sumber : Tropenmuseum
Sejarah
Ditemukan Fosil Berusia 7.400 Tahun di Aceh Tengah
Tim Arkeologi Balar, Medan, Sumatera Utara telah menemukan fosil kerangka manusia purba yang diperkirakan berusia 7.400 tahun di Ceruk Ujung Karang Jongok, Meluem Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Pj. Bupati Aceh Tengah Ir. Moh. Tanwier MM pun meminta bantuan pemerintah pusat untuk berperan serta dalam menjadikan lokasi temuan itu sebagai cagar budaya yang perlu dipelihara dan dilestarikan.
Saat berkunjung ke lokasi temuan di Ceruk Ujung Karang Jongok, Meluem Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah, Kamis (14/6) siang, Pj. Bupati Moh. Tanwier menyatakan, bentuk partisipasi yang diharapkan dari pemerintah pusat sebut meliputi pembebasan lahan di sekitar lokasi tempat ditemukannya fosil, pemugaran okasi ditemukannya fosil karena temuan situs prasejarah ini, bukan hanya menjadi milik daerah semata, tapi juga merupakan asset nasional.
”Mungkin dari temuan ini akan banyak dapat di gali kehidupan sebelum adanya kehidupan yang sekarang ini, karenanya kami berharap Pemerintah Pusat melaui Kementerian terkait, dapat mengirim tim ahli tambahan untuk menyelidiki dan menemukan cagar budaya baru, yang disinyalir masih terdapat diseputaran danau Laut Tawar,” kata Tanwier.
Pelaksana Tugas (Plt) Kadis Periwisata, kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga Aceh Tengah, Drs Ishak mengatakan, untuk tahapan proses penggalian Pemkab Aceh Tengah telah memberikan perhatian, sehingga hasil penyelidikan para tim Arkeologi telah mencapai hasil seperti ini.
Ketua Tim Arkeologi Sumatra Utara, I Ketut Wiradiyana mengatakan, pihaknya mulai penelitian di Ceruk Ujung Karang Jongok Meluem Kecamatan Kebayakan. sekitar tahun 2010. Sebelumnya pada tahun 2009 tim ini juga berhasil mengidentifikasi adanya lokasi fosil rangka manusia yang diperkirakan telah berusia 3.500 tahun lalu, di Ceruk Mendale tidak jauh dari ditemukannya lima fosil kerangka manusia di Ceruk Ujung Karang
Selain temuan lima fosil kerangka manusia di Ceruk Ujung Karang ini, tim Arkealogi Balar Medan ini juga menemukan sisa anyaman yang keseluruhannya diperkirakan berumur 7.400 tahun yang lalu.
Berangkat dari hal tersebut, papar Ketut, Pemerintah daerah mengajukan kegiatan berupa kasting yakni pencetakan duplikat kerangka-kerangka manusia. “Nah kerangka kerangka yang ada di Ujung Karang ini merupakan kerangka hasil cetakan, sedangkan aslinya sudah ada dimuseum Aceh Tengah,” papar Ketut.
Ketut juga menjelaskan proses pembuatan duplikat kerangka pra-sejarah, yang diawali dari cetakan yang telah disiapkan, diletakkan sesuai dengan posisi awalnya dari rangak yang ada, hal ini diperlukan untuk dijadikan sebagai salah satu tambahan obyek wisata budaya bagi Pemerintah Aceh Tengah.
Dari lima kerangka yang ditemukan, menurut Ketut, berusia sekitar 17 tahun terkecuali dua kerangka yang terletak secara berdampingan (berpasangan) dipastikan memiliki usia yang jauh lebih tua. Dan dari kerangka yang berpasangan itu nampaknya telah dilakukan berkali-kali pemotongan gigi, jadi besar kemungkinan kematiannya disebabkan oleh keries akibat kerusakan email giginya sebut Ketut Wiradyana menambahkan.
