• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home
You are here: Home / Archives for gendang karo

gendang karo

Alat Musik Karo

12 April 2012 by karo Leave a Comment

alat musik karo

Beberapa alat musik karo tradisional karo :
a.Kulcapi
Kulcapi adalah salah satu alat musik tradisional budaya karo. Kulcapi hampir sama dengan gitar akustik biasa hanya saja bedanya kulcapi hanya mempunyai 2 senar (1 dan 2), kulcapi tebuat dari bahan dasar kayu yang di ukir sedemikian rupa hingga menghasilkan suara yang harmony.
kulcapi
b. Sarune.
1. Anak-anak sarune, terbuat dari daun kelapa dan embulu-embulu (pipa kecil) diameter 1 mm dan panjang 3-4 mm. Daun kelapa dipilih yang sudah tua dan kering. Daun dibentuk triangel sebanyak dua lembar. Salah satu sudut dari kedua lembaran daun yang dibentuk diikatkan pada embulu-embulu, dengan posisi kedua sudut daun tersebut,
2.Tongkeh sarune, bagian ini berguna untuk menghubungkan anak-anak sarune. Biasanya dibuat dari timah, panjangnya sama dengan jarak antara satu lobang nada dengan nada yang lain pada lobang sarune,
3. ampang-ampang sarune, bagian ini ditempatkan pada embulu-embulu sarune yang berguna untuk penampung bibir pada saat meniup sarune. Bentuknya melingkar dnegan diameter 3 cm dan ketebalan 2 mm. Dibuat dari bahan tulang (hewan), tempurung, atau perak,
4. batang sarune, bagian ini adalah tempat lobang nada sarune, bentuknya konis baik bagian dalam maupun luar. Sarune mempunyai delapan buah lobang nada. Tujuh di sisi atas dan satu di belakang. Jarak lobang 1 ke lobang adalah 4,6 cm dan jarak lobang VII ke ujung sarune 5,6 cm. Jarak antara tiap-tiap lobang nada adalah 2 cm, dan jarak lubang bagian belakang ke lempengan 5,6 cm.
5. gundal sarune, letaknya pada bagian bawah batang sarune. Gundal sarune terbuat dari bahan yang sama dengan batang sarune. Bentuk bagian dalamnya barel, sedangkan bentuk bagian luarnya konis. ukuran panjang gundal sarune tergantung panjang batang sarune yaitu 5/9.

balobat

c. Gendang
Alat musik gendang adalah berfungsi membawa ritme variasi. Alat ini dapat diklasifikasi ke dalam kelompok membranofon konis ganda yang dipukul dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini terdiri dari dua jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gendang singindung (induk). Gendang singanaki di tambahi bagian gerantung. Bagian-bagian gendang anak dan induk adalah sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya
Bagian-bagian gendang itu adalah:
gendang karo
1.tutup gendang, yaitu bagian ujung konis atas. Tutup gendang ini terbuat dari kulit napuh (kancil). Kulit napuh ini dipasang ke bingkai bibir penampang endang. Bingkainya terbuat dari bambu.
2.Tali gendang lazim disebut dengan tarik gendang terbuat dari kayu nangka(Artocarpus integra sp). Salah satu sampel contoh ukuran untuk bagian atas gendang anak adalah 5 cm, diameter bagian bawah 4 cm dan keseluruhan 44 cm. ukuran gendang kecil yang dilekatkan pada gendang anak, diameter bagian atas 4 cm, diameter bagian bawah 3 cm, dan panjang keseluruhan 11,5 cm. Alat pukulnya (stik) terbuat dari kayu
3.jeruk purut. Alat pukul gendang keduanya sama besar dan bentuknya. Panjangnya 14 cm dan penampang dan penampung relatif 2 cm.
Untuk gendang indung, diameter bagian atas 5,5 cm, bagian bawah 4,5 cm, panjang keseluruhan 45,5 cm. Bahan alat pukulnya juga terbuat dari kayu jeruk purut. Ukuran alat pukul ini berbeda yaitu yang kanan penampangnya lebih besar dari yang kiri, yaitu 2 cm untuk kanan dan 0,6 cm untuk kiri. Panjang keduanya sama 14 cm.
(Sumber: dari berbagai sumber)

