• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home
You are here: Home / Archives for karo

karo

Penyanyi Karo Korban Penganiayaan

22 September 2011 by karo Leave a Comment

Penyanyi papan atas dari daerah Tanah Karo, Sumatera Utara, Harto Tarigan warga Jalan Tali Air Kelurahan Mangga, Medan Tuntungan menjadi korban penganiayaan oleh seorang pria di kawasan Helvetia.Menurut korban di Markas Kepolisian Sektor Kota Helvetia Medan saat membuat laporan mengatakan, peristiwa pemukulan terjadi, Sabtu jelang tengah malam. Ketika itu korban, menghadiri acara perkumpulan Marga Silima yang diundang menyanyi di acara tersebut.

Usai bernyanyi dalam acara tersebut, korban bermaksud pulang dengan diantar pihak panitia, Japet Sitepu dengan menumpang Toyota Kijang Kapsul warna biru. Namun ketika hendak keluar parkir, mobil yang diutmpangi korban menyenggol mobil Suzuki AVP BK 1243 H, milik Tedo Tobing dan mengenai kaca spion. Pemilik mobil, Tedo Tobing kemudian mendatangi mobil korban seraya membawa batu.

Pelaku langsung memukul kepala korban yang duduk di samping kiri hingga terluka. “Dia marah-marah dan membentak kami datang. Saya belum turun dari mobil sambil berbicara kami mau menepinya pak, bukan mau lari, langsung Tedo menyangkal perkataan korban sambil menuduh ingin melawan. Ketika itulah batu langsung dipukulnya ke kening saya dengan batu. Saat darah segar muncrat dari kening saya, bapak itu disuruhnya saya lapor polisi dan mengaku tidak takut dengan polisi. Karena tidak ada etikad baiknya sedikit pun, akhirnya masalah ini saya laporkan ke polisi,” jelas Harto.

Korban kemudian dilarikan ke RS Sari Mutiara Medan untuk berobat. Usai berobat kasus tersebut kemudian dilaporkan Polsekta Medan Helvetia sesuai laporan polisi No.Pol: LP/925/IX/2011/TBS Helvetia tanggal 19 September 2011 dengan terlapor Tedo Lumban Tobing, warga Jalan Seroja Raya Blok Kelurahan Helvetia Tengah.Kanit Reskrim Polsekta Helvetia Medan, Iptu Zulkifli membenarkan adanya laporan pengaduan korban. (waspada online)

Filed Under: Kriminal Tagged With: harto tarigan, kekerasan

Gubernur Kukuhkan Kerukunan Masyarakat Karo Kaltim

22 September 2011 by karo Leave a Comment

kalak karo bas kaltim

Gubernur Kaltim Dr H Awang Faroek Ishak mengatakan, Kaltim sekarang ini sedang giat-giatnya membangun, tentunya membutuhkan stabilitas keamanan yang kondusif. Hal itu bisa terlaksana tentunya dengan dukunganan kesadaran tinggi dari semua warga negara termasuk seluruh etnis di daerah ini. Membangun Kaltim adalah tanggung jawab kita semua, sesuai slogan “Membangun Kaltim untuk Semua, adalah bukan slogan kosong akan tetapi sarat dengan makna untuk mensejahterakan rakyat Kaltim,” kata Gubernur Kaltim, Dr H Awang Faroek Ishak di hadapan masyarakat Karo di Samarinda, Minggu (18/9) malam. Awang bertekad, terus memeranggi kemiskinan, kebodohan, tidak ada lagi masyarakat menganggur semua mendapatkan kebutuhan baik sandang, pangan dan papan juga pendidikan, kesehatan, infrastruktur yang baik semua itu menjadi tekad bersama untuk diperjuangkan. “Saya minta komitmen seluruh masyarakat Karo, turut mengentaskan kemiskinan dan bersama-sama mengurangi pegangguran di Kaltim,” pinta gubernur. Kepada pengurus baru harus membantu program-program pemerintah, untuk menginvestarisir dimana anggota berada, karena cita-cita kami sebagai gubernur tidak boleh rakyat Kaltim yang hidupnya masih berada di garis kemiskinan juga menganggur, tidak boleh lagi masyarakat tidak mendapat pelayanan, pendidikan, kesehatan yang baik. .