Berkaitan dengan DNA pihak arkeologi menyatakan belum diketahui dengan pasti karena hasil DNA yang ada pada kerangka prasejarah ini relatif terbatas. Namun demikian yang sudah di pastikan hasil DNA adalah DNA orang Gayo dengan DNA orang Karo.(setkab.go.id)
Tama Ginting Pejuang Karo Yang Terlupakan
Salah satu tokoh Karo, Tama Ginting, tak banyak yang tahu dengan tokoh Karo satu ini. Sehingga ia hanyalah seorang pejuang yang terlupakan. Berbeda dengan tokoh-tokoh Karo di zamannya, ia lebih cendrung melakukan perlawanan lewat jalur politik. Jasanya dalam menentang penjajah Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang, pelaksanaan Revolusi Sosial tak berdarah dan meredam konflik etnis antara Karo dan Tapanuli patut di hargai.
Zaman Penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang
Kedekatannya dengan Ishak Kesuma seorang tokoh pergerakan Nasional, Tama Ginting berhasil mengerakkan rakyat melawan penjajahan Belanda di Tanah Tinggi Karo bersama Pa Tolong Manik dan Keras Surbakti melalui Pendidikan Nasional Indonesia Cabang Tanah Karo sekitar Tahun 1937 di Berastagi, sepuluh tahun setelah pemberontakan rakyat menentang penjajahan Belanda yang digerakkan oleh PKI di kota yang sama. Dua tahun setelahnya, Belanda berhasil meredam gerakan tersebut dan menangkap Tama Ginting dan memenjarakannya di Kabanjahe. Sementara itu Pa Tolong Manik dan Keras Surbakti dibuang ke Cimahi. Itulah awal perlawanannya yang frontal terhadap penjajah.
Penangkapan itu tidak menyurutkan gerakannya melawan penjajah. Malahan ia menggerakkan ribuan rakyat dari Berastagi melakukan demonstrasi kekota Kabanjahe pada tahun 1942, sebagai ucapan terima kasih kepada Jepang yang telah berhasil mengusir Belanda dari Tanah Karo. Akhir tahun 1942 Tama Ginting, Rakutta Sembiring dan tokoh-tokoh lainnya memberikan latihan kader bagi para pemuda untuk mempersiapkan diri dalam menerima penyerahan kemerdekaan dari Jepang. Para pemuda inilah yang kemudian merapatkan barisan dalam Kyodo Buedan ( Barisan Perlindungan udara Desa).
Sistim monopoli yang diberlakukan Jepang pada saat itu menimbulkan kemelaratan bagi rakyat. Barang kebutuhan hilang di pasaran, perampsan hasil pertanian, busung lapar muncul dimana-mana. Istilah Jepang “Saudara Tua”, ternyata hanya menimbulkan malapetaka. Dalam situasi demikian, Tama Ginting, Rakutta Berahmana, Selamat Ginting dan Bosar Sianipar membentuk Poesra (Poesat Ekonomi Rakyat) di Berastagi yang bertujuan membela ekonomi rakyat dan menghancurkan perekonomian Jepang di Tanah Karo. Sekembalinya dari Medan mengikuti pertemuan pemuda tanggal 21 September 1945, di Berastagi sebagai kota pergerakan, Tama Ginting mengumpulkan pemuda untuk membentuk Barisan Pemuda Indonesia Cabang Berastagi dan menyampaikan berita Kemerdekaan.
Seputar Revolusi Sosial
Menyikapi maklumat pemerintah tentang partai-partai politik, ternyata menimbulkan disharmoni dikalangan barisan kelaskaran. Seperti pusat dan daerah lainnya di Indonesia, di Karo juga terkadi pertikaian antar partai politik dan barisan-barisan kelaskarannya. Ide Tan Malaka untuk membentuk satu kesatuan perjuangan dalam satu komando guna menentang diplomasi Belanda yang ingin kembali menjajah terwujud pada 6 November 1946 di Porwokerto dengan berdirinya Volksfront (persatuan perjuangan). Tama Ginting dipercaya memimpin persatuan perjuangan Tanah Karo yang berkedudukan di Berastagi.
Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja Sibayak dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Kaum Bangsawan bekerja sama dengan Belanda/NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Sementara itu pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Revolusi Sosial ini di motori oleh Volksfront dengan pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh Umar, Nathar Zainuddin dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar. Laskar yang berperan dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo, Barisan Harimau Liar, Barisan Merah (PKI) dan Hizbullah didukung buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani.