Filed Under: Seni dan Budaya Tagged With: alat musik, gendang karo

Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua

18 October 2011 by karo 4 Comments

pemain musik karo

Oleh Arbain Rambey (KOMPAS)

MENYADARI bahwa seseorang cuma sendirian di dunia ini, biasanya rasa kesepian akan muncul. Ini yang dialami Kebun Tarigan, pemusik tradisional Karo yang tinggal di Medan.

Namun, kesepian Tarigan bukanlah kesepian dalam arti sebenarnya karena ia tidak ditinggalkan siapa pun. “Kesepian” Tarigan-bahkan sudah menjurus menjadi “ketakutan”-timbul melihat kenyataan bahwa tinggal dirinyalah orang yang menguasai musik Limapuluh Kurang Dua dalam tradisi Karo.

“Apalagi usia saya sudah 71 tahun. Kalau tidak ada yang meneruskan, musik ini akan punah. Saya sudah cek ke mana-mana. Sudah tidak ada lagi orang yang menguasai musik ini,” kata Tarigan dengan prihatin.

Musik Limapuluh Kurang Dua adalah deretan lagu-lagu tradisional Karo yang hanya dilantunkan pada acara-acara besar seperti saat kematian raja atau dukun besar, juga peresmian rumah adat.

Nama musik ini memang aneh. Jumlah lagu yang dilantunkan memang 48, namun penyebutannya haruslah tetap begitu. Musik Limapuluh Kurang Dua.

“Lagunya tetap lima puluh sesungguhnya. Yang 48 dimainkan manusia, sedangkan yang dua lagi dimainkan roh-roh yang ada di alam semesta ini,” kata Tarigan dengan mimik sama sekali tidak bergurau.

Jadi, ini memang masalah budaya. Dalam hemat Tarigan, bila musik ini hilang, berarti hilang juga sebuah mata rantai kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Ditemui di rumahnya di ujung landas pacu Bandara Polonia Medan, Tarigan berusaha meyakinkan siapa pun bahwa kekayaan budaya harus dilestarikan dengan cara apa pun.

Di sinilah ketakutan Tarigan muncul. Ia tidak tahu bagaimana melestarikan Musik Limapuluh Kurang Dua di tengah dunia yang sudah hiruk-pikuk dengan lagu-lagu baru yang sangat berbeda dari lagu tradisi itu.

***
PROBLEM utama pada musik tradisional di Indonesia saat ini adalah pada masalah penotasiannya. Banyak musik tradisional sudah punah karena hanya diwariskan secara lisan, sementara peminat makin sedikit dan para pakarnya sendiri tidak menguasai teknik penotasian musik maupun teori tari yang mereka kuasai itu.

“Saya masih terus mencari murid, tetapi sampai sekarang belum ada yang mau saya ajari. Termasuk anak saya sendiri menolak,” papar Tarigan sambil menghela napas panjang.

Tarigan pun belajar musik Limapuluh Kurang Dua saat usianya sudah 30-an tahun pada awal tahun 1960-an. Waktu itu, seorang guru bernama Renda Sinuraya sedang mencari murid, dan Tarigan menerima uluran tangan sang guru.

“Saya jadi murid saat sudah punya anak-istri. Saya mau menjadi murid karena tergetar pada kemagisan musik ini,” papar Tarigan. Kompas pun merasa serasa di alam lain saat mendengar Tarigan memainkan sepotong musik Limapuluh Kurang Satu dengan satu serunai saja.

Menurut Tarigan, saat ini generasi muda Indonesia cenderung menyukai musik modern yang mudah dicerna tanpa banyak merenungkannya. Saat ini, pada acara Karo apa pun, umumnya alat musik keyboard yang dipakai dengan lagu-lagu pop dinyanyikan sambil bergoyang.