Masyarakat Karo Sumatra Utara di Kaltim, tetap menjaga persatuan dan kesatuan bersama etnis lain untuk membangun Kaltim. Meskipun berbeda-beda suku bangsa dan agama namun tetap menghargai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni, Pancasila, UUD 1945, tetap berkomitmen cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika. “Agar bangsa kita ini tetap kokoh dan bersatu, empat pilar berbangsa dan bernegara ini harus kita pertahankan dan perjuangkan jangan diabaikan sepanjang masa, dengan prinsip dimana bumi dipijak disana langit dijunjung tentunya harus dilaksanakan dengan baik,” kata Gubernur Kaltim Dr H Awang Faroek Ishak di hadapan masyarakat Karo. Gubernur berharap seluruh warga Karo juga seluruhnya masyarakat Kaltim yang bermukim di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap mengingat baik-baik empat pilar untuk dasar berbangsa dan bernegara ini, karena dari empat pilar itu bangsa kita menjadi bangsa yang besar.

“Saya yakin dengan empat pilar ini, bangsa kita terhindar tidak dari disintergrasi bangsa. Karena bangsa kita saling menghormati serta menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Selain itu juga penduduk asli harus menghormati budaya yang dibawa para kaum migrasi, begitu juga kaum pendatang juga menghormati budaya leluhur penduduk asli,” ujar gubernur. Pengukuhkan pengurus Kerukunan Masyarakat Karo Kaltim dengan Ketua Hermanus Barus oleh Gubernur Kaltim, dirangkai Temu Kangen masyarakat Karo (Mburo Ate Tedeh) yang tersebar di Kaltim, juga dihadiri tokoh-tokoh masyarakat Kaltim, diantaranya Mantan Wagub Kalim Yurnalis Ngayoh, dihibur musik tradisional Karo juga tarian lima serangkai yang mengambarkan perjuangan masyarakat Karo yang gigih dan tidak mengenal lelah.(Sar/hmsprov).

sumber : situs prov kaltim NB: Batak Karo diubah Menjadi Karo

Filed Under: Berita Baru Tagged With: karo kaltim, karo luar sumatra

Walikota Binjai Ditabalkan Jadi Marga Sitepu

22 September 2011 by karo Leave a Comment

Walikota Binjai HM Idaham SH MSi ditabalkan menjadi marga Sitepu. Istrinya Walikota, Lisa Andriani ditabalkan menjadi beru Peranginangin. Acara penabalan digelar di Jambur Beguldah, sebagai ungkapan terima kasih warga Beguldah II, Kelurahan Tanah Merah, Binjai Selatan atas perbaikan Jalan Gunung Singgalang sepanjang 3 KM yang hampir sepuluh tahun belum diaspal, Sabtu (17/9) malam. Perbaikan jalan itu sangat berarti bagi warga setempat yang mayoritas sebagai petani.
penabalan merga sitepu
Penabalan itu dihadiri Ketua Demokrat Binjai HM Sazali, tokoh pemuda Payo Sitepu, mewakil Kapolres, mewakili Dandim dan Camat Binjai Selatan, Lurah Tanah Merah, Reguna Sitepu serta undangan lainnya. “Janji untuk memperbaiki Jalan Gunung Singgalang telah dipenuhi. Kami mendoakan Pak Idaham agar sukses memimpin Binjai. Kami juga minta kepada walikota untuk memperbaiki saluran irigasi, membangun Puskesmas dan penambahan guru SD. Kalau bisa kami minta guru-guru yang sudah bersertifikat di datangkan ke desa kami, karena sekolah di sini masih kekurangan tenaga guru. Masyarakat Beguldah siap mendukung program Walikota Binjai,” ujar tokoh adat Karo Beguldah Drs Jagai Sitepu

Idaham mengatakan, sangat terharu dan mengucapkan terima kasih atas undangan pada syukuran itu. “Dulu saya kemari dan berjanji untuk mengaspal jalan di sini dan doa kita dikabulkan Allah,” ujar Idaham sembari mengatakan pihaknya sudah mendengar apa permasalahan di Desa Beguldah yang bermata pencarian bertani.

