karo. Merujuk kepada hasil rekomendasi dari Kongres Kebudayaan Karo 1996, maka yang disebut dengan Tanah Karo adalah meliputi enam (6) wilayah yang di kawasan tersebut dihuni banyak masyarakat Karo. Antara lain :

1. Kabupaten Karo
2. Kabupaten Dairi (2 Kecamatan : Tiga Lingga dan Taneh Pinem)
3. Kabupaten Deli Serdang (13 Kecamatan : Lubuk Pakam, Bangun Purba, Galang, Gunung Meriah, Sibolangit, Pancur Batu, Namo Rambe, Sunggal, Kutalimbaru, STM Hilir, Hamparan Perak, Tanujung Morawa dan Sibiru-biru)
4. Kabupaten Langkat (8 Kecamatan : Padang Tualang/Batang Serangan, Bahorok, Salapian, Kuala, Selesai, Sungai Bingai, Binjai dan Stabat)
5. Sebagian Aceh Tenggara, yakni daerah Lau Desky, Lau Sigala-gala, Lau Perbunga serta Kecamatan Simadam.
6. Kotamadya Medan, yang dikatakan didirikan Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Ketiga, bahasa penyajian adalah bahasa Karo. Idealnya, menggunakan aksara Surat Haru yang dilandasi tulisan Nagari yang dibawa migran dari India sembari memperkenalkan agama Budha sekitar abad ke-5. Minimal, menggunakan bahasa Karo yang dilandasi huruf latin.

Untuk kwalifikasi pertama dan kedua di atas, adalah hal yang tidak merepotkan untuk masa yang sekarang. Namun, ketika memasuki poin yang ketiga, tentu banyak pergumulan yang perlu direnungkan. Jangankan dulu untuk orang di luar Karo, namun, untuk kalangan masyarakat Karo sendiri, diyakini tidak ada lima persen pun yang masih memahami Surat Haru. Namun, bilamana untuk kebutuhan lokal, dan tujuan untuk melestarikan warisan leluhur, ketiga kwalifikasi di atas perlu dijadikan rujukan utama. Meski demikian, upaya untuk membangun pembelajaran tentang Surat Haru, perlu terus digenjot.

Pemandangan lainnya perihal bahasa adalah, perbedaan mengenai dialek Karo itu sendiri. Menurut penelitian Darwin Prinst, dialek Karo itu terbagi lima. Yakni, Teruh Deleng, Singalur Lau, Liang Melas, Jahe dan Julu. Sedangkan bila menurut pendapat Henry Guntur Tarigan, bahasa Karo terdiri dari tiga dialek utama. Yaitu, Dialek Gunung-gunung, Dialek Kabanjahe dan Dialek Jahe-jahe. Perbedaan dialek tersebut, tentu mempengaruhi pencitraan karya baik melalui lisan atau tulisan. Terutama tulisan yang menggunakan huruf Latin. Sebab, metode pengucapan mempengaruhi penulisan. Belum diketahui pasti, apakah hal tersebut juga akan terjadi bila menggunakan Aksara Haru.

JENIS-JENIS SASTRA KARO
Merujuk kepada Rumusan Seminar Adat Istiadat Karo ke-3 yang diadakan di Kabanjahe, 16-19 Februari 1977, maka jenis ragam sastra yang diwarisi masyarakat Karo adalah : Cakap Lumat, Talibun Gurindam, Lak-lak Kayu, Buku-buku Pustaka, Lagu Tabas-tabas, Lagu Pingko-pingko, Lagu Tangis-tangis dan Lagu Kolong-kolong.

Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan dalam Bunga Rampai Seminar Kebudayaan Karo dan Kehidupannya Masa Kini, Kabanjahe, September 1985, mengemukakan, masyarakat Karo memiliki tradisi sastra lisan dan tulisan.