“Tanpa ingin menyalahkan aliran musik apa pun, kenyataannya generasi sekarang tidak pernah mau repot terlibat dengan musik tradisional yang sering mereka sebut kampungan dan ketinggalan zaman,” jelas Tarigan.

Kalaupun ada orang yang tertarik belajar musik Limapuluh Kurang Dua saat ini, orang itu pun pasti akan terbentur pada masalah waktu. Mempelajari musik ini sungguh butuh konsentrasi yang luar biasa tinggi. Semua lagu harus dihapal luar kepala karena memang belum ada notasi untuk itu.

Secara total, musik Limapuluh Kurang Dua membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikannya. Ada beberapa jeda di antara lagu-lagu itu, dan jeda-jeda ini pun sudah ada standarnya.

“Untuk mempelajarinya jelas butuh waktu lama. Walau diturunkan secara lisan, musik ini punya pakem yang tetap dan tidak boleh dimodifikasi,” jelas Tarigan.

MUSIK Limapuluh Kurang Dua memang sebuah repertoir rumit. Selain harus didahului dengan sesajen yang terdiri dari beras, sirih, tikar, pisau, uang dirham (koin emas), dan kain putih, para pemainnya pun harus menyiapkan diri secara mental. Ada pemusik pengiring yang berpuasa dulu sebelum memainkan musik ini.

“Pada suku lain pun ada musik yang tidak bisa dimainkan sembarangan. Saya dengar di Keraton Solo ada gamelan dan juga tari yang hanya dimainkan pada saat-saat khusus,” ujar Tarigan.

Setiap memainkan musik Limapuluh Kurang Dua, Tarigan yang memainkan serunai buatannya sendiri akan diiringi dua buah gendang, sebuah gong besar dan sebuah gong kecil. Serunai mengeluarkan bunyi dari getaran daun kelapa hijau yang dijepit di bibirnya.

Ada beberapa tahapan dalam memainkan musik Limapuluh Kurang Dua. Seluruh tahapan menggambarkan alam semesta, memadukan segenap elemen yang ada, serta menggabungkannya dengan kehidupan secara total dalam delapan penjuru angin.

Tahapan pertama adalah tahapan Persentabin atau pembukaan yang terdiri dari sembilan lagu. Tahapan ini adalah penghormatan kepada segenap hadirin dan alam semesta.

Tahap selanjutnya adalah Perang Belin yang terdiri dari empat lagu, lalu tahapan Ndungu Gendang Sipitu yang sesuai namanya terdiri dari tujuh lagu.

Disusul kemudian dengan Ndudu yang terdiri dari tujuh lagu, Pekekeken yang terdiri dari sembilan lagu, Gendang Guru yang terdiri dari tujuh lagu, serta ditutup dengan Katonengkatoneng sampai selesai.

***
BELUM lama ini Tarigan agak bernapas lega. Seorang tokoh masyarakat Karo, Darwan Perangin-angin, sudah merekam musik Limapuluh Kurang Dua ini ke dalam pita magnetik. Menurut rencana, Darwan akan memindahkan rekaman magnetik itu ke cakram compact disk agar lebih awet dan bisa disebarluaskan.

“Tetapi, saya tetap khawatir. Rekaman itu tidak mengajarkan apa-apa. Orang tidak bisa belajar musik ini dari sekadar mendengarkan. Ada teknik yang harus dipelajari dengan tatap mata kepada gurunya,” kata Tarigan.

Untuk menyambung rekaman ini, Darwan Perangin-angin berencana merekam dengan pita video agar bisa terekam pula teknik-teknik peniupan serunai. Bagi Tarigan, setidaknya rekaman ini adalah sarana mencegah kepunahan musik Limapuluh Kurang Dua.

“Barangkali nanti ada ahli musik yang bisa menotasikannya. Saya harapkan agar musik ini bisa dimainkan sampai kapan pun dari notasi itu,” kata Tarigan setelah mendengarkan rekaman permainannya.
pemusik karo
Kini, sambil tetap berharap agar ada orang mau belajar musik Limapuluh Kurang Dua, Tarigan melakukan berbagai upaya dengan caranya sendiri agar musik Karo tidak punah. Mantan tukang cukur dan pensiunan guru ini setiap hari terus membuat alat musik serunai.