Disinggung banyak lumpur mengendap pada saluran irigasi akibat beroperasinya galian C di hulu Sungai Bingei, Idaham berjanji akan berkoordinasi dengan instansi terkait. Begitu juga saat disinggung soal penambahan guru untuk SD Negeri dan Puskesmas. “Itu akan direalisasikan pada anggaran 2012,” janjinya.(mg) (sumber)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: penabalan merga, tama merga

Meruntuhkan “Batak”

19 September 2011 by karo 2 Comments

meruntuhkan batak
Berdasarkan catatan sejarah para pengembara dan ilmuwan, Batak didefinisikan sebagai suku pedalaman, kanibal, kasar, pemakan babi, dan tak beradab (uncivilized).Ia kerap dipersabungkan dengan Melayu yang dianggap sebagai suku pesisir, melek budaya, dan beradab (civilized). Sayangnya, sebagian besar peneliti etnis Batak cenderung menerima tanpa menyoal defenisi pengkor tersebut. Opini minor atas orang Batak kerap menjengul di tengah-tengah masyarakat kita karenanya.

Padahal, menurut Daniel Perret, penulis buku ini, sejatinya Batak adalah ciri kultural yang ditemukan (invented), didefinisikan, dibentuk, dan dirawat oleh kaum kolonial. Sejak 1990-1993, di bawah bimbingan Indonesianis Denys Lombard, Perret terjun langsung ke kawasan Sumatra Timur Laut -kini Sumatra Utara- untuk membuktikan kebenaran tesisnya itu. Maka jangan heran jika semua kata “Batak” di buku ini tertulis dalam tanda kutip.

Identitas Kabur

Perret juga menemukan fakta bahwa pada awalnya “Batak” dan “Melayu” itu tak terpisah. Sebagai kesatuan sosial, mereka terdiri dari beragam asal dan terbuka pada segala pusparupa budaya (kosmopolitan). Meskipun mereka terkelompokkan dalam topografi hulu-hilir/darat-pantai/pedalaman-pesisir, tapi makna hulu/darat/pedalaman tak mengacu pada tabiat kebiadaban atau keterbelakangan budaya. Faktanya, merekalah penonggak sistem perdagangan daerah, antar daerah, dan internasional sejak era prakolonial (hal. 78).

Melalui analisis ruang dan jejaring sosial-politik-ekonomi-kultural-religi di Sumatra Timur Laut era prakolonial (hal. 81-257), Perret samasekali tak menjumpai musabab penakdir identitas “Batak”. Istilah “Batak” sendiri sangat garib. Ia tak tertera dalam berbagai literatur tradisional pedalaman. Baik pustaha Toba maupun Simalungun, Syair Putri Hijau (1924), Pustaka Kembaren (1927), dan Pustaka Ginting (1930). Dalam Hikayat Deli, “Batak” hanya sekali digunakan tanpa didahului oleh kata “orang”. Sedangkan di stempel Sisingamangaraja, hanya ada kalimat “Ahu Raja Toba”, bukan “Ahu Raja Batak”. Dengan demikian, “Batak” adalah identitas kabur (evasive identity). Sebab orang Batak sendiri tak pernah menyebut diri mereka “Batak”.

“Batak” dan “Melayu” muncul sebagai buah silaturahmi ekonomi-politik-budaya-agama (Islam) antara pesisir Sumatra dengan semenanjung Melayu sejak abad ke-16. “Melayu” dibarut oleh para pedagang Malaka yang mengubah nama Deli menjadi Tanah Melayu untuk membahasakan narasi besar kebudayaan saat itu. Sementara “Batak” dieja oleh “ruang-ruang Melayu” secara sembarangan sebagai narasi pelengkap untuk memindai orang yang bukan Melayu, tak berpengetahuan, berperilaku kasar, dan kanibal (hal. 170-171).