Sastra lisan merupakan suatu tradisi pada masyarakat Karo. Sastra lisan ini biasanya dipergunakan pada upacara-upacara adat. Seperti upacara melamar gadis, upacara perkawinan, upacara kelahiran anak, upacara menghormati orang yang berusia lanjut, upacara kematian, upacara peletakan batu pertama mendirikan rumah, upacara memasuki rumah baru, upacara memanggil roh, upacara menanam dan menuai padi, upacara pesta tahunan, upacara menolak roh-roh jahat, upacara memanggil hujan, upacara menolak hujan dan lain sebagainya

Bentuk-bentuk sastra lisan yang terkenal pada masyarakat Karo, antara lain:

Ndungdungen : Dapat disamakan dengan pantun Melayu, biasanya terdiri dari 4 baris bersajak abad. Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.

Bilang-bilang : Yang berupa ‘dendang duka’, biasanya didendangkan dengan ratapan oleh orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ibu yang telah meninggal dunia, meratapi idaman hati yang telah direbut orang lain atau pergi mengembara ke rantau orang.

Cakap Lumat : Atau ‘bahasa halus’ yang penuh dengan bahasa kias, pepatah pepitih, perumpamaan, pantun, teka-teki, dan lain-lain. Cakap lumat biasanya digunakan oleh bujang dan gadis bersahut-sahutan pada masa pacaran dimalam terang bulan; atau oleh orang tua pemuka adat dalam berbagai upacara, misalnya upacara meminang gadis.

Turin-turin : Atau cerita berbentuk prosa, misalnya mengenai asal usul marga, asal-usul kampung, cerita bintang, cerita orang sakti, cerita jenaka dan lain-lain. Biasanya diceritakan oleh orangtua pada malam hari menjelang tidur.

Tabas-tabas : Atau mantra-mantra yang pada umumnya hanya para dukun saja yang mengetahuinya. Konon kabarnya kalau para mantra sudah diketahui orang banyak maka keampuhannya akan hilang.

Kuning-kuningen : Atau ‘teka-teki’ yang dipergunakan oleh anak-anak, pemuda-pemudi,orang dewasa diwaktu senggang sebagai permainan disamping mengasah otak.

Sastra tulis juga dikenal oleh masyarakat Karo. Sastra tulis pada masa lampau, sebelum lahirnya mesin cetak, menggunakan laklak atau kulit kayu dan bamboo sebagai media komunikasi. Tulisan tersebut menggunakan surat Karo ’Aksara Karo’ yang berupa huruf silabis ( semua huruf atau silabe dasar berbunyi a ) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabe pertama aksara Karo.

BEBERAPA KARYA ORANG KARO DI ERA 50-AN, 60-AN DAN 70-AN
MENGENAI SASTRA DAN KEBUDAYAAN KARO

Pada tahun 1952, Balai Pustaka menerbitkan karya P. Tamboen ‘Adat Istiadat Karo’ (206). Buku ini merupakan pelopor mengenai adat istiadat Karo karya putra Karo sendiri. Buku ini terdiri atas 11 bab, yang berturut-turut memaparkan mengenai letak geografis, sejarah penduduk, pemerintahan, pengadilan, keuangan, persawahan, pengajaran, kesehatan, bank anak negeri.

Pada tahun 1958 Toko Bukit menerbitkan “Isi Kongres 1958” yang berjudul Sejarah Adat Istiadat dan Tata Susunan Rakyat Karo (134 halaman). Dalam Kongres Kebudayaan Karo yang diketuai oleh Mr. Roga Ginting terdapat seksi adat yang terdiri atas 4 subseksi, yaitu :
1. Sejarah Adat/Tata Susunan Rakyat
2. Adat Kekeluargaan
3. Hukum Adat Tanah
4. Hukum Perselisihan.

Pada tahun 1960, Masri Singarimbun menampilkan karyanya ‘1000 Perumpamaan Karo’ yang diterbitkan oleh CV. Ulih Saber di Medan. Suatu usaha yang amat berguna bagi masyarakat Karo serta pendokumentasian bahasa dan sastra Karo. Sayang teks perumpamaan Karo itu tidak disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan penyebarluasannya terbatas pada masyarakat Karo serta orang-orang yang mengerti bahasa Karo saja. Tebal buku 175 halaman.