Berbahan kayu selantam, cangkang bulus, dan daun kelapa hijau, setiap tiga bulan ia menghasilkan sebuah serunai halus. Umumnya serunai buatan Tarigan dibeli pemusik-pemusik tradisional yang jumlahnya juga sudah tidak banyak lagi saat ini.

“Saya cinta sekali pada musik Karo. Segala upaya akan saya lakukan agar dia lestari,” kata Tarigan. (ARBAIN RAMBEY)

Sumber : karosiadi

Tambahan

Komposisi Gendang Lima Puluh Kurang Dua
1. Perang-perang Alep Empat Kali
2. Gendang Pendungi
3. Gendang Sunkun Berita Alep Empat Kali
4. Gendang Perang-siperangen
5. Gendang Terus Perang
6. Gendang Pendungi
7. Gendang Ngelingkah Alep Empat Kali
8. Gendang Umang
9. Gendang Pemungkah
10. Gendang Sual-Sual
11. Gendang Siempat Terpuk
12. Gendang Angki-angki
13. Gendang Cak Gugung
14. Gendang Lingga Alep Empat kali
15. Gendang Dumai
16. Gendang Jawi Guru
17. Gendang Pendarami
18. Gendang Sabung Katukup
19. Gendang Katoneng-Katoneng
20. Gendang Kata Teman
21. Gendang Begu Deleng
22. Gendang Diden-diden
23. Gendang Didong-didong
24. Gendang Musuh Suka
25. Gendang Perang Malesa
26. Gendang Empet-Empet
27. Gendang Tembut
28. Gendang Kuda-kuda
29. Gendang Pemuncak
30. Gendang Arimo Ngajar Bana
31. Gendang Tambuta
32. Gendang Kaba-kaba
33. Gendang Tampul-tampul Biang
34. Gendang Pagar
35. Gendang Tungkat
36. Gendang Peselukken
37. Gendang Silengguri
38. Gendang Kelayaren
39. Gendang Toba
40. Gendang Pak-Pak
41. Gendang Pedah-Pedah
42. Gendang Perang Balik
43. Gendang Balik Sumpah
44. Gendang Balik Gung
45. Gendang Pendungi
46. Gendang Mulih-mulih
47. Gendang Teger Rudang
48. Gendang Jumpa Malem