Meski dipojokkan sebegitunya, tak sekutilpun ada gandalan dalam resiprokalitas antara pedalaman dan pesisir karena kesesatan pelabelan ini. Ketika krisis ekonomi menjangkit, kekacauan politik di kesultanan Aceh meriuh, dan permintaan lada pasar dunia meningkat di pangkal abad ke-19, elit-elit pesisir (para sultan) malah mengembangkan ruang budi-daya pertanian lada, kopi, gambir, dan kapas di pedalaman. Raut intimitas pesisir dan pedalaman semakin sumringah karenanya. Bahkan para sultan pesisir pun mengambil istri dari kalangan warga pedalaman demi kelancaran pengolahan lahan mereka (hal. 121).

Etnitisasi

Jika “Batak” di era prakolonial cuma sekedar label, maka “Batak” sebagai identitas mulai terbentuk seturut ekspansi kolonial pekebun-pekebun Barat ke kawasan Sumatra Timur Laut pada tahun 1863. Bagi para kapitalis-kolonialis itu, orang pedalaman adalah hijab untuk memperoleh konsesi lahan perkebunan dari sultan-sultan pesisir. Maka mereka sengaja menunaikan misi etnitisasi untuk memutilasi buhul kemesraan pesisir-pedalaman sekaligus menyekat ruang sosial keduanya. Sejak itu, mereka mulai menyiagakan kontrolir yang bertugas untuk menata urusan masyarakat di setiap blok pedalaman.

Bersama aparatus kolonial lain seperti pejabat perkebunan, residen, asisten residen, hingga misionaris, para kontrolir tak hanya menyuntikkan perasaan kekomunitasan dan kesadaran “Batak” di tubuh sosial warga pedalaman, tapi juga menguatkan ruang sosio-geografis, menggali bahasa dan nilai-nilai adat-budaya, serta mendakwahkan agama (Kristen). Perlahan-lahan “Batak” pun ditemukan. Pada tahun 1910, dalam laporan akhir tugasnya, seorang kontrolir bernama Kok telah menginventarisasi daftar ciri-ciri budaya dan psikologi orang “Batak” untuk diwariskan kepada kontrolir penerusnya (hal. 298).

Satu lagi, ada peran akbar ilmuwan kolonial dalam penemuan “Batak” ini. Terutama sejak berdirinya Bataksch Instituut di Leiden pada tahun 1908 dengan cabangnya di Medan, Bataksch Vereeniging (hal. 299-300), yang memusatkan kegiatannya untuk memfolder jibunan data tentang Bataklanden di semua bidang. Lembaga ini pun sempat menerbitkan sejumlah hasil penelitian ihwal “bangsa Batak” yang hingga kini masih diacu untuk mendefinisikan “Batak”. Mahabenar Edward W. Said dengan firman orientalismenya: bahwa Barat telah menyaring dan mengerangkeng Timur dalam teori maupun praktek yang sengaja diciptakannya hingga menjadi sebuah sistem ilmu (Orientalism: 1977: 14).

Eksplosif

Buntut etnitisasi ini amat eksplosif. Misalnya Perang Sunggal (1872-1895), perang saudara antara pesisir dan pedalaman yang disebut Belanda sebagai Batak Oorlog. Tak hanya itu, di bagian Selatan Tapanuli muncul sekelompok “bangsa Mandailing” (hal. 315-330). Mereka enggan disebut “Batak”. Sebab sejak lama mereka merasa telah beradab (civilized)dan beragama Islam seperti orang-orang Melayu.

Sayangnya, buku yang semula merupakan disertasi doktoral Perret di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, ini alpa mencacah forma buntut termutakhir etnitisasi. Sehingga bobot kekiniannya agak berkurang. Ia akan lebih berbunyi jika saja Perret berkenan membicarakan tuntutan pembentukan Provinsi Tapanuli (Protap) yang menyeruak belakangan ini. Setakat dengan itu, rasanya perang terselebung antara “Batak”, “Melayu”, dan “Mandailing” dalam “politik rekrutmen” punggawa birokrasi di Sumatra Utara pun perlu dibahas di sini.

