• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home
You are here: Home / Archives for Sejarah

Sejarah

Surat Drs. Mohammad Hatta Untuk Rakyat Karo

4 October 2011 by karo Leave a Comment

Bukittinggi, 1 Januari 1948

“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kuncintai”.

Merdeka!

Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO.

Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.

Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.

Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.

Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.

Saudaramu,

MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia

sumber : karokab.go.id

Filed Under: Sejarah Tagged With: moh. hatta, surat wakil presiden

Legenda Suku Karo Dari Pagaruyung

29 September 2011 by karo 7 Comments

Dahulu ada orang Pagarujung , dua orang laki- laki  kakak beradik  yang berlainan ibunya yang sulung  tinggal di  Pagarujung, sedang yang bungsu  merantau mengelilingi Sumatera untuk  mencari tempat tinggal berhubung  ia masih merupakan manusia satu- satunya di Sumatera. Kemanapun ia pergi ia selalu membawa  surat  Kerajaan  dengan sembilan materai  dan pisau bala  bari , pisau Kerajaan   yang  diterima dulu dari abangnya. Terus menerus ia mencari tempat tinggal , akan tetapi  belum  tempat  yang  diketemukan yang cocok  baginya.Apa bila tempat itu kecil,maka tempat itu terlampau kecil bagi untuk dia . Apabila  tempat  itu besar , maka baginya tempat itu  terlampau besar.Demikianlah ia samapai  di Bangko, dan tinggal  sebagai perantau .

Disana ia  bertemu dengan  dua orang  dan mengusahakan  sawah di Bangko ( Hal ini tidak terang  karena tidak  diberitahukan bahwa ia  berpergaian  bersama  empat orang ) . Sesudah  ada segala macam tanaman  cukup untuk ditanam, maka bawahan yang lima orang itu bertanya :  ” Raja bagaimanakah nasib kami ? Kampung kita sudah bagus  teratur, tetapi belum ada perempuan ”  Dan  Raja ber berkata dalam hatinya: Memang benar . Maka  ia siapkan kapalnya  dan berlayar ia ke Makkah, disitu ada banyak perempuan dan dibelinya  sebelas  orang . Mereka  dibawa ke Bangko  dan diberi  kepada masing masing  seorang perempuan sedang sisanya  enam orang  adalah untuk dia sendiri.

Sesudah  dua tahun maka lahirlah  dari masing- masing  perempuan  seorang  anak laki- laki. Setelah  tiga  tahun maka para hambanya bertanya kepada Raja Bangko: ” Raja  apa bila nanti Raja tidak  ada disini lagi  sedang  anak Raja  banyak , siapakah  menjadi Raja  kita ? ” maka  Raja  Bangko  berpikir : ” Memang benar  ” ,karena  ibu mereka masing- masing  adalah  adalah bekas  budak  belian . Sedang  ibu Raja  sendiri adalah keturunan Raja , dan ke enam  perempuan itu bukan. Maka  Raja Bangko  menyiapkan kapalnya  dan berlayar  Raja Bangko   Kuala  Ajer  Batu. Oleh karena Raja   tersebut   adalah  Raja besar , maka ia disana menikah  dengan seorang putri  Raja. Setahun kemudian  Raja  kembali ke Bangko  dengan membawa  seorang putra  dengan diantar  diantar oleh  ayah  mertuanya , ( Saya tidak tahu  mengapa hal ini dianggap  sangat penting  dan disebut  sekali lagi  dalam nyanyian  yang termasuk dibelakang ). Setelah  Raja  selama  setahun  ada  di Bangko,  maka para hambanya menanyakan :  ” Raja,  apakah Raja pada suatu waktu pergi dari sini, siapa yang menjadi Raja kita ? Maka Raja mengumpulkan pembicara-pembicara itu  dan semua  putranya . (Siapakah  yang dimaksud  dengan “pembicara” tidak djelas , mungkin ini adalah  gelar , barangkali anak – beru- senina pada  suku  Karo ).

Maka berceritalah ayahnya sebagai berikut : Kamu sekalian yang terbesar , kamu sekalian adalah Raja. Akan  tetapi tanda kerajaan , yaitu  (surat)  dengan sembilan materai  dan pisau  bala  bari, akan ada  pada adikmu yang terkecil . Karena ibunya  adalah seorang  keturunan Raja, kalian tidak boleh melawan  dia, kata  ayahnya.  Selanjutnya (Adalah sukar  mengatakan  apa artinya bala bari . bala mungkin merupakan awalan  lama bahasa Karo , seperti dalam  kata- kata bala gais , balagege  dan sebagainya . Selanjutnya  juga  “prajurit , bala  tentara   ” .

