Salah satu tokoh Karo, Tama Ginting, tak banyak yang tahu dengan tokoh Karo satu ini. Sehingga ia hanyalah seorang pejuang yang terlupakan. Berbeda dengan tokoh-tokoh Karo di zamannya, ia lebih cendrung melakukan perlawanan lewat jalur politik. Jasanya dalam menentang penjajah Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang, pelaksanaan Revolusi Sosial tak berdarah dan meredam konflik etnis antara Karo dan Tapanuli patut di hargai.
Zaman Penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang
Kedekatannya dengan Ishak Kesuma seorang tokoh pergerakan Nasional, Tama Ginting berhasil mengerakkan rakyat melawan penjajahan Belanda di Tanah Tinggi Karo bersama Pa Tolong Manik dan Keras Surbakti melalui Pendidikan Nasional Indonesia Cabang Tanah Karo sekitar Tahun 1937 di Berastagi, sepuluh tahun setelah pemberontakan rakyat menentang penjajahan Belanda yang digerakkan oleh PKI di kota yang sama. Dua tahun setelahnya, Belanda berhasil meredam gerakan tersebut dan menangkap Tama Ginting dan memenjarakannya di Kabanjahe. Sementara itu Pa Tolong Manik dan Keras Surbakti dibuang ke Cimahi. Itulah awal perlawanannya yang frontal terhadap penjajah.
Penangkapan itu tidak menyurutkan gerakannya melawan penjajah. Malahan ia menggerakkan ribuan rakyat dari Berastagi melakukan demonstrasi kekota Kabanjahe pada tahun 1942, sebagai ucapan terima kasih kepada Jepang yang telah berhasil mengusir Belanda dari Tanah Karo. Akhir tahun 1942 Tama Ginting, Rakutta Sembiring dan tokoh-tokoh lainnya memberikan latihan kader bagi para pemuda untuk mempersiapkan diri dalam menerima penyerahan kemerdekaan dari Jepang. Para pemuda inilah yang kemudian merapatkan barisan dalam Kyodo Buedan ( Barisan Perlindungan udara Desa).
Sistim monopoli yang diberlakukan Jepang pada saat itu menimbulkan kemelaratan bagi rakyat. Barang kebutuhan hilang di pasaran, perampsan hasil pertanian, busung lapar muncul dimana-mana. Istilah Jepang “Saudara Tua”, ternyata hanya menimbulkan malapetaka. Dalam situasi demikian, Tama Ginting, Rakutta Berahmana, Selamat Ginting dan Bosar Sianipar membentuk Poesra (Poesat Ekonomi Rakyat) di Berastagi yang bertujuan membela ekonomi rakyat dan menghancurkan perekonomian Jepang di Tanah Karo. Sekembalinya dari Medan mengikuti pertemuan pemuda tanggal 21 September 1945, di Berastagi sebagai kota pergerakan, Tama Ginting mengumpulkan pemuda untuk membentuk Barisan Pemuda Indonesia Cabang Berastagi dan menyampaikan berita Kemerdekaan.
Seputar Revolusi Sosial
Menyikapi maklumat pemerintah tentang partai-partai politik, ternyata menimbulkan disharmoni dikalangan barisan kelaskaran. Seperti pusat dan daerah lainnya di Indonesia, di Karo juga terkadi pertikaian antar partai politik dan barisan-barisan kelaskarannya. Ide Tan Malaka untuk membentuk satu kesatuan perjuangan dalam satu komando guna menentang diplomasi Belanda yang ingin kembali menjajah terwujud pada 6 November 1946 di Porwokerto dengan berdirinya Volksfront (persatuan perjuangan). Tama Ginting dipercaya memimpin persatuan perjuangan Tanah Karo yang berkedudukan di Berastagi.
Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja Sibayak dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Kaum Bangsawan bekerja sama dengan Belanda/NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Sementara itu pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Revolusi Sosial ini di motori oleh Volksfront dengan pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh Umar, Nathar Zainuddin dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar. Laskar yang berperan dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo, Barisan Harimau Liar, Barisan Merah (PKI) dan Hizbullah didukung buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani.
Di Tanah Karo pimpinan persatuan perjuangan mengadakan rapat di Kabanjahe dan Berastagi untuk melaksanakan Revolusi Sosial agar berjalan tanpa pertumphan darah, karena umumnya Raja-Raja dan sibayak di Tanah Karo tidak melakukan kegiatan anti repoblik. Revolusi sosial ini juga di motori oleh Persatuan perjuangan dengan alat pelaksana Barisan Kelaskaran Pesindo. Pada tanggal 3 Maret 1946, Persatuan perjuangan mengundang seluruh Raja dan Sibayak di Tanah Karo beserta pengikutnya untuk menghadiri pertemuan di Bungalow Sultan Deli di Bukit Gundaling. Seketika itu juga seluruh Raja dan Sibayak yang hadir diberitahukan penahanan atas dirinya. Para sibayak dan Raja urung ini selanjutnya dibawa ke Kota Cane dibawah pengawasan pemerintah Tanah Alas.
April 1946, sepasukan tentara laskar gabungan Pesindo Tanah Karo dan Laskar Aceh Tengah melakukan operasi revolusi sosial di daerah Sidikalang dan Pangururan. Operasi di pangururan ternyata mendapat hambatan, sepasukan tentara yang mayoritas warga Karo tersebut di tangkap dan ditahan di Balige. Sejalan dengan hal itu muncul isu bahwa kedatangan pasukan gabungan itu bukanlah usaha untuk melakukan revolusi sosial namun untuk menjajah. Isu ini cepat tersiar dan menimbulkan konflik antar suku. Segerombolan orang-orang mendatangi kampong-kampung yang didiami oleh suku Karo dan Pakpak, membunuh dan membakar rumahnya. Kejadian perang suku ini berlangsung selama sebulan. Untuk menyelesaikan konflik ini, Gubernur Sumatera mengutus Tama Ginting dan Saleh Umar untuk menghubungi pengetua dari kedua pihak yang bertikai guna mengambil jalan damai. Demikianlah upaya perdamaian dari konflik dapat terlaksana.
Penutup
Demikianlah sekelumit sepak terjang Tama Ginting di Tanah Karo dalam pergerakannya melawan penjajah Belanda dan Jepang, Revolusi Sosial dan pembetukan pemerintahan Karo yang berkedaulatan Rakyat seperti cita-cita proklamasi 17-8-1945. Di Tanah Karo, tokoh-tokoh seperti Rakutta Brahmana, Ngerajai Milala, Nerus Ginting Suka, Tama Ginting dan lainnya tak pernah dihargai. Ironisnya mereka bahkan seolah disingkirkan dari sejarah perjalanan bangsa ini. Mereka bukanlah pejuang yang angkat senjata dalam pergerakan kemerdekaan, namun buah pikir dan karya mereka patut dihargai dan disejajarkan dengan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Tanah Karo lainnya, sebagai khazanah bunga rampai sejarah kemerdekaan Republik Indonesia di Tanah Karo. (karokab)