Tapi kegigihan Perret untuk meruntuhkan “Batak” dan menggodam sakralitas konsep etnis justru membuka kemungkinan riset ilmiah yang lebih menantang. Jika mengikuti nalar buku ini, maka keterpisahan etnis Jawa-Sunda di Jawa dan Melayu-Dayak di Kalimantan hanya tinggal menunggu jadwal pemakaman. Dengan begitu, akan jelas bahwa “Batak” dan semua wajah etnisitas itu bukanlah takdir. Tapi cuma label budaya saja. Maknanya akan terus berubah di setiap era. rimanews

Filed Under: Berita Baru Tagged With: bukan batak, buku

Gendang Guro Guro Aron Jaranguda

19 September 2011 by karo Leave a Comment

guro guro aron Jaranguda

Gendang Guro-Guro Aron Jaranguda (Kecamaten Merdeka, Kabupaten Karo) , tahun enda bas tanggal 28-29 Oktober 2011. Mari radu ras kita sukseskensa.

cataten :
Adina informasikenndu atendu kerna gendang-gendang kerja tahun ibas kutandu banci kirimndu ku email staff[at]karo.or.id ntah pe arah komentar teruh enda. Bujur

Filed Under: Berita Baru Tagged With: guro guro aron, nimpa bunga benih

Deli Tua Situs Sejarah yang Terlupakan

14 September 2011 by karo 1 Comment

Selain wisata alam Danau Toba dan alam pegunungan di Bukit Lawang, Sumatera Utara (Sumut) masih mempunyai beberapa segi wisata, antara lain wisata sejarah. Salah satu wisata sejarah di Sumut yang belum banyak dikenal orang adalah menelusuri sejarah Kerajaan Haru, yang merupakan salah satu cikal bakal kesultanan yang melahirkan Istana Maimoon di Medan. Sejarah Kerajaan Haru pulalah yang memadukan masyarakat Karo, Melayu, dan Aceh pada sebuah pertalian.

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-15, Kerajaan Haru itu termasuk salah satu kerajaan terbesar di Sumatera, setara dengan Kerajaan Pasai dan Malaka. Saat ini, di wilayah bekas Kerajaan Haru ini telah berdiri sebelas kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara bagian timur, yaitu Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Karo, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu.
Pertalian Aceh, Karo, dan Deli bisa dilihat dari hal ini. Sultan pertama Kerajaan Deli yakni Tuanku Panglima Gocoh Pahlawan. Ia adalah Panglima Perang Aceh yang ditempatkan di sekitar wilayah Kerajaan Haru. Penempatan tersebut dilakukan untuk meredam pemberontakan terhadap Kerajaan Aceh pada masa Raja Iskandar Muda. Setelah menguasai ibu kota Kerajaan Haru di Deli Tua, Gocoh Pahlawan meminang putri keturunan Karo dan mendirikan Kerajaan Deli di tempat yang sama.

Salah satu Keturunan Gocah Pahlawan adalah Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, yang membangun Istana Maimoen pada akhir abad ke-19. Istana itu bahkan masih berdiri megah hingga saat ini di tengah Kota Medan, Sumatera Utara. Sabtu, 6 April 2002.

Menjelajahi situs Kerajaan Haru adalah sebuah keasyikan tersendiri. Lokasi bekas ibu kota Kerajaan Haru itu terletak sekitar lima kilometer dari Pasar Deli Tua Baru di Jalan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada daerah yang udaranya masih bersih. Cocok untuk trekking sambil berwisata.
Setelah melalui jalan aspal beberapa saat, perjalanan ke situs itu kemudian dilanjutkan dengan melewati jalan berbatu dan sempit, menyusuri pinggiran Sungai Deli dan menyeberangi sebuah jembatan gantung yang bergoyang saat dilewati.