Di Tanah Karo pimpinan persatuan perjuangan mengadakan rapat di Kabanjahe dan Berastagi untuk melaksanakan Revolusi Sosial agar berjalan tanpa pertumphan darah, karena umumnya Raja-Raja dan sibayak di Tanah Karo tidak melakukan kegiatan anti repoblik. Revolusi sosial ini juga di motori oleh Persatuan perjuangan dengan alat pelaksana Barisan Kelaskaran Pesindo. Pada tanggal 3 Maret 1946, Persatuan perjuangan mengundang seluruh Raja dan Sibayak di Tanah Karo beserta pengikutnya untuk menghadiri pertemuan di Bungalow Sultan Deli di Bukit Gundaling. Seketika itu juga seluruh Raja dan Sibayak yang hadir diberitahukan penahanan atas dirinya. Para sibayak dan Raja urung ini selanjutnya dibawa ke Kota Cane dibawah pengawasan pemerintah Tanah Alas.
April 1946, sepasukan tentara laskar gabungan Pesindo Tanah Karo dan Laskar Aceh Tengah melakukan operasi revolusi sosial di daerah Sidikalang dan Pangururan. Operasi di pangururan ternyata mendapat hambatan, sepasukan tentara yang mayoritas warga Karo tersebut di tangkap dan ditahan di Balige. Sejalan dengan hal itu muncul isu bahwa kedatangan pasukan gabungan itu bukanlah usaha untuk melakukan revolusi sosial namun untuk menjajah. Isu ini cepat tersiar dan menimbulkan konflik antar suku. Segerombolan orang-orang mendatangi kampong-kampung yang didiami oleh suku Karo dan Pakpak, membunuh dan membakar rumahnya. Kejadian perang suku ini berlangsung selama sebulan. Untuk menyelesaikan konflik ini, Gubernur Sumatera mengutus Tama Ginting dan Saleh Umar untuk menghubungi pengetua dari kedua pihak yang bertikai guna mengambil jalan damai. Demikianlah upaya perdamaian dari konflik dapat terlaksana.
Penutup
Demikianlah sekelumit sepak terjang Tama Ginting di Tanah Karo dalam pergerakannya melawan penjajah Belanda dan Jepang, Revolusi Sosial dan pembetukan pemerintahan Karo yang berkedaulatan Rakyat seperti cita-cita proklamasi 17-8-1945. Di Tanah Karo, tokoh-tokoh seperti Rakutta Brahmana, Ngerajai Milala, Nerus Ginting Suka, Tama Ginting dan lainnya tak pernah dihargai. Ironisnya mereka bahkan seolah disingkirkan dari sejarah perjalanan bangsa ini. Mereka bukanlah pejuang yang angkat senjata dalam pergerakan kemerdekaan, namun buah pikir dan karya mereka patut dihargai dan disejajarkan dengan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Tanah Karo lainnya, sebagai khazanah bunga rampai sejarah kemerdekaan Republik Indonesia di Tanah Karo. (karokab)
Pecatur Karo Yang Mendunia
Inilah tugu catur di kota Kabanjahe, tugu yang tak terawat dan terlihat bagaimana kepala kuda catur tersebut sedang menjunjung gulungan kabel PLN, padahal itu salah satu tugu yang menjadi simbol bahwa masyarakat Tanah Karo sangat cerdas di bidang olah raga catur, dan pernah sangat disegani di dunia catur, bahkan kalau gak salah pernah ada pecatur tanah karo (Pa Kantur alias Sinarsar Purba) yang di bawa oleh kolonial Belanda untuk melakukan pertandingan simultan catur di Belanda, melawan 20 orang dan hampir semuanya kalah dibuatnya kecuali remis dengan seorang pecatur Belanda yaitu Max Euwe yang beberapa tahun kemudian menjadi juara dunia catur, dan berpuluh tahun kemudian menjadi ketua (FIDE) Federasi Catur Internasional.