Filed Under: Seni dan Budaya Tagged With: gendang karo

Gendang Kematian dan Kematian Gendang pada Masyarakat Karo

12 August 2011 by karo Leave a Comment

Globalisasi menunjukkan wujud yang lain, tidak hanya bermotif ekonomi, juga kebudayaan. Globalisasi kebudayaan telah menggiring masyarakat pada tahapan prosesnya yang ketiga, yaitu era posmodern.
Pada era posmodern, masyarakat mengalami absurditas pada corak berpikirya, terjadi tumpang tindih antara spiritualitas pramodern dan rasionalitas modern. Hal ini juga dialami oleh berbagai kebudayaan tradisi di masyarakat Indonesia. Salah satunya, tradisi lisan -tradisi yang dilangsungkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi- masyarakat Karo yang dalam ritual gendang kematian-nya mulai bersinggungan dengan modernitas. Gendang lima sedalanen, salah satu ensambel dalam ritual gendang kematian mulai digantikan oleh keyboard.
Barker mengakui, wacana globalisasi turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang saling multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik dan identitas. Perubahan yang dianggap chaos ini diantisipasi melalui penyelidikan tentang budaya konsumer, budaya global, imperalisme budaya dan postkolonialitas. Proses globalisasi yang berciri ekonomi banyak mengacu pada sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme dan hal ini terkait dengan isu-isu makna kultural dan proses-proses kultural global (Barker, 2005: 133).
Pada perkembangannya kategori-kategori seni juga mengalami perubahan karena desakan modernitas. Seni tradisional yang dulu merupakan batang tubuh dari proses pengalaman dan pendalaman dalam kehidupan sehari-hari, mulai digantikan oleh seni modern. Pengalaman akan seni merupakan pengalamann estetis, sehingga seni dapat menyelidiki makna-makna kehidupan. Lebih jauh lagi, seni merupakan bagian dari pengungkapan hasrat-hasrat spiritualitas dalam mencari penjelasan mengenai keseimbangan alam semesta, sehingga spiritualitas menjadi penting untuk dipertahankan, dalam arus globalisasi kebudayaan dan kapitalisme saat ini.
Pada dasarnya spiritualitas memang tidak empirik, tapi memiliki-makna-makna yang terwujud dalam artefak-artefak kebudayaan masyarakat. Hal ini karena suatu produk kebudayaan akan selalu terikat pada isi-isi kebudayaannya. Bentuk dan isi merupakan perwujudan dari spiritualitas dan materialitas suatu masyarakat. Absurditas bentuk dan isi, saat ini terjadi karena pergumulan masyarakat dengan arus modernitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Bisa saja dalam perwujudan spiritualitasnya, nilai-nilai atau bahkan makna menjadi banal atau kosong.
Prinst (2003) mengatakan keselarasan antara manusia dengan alam akan menyejukkan dan mengharmoniskan irama kehidupan manusia dan lingkungannya. Sebaliknya, setiap ketimpangan (kejanggalan) yang terjadi dalam masyarakat akan mengakibatkan disharmoni (ketidakharmonisan) kosmos (alam) dan masyarakat. Ketidakharmosian ini akan menimbulkan bencana, seperti kemarau panjang atau malapetaka lainnya. Keselarasan atau keseimbangan dalam suatu mayarakat, sering dikaitkan dengan bagaimana mereka beraktifitas sehari-hari. Disitulah yang disebut sebagai kosmologi dapat terwujud.
Selanjutnya, Liembeng (2007), masyarakat Karo meyakini alam dan lingkungan, selain sebagai tempat hunian manusia, juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dengan makhluk-makhluk lain. Bagi penulis, inilah yang disebut sebagai perwujudan spiritualitas yang terkait dengan kosmologi masyarakat Karo.
Perwujudan spiritualitas masyarakat Karo sering diutarakan dalam berbagai ungkapan-ungkapan kesehariannya. Salah satunya, ungkapan yang sering diutarakan dalan upacara kematian, yaitu: buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi begu, yang artinya: rambut menjadi ijuk, darah menjadi air, nafas menjadi angin, daging menjadi tanah, tulang menjadi batu, dan roh menjadi hantu (begu) (Liembeng, 2007: 17). Kalimat tendi jadi begu, menyiratkan bahwa kematian merupakan salah satu perwujudan spiritualitas bagi masyarakat Karo. Hal ini dikarenakan berubahnya roh menjadi hantu (tendi jadi begu), menandakan setelah mati tubuh manusia akan kembali menjadi materi-materi yang dalam lingkungan kesehariannya tergolong benda mati. Roh tetap kekal dalam bentuknya sebagai hal yang abstrak, namun bisa dirasakan eksistensinya. Gendang kematian pun menjadi penting dalam kosmologi masyarakat Karo, karena dalam mati ada hidup dan dalam hidup ada mati.