Usai melewati jembatan gantung, sampailah kita pada jalan yang diberi nama Jalan Pancur Gading. Nama ini diberikan, sebab di sepanjang jalan tersebut akan ditemui dua dari sebelas pancuran air yang dikeramatkan penduduk setempat. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pancuran-pancuran air tersebut, dulunya, sering digunakan oleh penduduk di Kerajaan Haru, mulai dari raja hingga dayang-dayang kerajaan.

Kini, semua pancuran air tersebut telah dibuat permanen. Mata air yang turun langsung dari bukit tersebut ditampung dalam sebuah bak tembok setinggi satu setengah meter. Air tersebut kemudian dikeluarkan melalui dua buah pipa plastik yang tidak pernah ditutup sehingga airnya yang jernih itu mengalir terus-menerus.
Pancuran yang terbesar, yaitu berasal dari tiga titik keluaran air, terletak setelah kita melewati pancuran pertama yang berada di pangkal Jalan Pancur Gading. Penduduk setempat mempercayai bahwa pancuran terbesar itu merupakan tempat Putri Hijau, salah seorang penguasa terakhir Kerajaan Haru, untuk mandi. Situs sejarah bekas Istana Kerajaan Haru berada dekat dengan pancuran yang kedua itu. Pada hari libur atau akhir pekan, puluhan orang bermalam di pancuran ini.

Kini kita sudah dekat dengan situs sejarah peninggalan Kerajaan Haru. Dengan menaiki satu bukit lagi, sampailah kita di sana.

Akan tetapi, jangan membayangkan akan menjumpai runtuhan istana atau serakan batu candi misalnya. Situs itu kini hanya menyisakan gundukan tanah dengan tinggi sekitar lima meter dan lebar empat meter sehingga membentuk parit-parit yang dalam dan panjang. Gundukan tanah tersebut dibangun sebagai benteng pertahanan Kerajaan Haru saat menghadapi serangan laskar Sultan Aceh Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat atau Sultan Alaiddin Riayat Shah Al Qahhar.

“Orang Karo zaman dulu membangun rumah atau istana semata dari kayu. Jadi, tidak ada peninggalan yang bisa kita rasakan saat ini,” kata Darwan Perangin-angin, seorang tokoh masyarakat Karo yang mengarang buku “Adat Karo”.

Bukti bahwa gundukan tanah tersebut digunakan sebagai benteng pertahanan jaman Kerajaan Haru adalah letak gundukan tanah itu yang mengelilingi tanah datar yang ada di atas bukit itu. Tepat di atas tanah datar itulah tempat Istana Kerajaan Haru dan permukiman penduduk Kampung Deli Tua dulu berada. Sementara, letak gundukan tanah yang menghadap ke arah Sungai Deli dimaksudkan untuk menangkal serangan dari musuh yang masuk lewat laut melalui aliran Sungai Deli.

Dengan berada di situs bekas Istana Haru, kita merasakan betul bahwa lokasi istana itu sangatlah strategis. Dengan membayangkan bahwa keliling istana itu dulu dikelilingi pohon bambu, terasa betul betapa kuat dan strategisnya lokasi Istana Haru terhadap serangan musuh mana pun.

MASIH ada hal lebih menarik untuk kita telusuri. Perjalanan dilanjutkan ke permukiman penduduk yang terdekat dengan situs sejarah ibu kota Deli Tua tersebut, yaitu Dusun 1, Kampung Deli Tua, di Kabupaten Deli Serdang. Sekitar abad ke-15, kampung ini merupakan ibu kota Kerajaan Haru dengan nama yang sama yakni Deli Tua.

Sebagai bagian yang menyatu dengan bekas reruntuhan ibu kota Kerajaan Haru, yang masih tertinggal di dusun ini hanyalah ceritera-ceritera legenda yang dimiliki oleh hanya sebagian penduduknya, yang diperoleh mereka secara lisan turun-temurun dari orang tuanya. Maka, mampirlah ke sebuah kedai kopi di sana, dan dengarkan berbagai ceritera menarik dari penduduk, misalnya dari Nambun Sembiring Milala (71).