Pada tahun 1965, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘nurenure di Karo’ (85 halaman) di bandung, yang memuat percakapan dalam cakap lumat ‘bahasa halus’ antara bujang dan gadis, mulai dari pertemuan pertama, masa pacaran, sampai perkawinan. Teks bahasa Karo disertai dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1972 di Bandung, Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan telah menerbitkan dua jilid ‘ Syair Lagu-lagu Karo’, masing-masing 105 halaman dan 110 halaman yang masing-masing memuat 41 dan 45 teks syair lagu Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1972, Rahmat Tarigan tampil dengan karyanya ‘Tambaten Pusuh’ (108 halaman) yang merupakan kumpulan 4 cerita pendek dan 26 puisi. Teks bahasa Karo disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1975, Penerbit Yayasan Kobe di Delitua, Medan, telah menerbitkan cerita ‘Pawang Ternalem’( dalam dua jilid ).

Pada tahun 1976, Jaman Tarigan telah menyelesaikan penyusunan Pantun Karo: Anak Perana ras Singuda-nguda yang diterbitkan oleh Percetakan Toko Buku Mbelin Gunana di Kabanjahe ( 145 untai pantun )

Pada tahun 1976, Toko Bukit menerbitkan brosur, yaitu karya Raja Malem Bukit yang berjudul “Peranan Marga Dalam Perkawinan Adat Karo” (30 halaman). Kedua karya di atas, yaitu karya Jaman Tarigan dan Raja Malem Bukit dapat saling mengisi, saling melengkapi satu sama lain.

Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan telah menyusun sebuah naskah ‘Tabas-tabas Karo’ ( 40 halaman). Teks bahasa Karo disertai terjemahan bahasa Indonesia.
Pada tahun 1977, Henry Guntur Tarigan menerbitkan ‘Percikan Budaya Karo’ yang merupakan kumpulan karangan mengenai budaya Karo yang pernah dimuat dalam beberapa majalah di Jakarta, Bandung, Jogya (229 halaman)

Pada tahun 1977, Toko Bukit menerbitkan karya Ngukumi Barus dengan judul ‘Guru Pertawar Reme ras Perdagang Ganggang’ ( 24 halaman ) dalam bahasa Karo tanpa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Dan pada tahun 1978 Toko Bukit pun menerbitkan ‘ Sekelumit Dari Cerita-cerita Karo’ (30 halaman) yang dikumpulkan oleh S.P. Keliat.

Pada tahun 1977, Palestin Sitepu muncul dengan karyanya yang berjudul “Kesenian Tradisional Karo” (58 halaman), di Medan. Buku ini terdiri atas 14 bab yang berturut-turut membicarakan : seni musik Karo tradisionil, pola teori Karo tradisionil, peraturan-peraturan gendang, upacara kematian, para seniman tradisionil Karo, ose-ose (busana tradisional Karo), teori jenis hiburan, guro-guro aron, nure-nure, upacara-upacara religius, upacara berhubungan dengan adat-istiadat, rumah adat Karo, merga silima, pentahbisan merga kepada orang bukan orang Karo.

Pada tahun 1978, Henry Guntur Tarigan telah pula menyelesaikan naskah ‘Tendi Nipi’ Tafsir Mimpi, (100 halaman). Setiap teks mimpi disertai terjemahan dan penjelasan dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1978, Toko Bukit menerbitkan sebuah brosur karya seorang pensiunan ABRI, Jaman Tarigan yang berjudul “Gelemen Merga Silima, Iket Sitelu, Tutur Siwaluh Kalak Karo” (25 halaman), yang memaparkan apa yang disebut ‘Merga Silima’ (Karokaro, Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan), apa yang disebut ‘Iket Sitelu’ (senina, kalimbubu, anak beru) dan apa yang disebut ‘Tutur Siwaluh’ (sembuyak, senina, senina sipemeren, senina siperibanen, anak beru, anak beru menteri, kalimbubu, puang kalimbubu).
Oleh : Medi Juna Sembiring

Filed Under: Opini

Berastagi Tiada Duanya

18 July 2011 by karo Leave a Comment

tugu perjuangen berastagi
INGAT markisa dan jerus manis, ingat pula nama Berastagi, sebuah wilayah tujuan wisata utama di Tanah Karo yang terletak di ketinggian sekitar 4.594 kaki dari permukaan laut. Kawasan ini dikelilingi barisan gunung-gunung, memiliki udara yang sejuk dari hamparan perladangan pertaniannya yang indah, luas, hijau.

