Adalah kantor redaksi Sora Sirulo yang menjadi tempat bercengkerama sekaligus “mencicip” latihan dasar pencak silat khas Karo, pada Jumat (29/7) lalu. Walau yang hadir bisa dihitung dengan jari, setidaknya kami semua memiliki pendapat yang sama mengenai seni bela diri tradisionil (dalam bahasa Karo disebut Ndikkar). Prihatin. Yakni, mulai pupusnya identitas yang menunjukkan kami sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan nilai Timur.
“Saya lebih senang melatih Ndikkar* untuk sedikit orang, dengan niat yang sungguh-sungguh belajar,” ujar bang Yakinsyah Brahmana (47 tahun). Dalam lintas bincang kami, sempat saya mengutip bahwa dirinya adalah salah satu dari dua orang yang menguasai seni Ndikkar, tak hanya sebagai bela diri namun juga digunakan dalam tarian tradisional.
Maka, kantor redaksi ini pun disulap sementara jadi dojo mini. Kami lalu dibimbing mulai dari cara mengikat sarung (menjadi semacam sabuk) dan memasang bulang (kain penutup kepala), hingga gerak dasar Rampung Belo** dan Tare-tare Bintang.
yakinsyah brahmana
Dalam seni beladirinya, Ndikkar digunakan untuk menyambut serangan lawan. Dijelaskan bang Yakinsyah, teknik yang dijunjung Pandikkar, atau mereka yang menguasai Ndikkar, ialah menjatuhkan lawan dengan menggandakan daya tolak lawan dengan tenaga dari Pandikkar sendiri. “Kita tidak menyerang lawan, tetapi memanfaatkan setiap celah untuk menjatuhkannya,” imbuh abang yang juga dikenal dengan nama Kawar ini***.
Keluwesan gerak tangan dalam Ndikkar sepintas mirip dengan tari piring dari Padang, Sumatera Barat. Karenanya, dalam latihan perdana ini bang Yakinsyah meminta kami menggunakan piring kecil. Menjaga keseimbangan piring saat digerakkan memutar dari pinggang hingga ke atas kepala adalah agar terbiasa bila menerapkan Ndikkar secara tangan kosong, katanya.
“Sebenarnya ada 48 jurus mayan,” kata bang Yakinsyah. Dia melanjutkan, para muridnya di Belanda telah mempelajari jurus pertahanen, langkah 2, langkah 7, tare-tare bintang, jile-jile sarudung, pertahanen harimau, pertahanen pedi, dan sebagainya. “Setidaknya para siswa sudah dapat buang lepas****.”
Dia juga mengatakan, di masa perjuangan melawan penjajah, para Pandikkar biasa mengirim sandi-sandi khusus melalui gerakan yang sudah saling dimahfumi sesama mereka. Jika dibandingkan, mungkin mirip dengan sandi bendera Pramuka saat ini.
Ndikkar, ‘harimau’ yang tertatih
Kembali pada bincang-bincang mengenai keprihatinan kami atas Ndikkar ini, bang Yakinsyah juga mengakui bahwa minat pemuda Karo untuk mempelajari Ndikkar kian tergerus seiring zaman. Laiknya harimau yang tertatih, generasi muda Karo yang mestinya menopang keharuman Ndikkar cenderung mengabaikan harta budaya dan seni tradisional ini.
Sikap berbeda malah ditunjukkan generasi muda dari Negara Kincir Angin, Belanda. “Setidaknya lebih dari 200 orang telah belajar ndikkar Karo disini, oleh sebab itu suatu saat bisa saja pandikkar-pandikkar akan datang dari Belanda ini dan kita akan belajar dari mereka,” kata bang Yakinsyah.
Bang Yakinsyah mengajar Ndikkar di sebuah sekolah Kristen Oikumene di Groningen Belanda, yaitu Dom Helder Camara, Oecumunes Bassies Schooler, Noord Netherlands. Para siswa SD di sekolah tersebut merasa bangga dapat mempelajari dan mempraktekkan Ndikkar tersebut.
Bang Yakinsyah sendiri banyak belajar gerakan-gerakan mayan dari beberapa guru mayan Karo sejak tahun 1981 hingga tahun 1992, ketika dia masih berprofesi sebagai tourist guide di Berastagi dan Sungai Alas. Beliau belajar dari beberapa guru, seperti Seter Sembiring (Lau Baleng), Pa Kuling-Kuling atau Menet Ginting (Lau Cimba), Pa Johan Barus (Pendekar Buntu), Belat Tarigan (Kaban), Tagok Peranginangin (Lau Buluh), dan berbagai informasi dari Ginting Capah (Sibolangit) dan Tukang Ginting (Berastagi).
Menurutnya, sikap enggan untuk membagikan pengetahuan Ndikkar adalah akar dari fenomena hilangnya seni beladiri ini di buminya sendiri. “Banyak dari kita yang hanya mengajarkan 7 jurus, padahal dia tahu 10 jurus. Ini amat berbeda dari masyarakat Eropa yang terus berupaya mengimprovisasi 10 jurus tadi menjadi lebih banyak.”
Bang Yakinsyah pun tak sungkan mudik, guna menerima undangan Sora Sirulo, untuk memberi pelatihan Ndikkar bagi sejumlah kaum muda yang berminat mempelajarinya. Selain di Medan, dia juga memberi bimbingan serupa di Desa Limang, Kabupaten Tanah Karo.
“Sekarang ini, saya beri latihan dasar dulu. Namun, saya yakin kita bisa belajar hingga konsep gerak tariannya,” tuturnya kepada kami, pada Minggu (31/7) lalu, yang menyusut pesertanya dari 8 orang hingga 3 orang saja.
Meski sedikit, bang Yakinsyah berharap pengetahuan Ndikkar ini tidak terkubur, namun terus disebarkan ke banyak generasi muda dalam negeri sendiri. Sebuah gebrakan yang mengingatkan pada perkataan Presiden Soekarno: “… Tetapi betapa pun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama, dan itu mulai kami lakukan.”
Setidaknya, upaya menjaga sang ‘harimau’ tetap mengaum bangga di bumi sendiri: Sumatera Utara, Indonesia. (sumber : bloggersumut)