Di kampung tersebut, hanya Nambun yang masih menyimpan ceritera-ceritera legenda, seperti Putri Hijau yang mempunyai dua orang saudara yang berubah wujud menjadi naga dan meriam puntung. Legenda rakyat yang berkembang tentang Kerajaan Haru, pada beberapa bagian, memperoleh penguatan dari bukti-bukti yang ditemukan oleh penduduk Kampung Deli Tua itu sendiri.

Kisah tentang kemenangan laskar dari Sultan Aceh dalam perang melawan Kerajaan Haru, misalnya dari kisah mata uang dirham (deraham dalam bahasa Karo), yang berbentuk logam dan konon yang terbuat dari emas. Uang logam emas bertuliskan huruf Arab tersebut digunakan pasukan Aceh untuk memancing pasukan Haru keluar dari bentengnya.

Bukti bahwa peristiwa penyebaran uang logam tersebut terjadi bisa kita dapatkan dari ceritera para penduduk di sini. Nambun mengatakan sudah pernah menemukan lima keping uang logam emas yang dipercaya pernah digunakan oleh pasukan Kerajaan Aceh tersebut. Uang-uang emas itu ia temukan di sekitar pekarangan rumahnya pada sekitar tahun 1970.

“Sudah saya jual. Waktu itu, sekitar 10 tahun lalu, satunya masih laku Rp 4.000. Sekarang saya tidak menyimpan satu pun. Di sekitar sini juga pernah ditemukan patung naga terbuat dari emas dan pada bagian matanya dari berlian. Tapi, sudah diamankan polisi saat itu juga,” kata lelaki kelahiran tahun 1931 itu menambahkan.

Bukan hanya Nambun, Ngirim Ginting juga mempunyai pengalaman sama, hanya saja benda bersejarah yang ditemukannya berbeda. Ngirim menceritakan bahwa ia pernah menemukan sarung keris yang terbuat dari emas, serta beberapa peluru timah berbentuk bulat. Sarung keris berlapis emas itu kemudian ia jual ke Pasar Deli Tua Baru, sedangkan peluru-peluru timah itu ia lebur dan dijadikan sebagai vas bunga di rumahnya.
“Saya jual sarung keris itu waktu harga emas masih Rp 2.000 segramnya. Hampir semua penduduk di sini pernah menemukan uang logam emas Deraham itu, tapi pasti dijual. Terakhir masih ada yang menemukannya tahun kemarin,” kata Ngirim.

Satu-satunya penduduk yang masih menyimpan uang logam tersebut adalah seorang ibu, penduduk dusun yang sama, yang enggan disebut namanya. Uang emas berdiameter kurang dari satu sentimeter itu ditunjukkannya kepada Kompas untuk difoto.
Berhiaskan kaligrafi dalam huruf Arab dan ukiran berbentuk bulat di sekeliling pinggiran lingkarannya, uang dirham itu memang tampak sangat tua. Penduduk setempat menyebut kaligrafi itu sebagai tulisan berbahasa Aceh.

Namun, baik Nambun maupun Ngirim mengakui, mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa uang logam tersebut bernilai sejarah yang tinggi. Mereka tidak mengerti bagaimana sebuah uang emas tipis seperti itu mampu mengungkapkan jati diri dan sejarah keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa uang logam tersebut terbuat dari emas 24 karat dan bernilai uang jika dijual.

“Mereka juga tidak mengerti bahwa selama ini rumah yang mereka diami berada di sebuah bekas ibu kota kerajaan besar di zaman dahulu. Mereka tidak sadar bahwa dusun tempat mereka tinggal adalah sebuah situs sejarah yang mengenaskan karena tidak tersentuh usaha perlindungan sejarah, dan segera akan terlupakan,” ujar Darwan.(Kompas)

Filed Under: Sejarah Tagged With: benteng putri hijau, deli tua

  • « Go to Previous Page
  • Page 1
  • Interim pages omitted …
  • Page 34
  • Page 35
  • Page 36
  • Page 37
  • Page 38
  • Interim pages omitted …
  • Page 57
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • La Kudiate
  • Percian
  • Rudang Rudang Sienggo Melus
  • Sayang
  • Nokoh

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2025 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home