Gendang kematian, salah satu ritual kematian yang terdapat pada masyarakat Karo. Didalamnya terdiri dari berbagai unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri dari lima unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan yaitu: (1) Gendang lima sedalanen (musik), (2) landek (tari), (3) ngerana (petuah), (4) ngandung (tangisan), (5) rende (nyanyian/senandung). Salah satu peranan gendang lima sedalanen sebagai iringan musik dan tari dalam upacara kematian adalah “perekat” dari semua unsur upacara. Gendang lima sedalanen digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai pesan dan harapan bagi keluarga dan bagi orang yang sudah meninggal dunia.
Secara simbolis Gendang lima sedalanen merepresentasikan spiritualitas kehidupan masyarakat Karo melalui berbagai unsur-unsurnya, seperti instrumen yang digunakan, para pemain termasuk juga prosesi ritualnya. Karena itu keberadaan gendang lima sedalanen menarik untuk diteliti dengan melihat bagaimanakah sesungguhnya bentuk, fungsi dan makna spiritualitas gendang lima sedalanen dalam gendang kematian pada masyarakat Karo. Gendang lima sedalanen merupakan simbol tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam, hingga kini. Penggunaan gendang lima sedalanen mengalami pergeseran pada instrumen yang digunakan. Jika dahulu menggunakan instrumen tradisional seperti, sarunei (kayu), gendang singindungi/singanaki (kulit), maupun gung/penganak (logam), digantikan oleh teknologi elektronik organ tunggal atau keyboard.
Sekurang-kurangnya dua dekade terakhir musik Karo telah menggunakan alat musik keyboard, yaitu alat musik modern yang memiliki berbagai fasilitas program musik. Bahkan alat ini cukup dimainkan oleh seorang pemain, guna menghasilkan musik combo (band), maupun orkestra (big band). Lebih jauh lagi telah terjadi konsensus di masyarakat Karo secara tidak sadar untuk menggabungkan unsur modernitas dan tradisionalitas mereka dalam istilah gendang kibod. Alat musik ini bahkan dapat menyerupai musik Karo dalam berbagai ekspresi dan kreasi seniman-seniman Karo. Peneliti telah mengamati dalam beberepa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran dalam gendang guro-guro aron (pesta muda-mudi) dan nganting manuk (malam sebelum upacara adat perkawinan Karo berlangsung).
Dua tahun terakhir kibod mulai merambah ke gendang kematian pada masyarakat Karo. Hal ini terwujud bukan semata-mata karena ekonomi. Kepraktisan penggunaan alat ini, justru sebagai salah satu faktor yang mendorong minat masyarakat menggunakan kibod. Selain itu penggunaan kibod juga tidak banyak melibatkan jumlah pemain, bahkan umumnya cukup dimainkan oleh satu orang (player). Gendang lima sedalanen bagi masyarakat Karo, merupakan prosesi ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu segala unsur gendang lima sedalanen dalam gendang kematian pada masyarakat Karo mengandung simbol-simbol dan makna simboliknya. Pudarnya sistem kepercayaan ini setidaknya mendorong perubahan maupun pergeseran pada penggunaan alat-alat tradisonal gendang Karo menjadi alat musik modern berupa kibod.
Memudarnya sistem kepercayaan asli masyarakat Karo juga tidak terlepas dengan sistem kepercayaan agama-agama wahyu yang hanya percaya kepada Tuhan Yang Esa. Makna sakral yang terdapat pada gendang Karo termasuk pada alat yang digunakan secara perlahan berubah menjadi makna profan, karena alat musik modern berupa kibod mampu menirukan repertoar gendang kematian. Secara perlahan masyarakat pemilikpun semakin kehilangan tentang makna dari gendang ini.
Spiritualitas Gendang lima sedalanen dalam gendang kematian pada masyarakat Karo dikhawatirkan tidak akan bertahan lama, padahal di dalamnya mengandung berbagai pesan dan mitos yang disampaikan secara lisan telah berlangsung berabad-abad.
Perbedaan spiritualitas tidak lepas dari terjadinya dinamika dalam struktur masyarakat. Masyarakat tradisional telah menjadi masyarakat modern, dan yang modern telah menjadi postmodern. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Yasraf sebagai postspiritualitas; kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan, sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur (Adlin, 2007: 207).
Kapitalisme tidak hanya menyentuh sendi-sendi profan dari suatu tradisi tetapi juga nadi sakralnya. Pada proses ini tentunya, seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa manusia bagian dari suatu kebudayaan perlu untuk berpartisipasi kritis terhadap fenomena globalisasi kebudayaan saat ini. Oleh Pulumun Ginting, S.Sn

Filed Under: Seni dan Budaya Tagged With: gendang karo

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • La Kudiate
  • Percian
  • Rudang Rudang Sienggo Melus
  • Sayang
  • Nokoh

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2025 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home