Dan menurut beberapa sumber, sepulangnya Pa Kantur dari negeri Belanda, beberapa tahun kemudian saat Max Euwe menjadi juara catur dunia, ada olok-olok/sindiran halus didunia catur Tanah Karo yang ditujukan kepada pa Kantur…“andaikata kamu gak kembali ke Tanah Karo dan menetap saja di Belanda, mungkin kamulah yang menjadi juara dunia catur”
Ini soal sejarah dan bukan sejarah sembarangan, tentang sebuah permainan yang membutuhkan konsentrasi dan diakui dunia, ada kejuaraan dunianya dan menyangkut kecerdasan. Sedih melihat dunia catur Tanah Karo seperti sekarang ini, apa ada event-event pertandingan catur di Tanah Karo? padahal begitu banyak bakat. Semoga bisa ditulis ulang sejarah seperti Pa Kantur ini, Merlep Ginting dan master-master catur lainnya yang berasal dari Tanah Karo. Ini soal kebanggaan daerah, nilai plus daerah, dan semoga Tugu Catur bukan hanya sebagai hiasan kota yang semakin semrawut saja, semoga ada kesadaran dari pihak-pihak terkait untuk betul-betul memajukan dunia catur di Tanah Karo.
Selayaknya Pengda Percasi Tanah Karo membuat tulisan ulang tentang sejarah mereka ini terutama Pa Kantur alias Sinarsar Purba itu. Bayangkan menahan remis seorang Max Euwe yang beberapa tahun kemudian menjadi juara dunia catur dan Max Euwe ini pernah menjadi president catur or ketua Federasi Catur Dunia (FIDE), bahkan seorang Utut Adianto pun belum bisa melakukan itu.
Paling tidak melalui dunia internet ini bisa kita rekonstruksi ulang sejarah tersebut, kalau ada yang tahu dari mana asal/kampung Pa Kantur tersebut serta Merlep Ginting masih bisa kita temui keluarganya, semoga masih ada foto-fotonya, kalaupun tidak ada lagi, paling tidak kuburan dan batu nisan nya pun bisa kita foto. Ini menjadi satu tantangan bagi yang hobi menulis, termasuk kaum jurnalis untuk menulis ulang sejarah yang bisa jadi kebanggan generasi muda Karo dan memotivasi mereka yg memang memiliki minat tinggi di bidang olah raga asah otak ini. I LOVE TANAH KARO BESERTA SEJARAHNYA!
Nama, Posisi dan Peran Jabu dalam Rumah Adat Karo
- Jabu Bena Kayu
Merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/ Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah. - Jabu Ujung Kayu
Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu ujung Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat. - Jabu Lepar Bena Kayu
Merupakan tempat bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu. - Jabu Lepar Ujung Kayu
Merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum. - Jabu Sedapuren Bena Kayu
Merupakan tempat bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta. - Jabu Sedapuren Lepar Kayu
Merupakan tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan. - Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu
Merupakan tempat bagi anak atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat. - Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu
Merupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu.
Marilah kita lestarikan budaya bangsa kita terutama budaya Karo yang hampir saja punah. Kita tidak perlu malu dengan budaya kita sendiri karena budaya kita mempunyai makna tersendiri.
Tanah Karo menyimpan banyak sekali budaya dan keindahan alam yang hampir tidak dikenal lagi. Jai,kita sebagai putra dan putri daerah wajib menjaga nama daerah kita Tanah Karo Simalem. (Desty Br Ginting)
Desa Budaya Dokan
Desa Budaya Dokan terletak di Kecamatan Merek Kabupaten Karo yang jaraknya kira-kira 20 kilometer dari Kota Kabanjahe.Apabila dari Kota Medan jaraknya sekitar 95km. Desa Dokan memiliki atmosfer yang menyenangkan dan tidak terlalu banyak yang mengunjungi. Desa Dokan adalah desa yang strategis yang terletak di antara kota Berastagi dan Danau Toba. Jadi,tidak rugi bila kita berwisata ke desa ini. Penduduk setempatnya juga sangatlah ramah-ramah. Di persimpangan sebelum memasuki Desa Dokan juga terdapat pasar buah yang menjual segala hasil pertanian yang dihasilkan oleh penduduk setempat.
Desa Budaya Dokan adalah desa yang dikenal sebagai desa tradisional yang menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Karo. Alasannya adalah karena desa ini merupakan salah satu dari tiga desa yang mewakili sejarah dan peradaban budaya karo. Desa lainnya adalah Desa Lingga dan Desa Peceran. Lain ini ditandai masih berdirinya Rumah adat Siwaluh Jabu,rumah adat berusia ratusan tahun yang menyiratkan kekayaan adat masyarakat setempat.