Markisa brastagi sangat terkenal sampai ke seluruh Indonesia, dan banyak dibuat saripati sirup. Memang di Brastagi kalau tidak menikmati buah terasa kurang lengkap. Apalagi cuaca dingin dan sejuk sangat mendukung wisatawan, untuk memakan lebih banyak makanan.

Brastagi merupakan daerah tujuan wisata yang memiliki fasilitas lengkap di Tanah Karo, seperti hotel berbintang, restoran, golf, dan lain-lain, sampai kepada hotel yang tarifnya relatif dapat terjangkau. Brastagi juga dikenal dengan julukan “Kota Markisa dan Jeruk Manis”.

Dari Kota Berastagi, para pengunjung akan menikmati pemandangan yang indah ke arah pegunungan yang masih aktif, yaitu Gunung Sibayak dan Sinabung. Untuk mendaki Gunung Sibayak diperlukan waktu lebih kurang 3 jam perjalanan.

Selain buah-buahan, Berastagi juga terkenal sebagai penghasil berbagai jenis sayur-sayuran, buah-buahan, dan bunga-bunga. Di Kota Brastagi dilaksanakan beberapa agenda pariwisata, antara lain “Pesta Bunga dan Buah” dan festival kebudayaan “Pesta Mejuah-juah”, yang digelar setiap tahun.

Tanah Karo juga memiliki tradisi yang telah turun-temurun dilakukan, yaitu “Kerja Tahun”. Kegiatan ini diselenggarakan setiap tahun oleh orang-orang Karo yang tinggal di daerah tersebut, ataupun yang sudah merantau datang kembali ke perkampungan. Acaranya saling berkunjung dan bersilaturahmi.

Kawasan Berastagi memiliki panorama alam mirip Puncak atau kalau di Bandung mirip daerah Lembang. Perjalanan dari Kota Medan menuju Brastagi, memakan waktu antara 1,5 hingga 2 jam menggunakan kendaraan pribadi.

Sedangkan bila menggunakan angkutan umum, bisa ditempuh dalam waktu 3 jam dengan menempuh jarak sekitar 80 km. Menariknya, di sepanjang perjalanan dapat dinikmati pemandangan yang sangat indah di kiri dan kanan jalan. Seperti perkebunan teh dan tembakau, serta aktivitas keseharian masyarakat Sumatra Utara.

Panorama alamnya yang begitu menawan dengan kesejukan suhu udaranya, dipastikan akan membuat siapa pun yang pernah berkunjung ke Brastagi merasakan sesuatu yang nyaman. Udara di sini sangat bersih dan sejuk, ini karena dikelilingi oleh pegunungan dan hutan-hutan yang sangat indah.

Dari Berastagi, perjalanan dapat dilanjutkan ke Tongging, sebuah kawasan wisata yang memiliki Air Terjun Sipiso Piso. Nama Piso mempunyai arti pisau. Memang air terjun ini tajam dan dalam, dengan dikelilingi oleh jurang yang sangat dalam di tanah Sumatra Utara. Jarak lokasi menuju air terjun ini kalau dari Kabanjahe sekitar 24 km, dan letaknya di sekitar tepi Danau Toba bagian utara.

Pemandangan di sekitar air terjun sangat indah, dengan ketinggian sekitar 130 meter. Namun untuk mencapai air terjun, dibutuhkan kehati-hatian dan kerja keras. Sebab jalan setapak menuju air terjun sangat curam dan banyak kelokan. Namun tentunya ada kepuasan sendiri saat bisa menikmati Brastagi dengan semua objek wisatanya. (efrie ch./”GM“)**
nb : judul asli Brastagi Tiada Duanya, brastagi seharusnya pake ‘e’ jadi Berastagi, bukan brastagi.

Filed Under: Opini Tagged With: kota berastagi, pariwisata

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • Sayang
  • Nokoh
  • Tedeh Ateku Kena
  • Urusenndu Ras Dibata
  • Gadis Manis

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2023 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home