Dikatakan rumah siwaluh jabu karena di dalam rumah ini terdapat delapan jabu yang dihuni oleh delapan kepala rumah tangga yang hidup berdampingan dalam keadaan damai dan tentram.Bahan bangunan rumah tradisional ini terbuat dri kayu bulat,papan,bambu, dan beratapkan ijuk tanpa menggunakan paku ataupun kawat yang dikerjakan oleh tenaga arsitektur masa lalu.
Desa Dokan merupakan sebuah desa yang indah, memiliki 8 rumah tradisional dan tinggal 7 rumah yang masih digunakan. Dari 300 keluarga yang tinggal di desa Dokan, 56 keluarga tinggal di rumah tradisional ini, hampir 20% dari jumlah penduduk. Batas dari satu keluarga dengan keluarga lainnya ditandai dengan adanya tirai kain panjang. Pesta tahunan biasanya diselenggarakan pada bulan Juli namun empat tahun belakangan ini, pesta tahunan diselengarakan pada bulan April. Alasannya adalah karena pada bulan Juli adalah bulan masuk sekolah anak-anak. Jadi kemungkinan besar akan banyak mengeluarkan biaya. Semua rumah tradisional Karo mempunyai pemilik, dimana pemiliknya haruslah seorang ayah yang sudah tua agar mengerti tradisi masyarakat Karo. Rumah kayu ini tak dilengkapi kamar tidur dan ruang tamu. Semua anggota keluarga tidur di jabu atau ruangan tanpa penyekat. Khusus untuk bapa (bapak) dan nande (ibu) diberi penyekat berupa kain panjang yang setiap pagi dilepas. Ruangan tadi berfungsi ganda: tempat memasak, tempat makan dan berkumpul, sekaligus tempat tidur keluarga. Karena tidak ada pemisah ruangan, maka pada setiap jam masak, semua ruangan dipenuhi asap kayu bakar yang dipakai sebagai bahan bakarnya. Kecilnya ukuran pintu perik alias jendela juga tak membantu pertukaran udara di dalam rumah sehingga kepengapannya sangat menyesakkan dada.
Rumah adat ini umumnya dilengkapi empat dapur. Masing-masing dapur memiliki dua tungku untuk dua keluarga yang biasanya mempunyai hubungan kekerabatan sangat erat. Setiap tungku dapur menggunakan lima batu sebagai pertanda bahwa di suku Karo terdapat lima merga yakni Ginting, Sembiring, Tarigan, Karo-karo dan Perangin-angin. Di atas tungku terdapat para, tempat menyimpan bumbu dan ikan atau daging selain untuk rak piring dan tempat menyimpan segala sesuatu untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.
Di bagian depan dan belakang rumah terdapat ture seperti teras dilengkapi redan atau tangga. Kedua ujung atap masing-masing dilengkapi dua tanduk kerbau. Tanduk itu diyakini sebagai penolak bala. Ture biasanya menjadi tempat muda-mudi mengawali percintaannya. Gadis Karo dahulu kala menganyam tikar atau mbayu amak di atas tempat ini, sebelum menemukan jodoh. Rumah berbentuk panggung dan beratap ijuk ini memiliki dua pintun (pintu) dan delapan jendela. Ruangan setiap keluarga disebut jabu. Sedangkan kolong rumah dimanfaatkan sebagai kandang ayam, babi, kerbau serta tempat menyimpan kayu bakar.
Pemilik rumah siwaluh jabu juga cenderung membangun rumah sendiri di tempat lain. Tidak zamannya lagi hidup bersama dengan delapan keluarga dalam satu rumah. Kini rumah tradisional masyarakat Karo terlantar dan menanti ajal. Beberapa rumah adat itu telah dipenuhi semak belukar.
Tanggung jawab memang tak sepenuhnya di tangan pemerintah. Warga sebagai pemilik rumah tua itu juga harus bersedia mempertahankan keberadaan rumah itu. Memang sekarang banyak suku Karo baik di Tanah Karo maupun di kota lain seperti Jakarta membangun rumah berornamen rumah siwaluh jabu yang umumnya hanya mengambil bagian atasnya saja. Sekarang ingin tahu bentuknya saja, di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta berdiri sebuah rumah siwaluh jabu.
ditulis oleh :