Bari  berarti  “dingin , dingin  sampai orang  menggigil”. Akan tetapi  ini adalah dingin  lain dari  di nyatakan dengan  malam  yang  berarti  pula  “dingin” dan juga   sehat “. Tidak lah mustahil, bahwa      kata  bari  dalam logat yang asing bagi  saja , arti yang sama seperti  kata malem, dan dengan mungkin kata bala dengan demikian mungkin kata bala bari adalah nama  yang bagus untuk pisau, sehingga  membawa untung). Pembicara – pembicara itu di dijadikan saksi dari pada  kata- katanya. “Ayah, apabila  baginda berbicara demikian, siapakah yang akan menentang  kata- kata ayahanda, Setahun kemudian maka  meninggallah ayahnya. Pembicara- pembicara mengatur pesta makamnya dari warisan ayahnya dan mengangkat sebagai  Raja  putra  yang telah  di angkat oleh Raja yang meninggal, oleh karena  ia memiliki  tanda- tanda kerajaan dan karena beliau dari pihak  ibunya seorang keturunan  Raja Kuala Ajer Batu. Keenam anak Raja menentang.

Setahun kemudian ia  diangkat lagi sebagai Raja, maka menentanglah lagi ke enam  anak Raja. Empat kali ia diangkat sebagai Raja, tetapi ke enam anak Raja menentang terus.Akhirnya datanglah Keramat dari hutan, tinggi, dan  gemuk, membawa  tongkatnya  dan menanamkannya  didalam tanah di pekarangan dusun. Ia pergi ke rumah dan menanyakan  dimana Raja-nya. Akan tetapi tidak ada Raja. Keramat menanyakan apa sebabnya  kemudian berkata : ” Yang mempunyai hak  menjadi Raja   adalah  dia yang keturunan  Raja dari ibunya”. Yang ke enam itu menentang. Maka Keramat berkata “kalau begitu  air bah akan datang “

Maka  yang enam itu berkata “Biarlah air bah itu datang (Saja terjemahkan selalu ” yang enam itu ” mungkin akan terjadi kemudian, bahwa yang enam itu mempunyai arti tertentu). Keramat berangkat, menarik tongkatnya dari tanah  dan pergi, dari lobang bekas  tongkat itu keluar air, maka bah itu sungguh dating.  Anak laki- laki keturunan sRaja  dari pihak ibunya menyiapkan perahunya, mengirimkannya kekampung menaruh harta bendanya beserta tanda- tanda kerajaan di dalam perahu itu dan belayarlah ia ke tanah  Alas  dan sampailah ia di Alas.

Disana ia membuka sawah dan berdirilah disitu kampung Ketangkuhen. Ia adalah manusia pertama yang berlayar di sungai Alas (?). Kemudian ia kawin dan mendapat dua orang anak. Anak- anak itu akhirnya  menjadi besar.  Ayahnya meninggal, Raja Bangko yang dari pihak ibunya adalah keturunan Raja Kuala Ajer Batu. Anak bungsu berpergian dan surat kerajaan ; akan tetapi pisau bala  dari bari ditinggalakannya. Anak yang sulung menerima kerajaan. Anak yang bungsu berangkat  dan membawa rakyatnya  sampai sungai Petani. Ia adalah manusia  pertama yang mendirikan  kampung Mabar di tepi sungai Petani, (sekarang ada perkebunan  Mabar, yang terletak antara  Medan dan laut. Dengan demikian sungai Petani adalah sungai Deli sekarang. bandingkanlah hal 42  dimana  seorang dari Merga Tarigan yang  dianggap telah mendirikan Ale Deliu.Hal ini rupanya sering terjadi ).

Anak yang sulung tinggal di Alas  dan menjadi Raja   Raja di ketangkuhen. Ada orang yang dibawa oleh seekor  burung layang- layang yang jatuh Anak- anak Raja sangat menderita karenanya. Anak yang sulung berkata : Tinggallah disini di Alas , Raja Ketangkuhen berjumpa dengan dia  dan di bawanya kerumah . Kelakuannya  baik dan   Raja mengankatnya sebagai saudara. Raja Ketangkuhen menikah dan mendapat dua nak laki- laki. Mereka bergilir menyaji Raja. (Siapa dua  anak itu  ataukah Raja   dan orang burung laying- layang ? ).

Pisau kerajaan ada pada Orang Burung Layang- layang . Setelah ayahnya meninggal, maka anak- anak Raja  minta pisau kerajaan ayahnya. Orang Burung Layang- layang tidak mau memberikannya . Oleh karena  ia memiliki Raja  Bangko, maka ia menjadi penghuklu ( orang burung layang- layang tidak  mendapat gelar ” Raja , tetapi ” pengulu “. Raja adalah  gelar yang pasti datang dari luar).Anak- anak Raja menderita karenanya . Anak yang sulung berkata : Tinggallah disisi  dan mintalah pisau kita dari pengulu. Saja  pergi ke Toba untuk mengunjungi saudara – saudara kita “yang enam itu”. Demikan lah katanya  kepada  adiknya. Ia  pergi ke Toba mengunjungi saudara- saudaranya yang enam itu demikianlah katanya kepada adiknya.

Ia pergi ke Toba mengunjungi  saudara- saudara nya yang enam . Dia berjumpa dengan mereka, mereka telah menyaji Raja  dari Toba Selaki, sebab diberi nama Toba Selaki ialah karena  alasan sebagai berikut : Berhubung dengan adanya kain Toba maka mereka  tidak mati (yaitu dalam air bah. Yang empunya pustaka menerangkan  sbb: Ketika  terapung di atas air, maka  kain Toba tersebut  menjadi cembung dan dengan demikian mereka mengambang dengan aman ketempat yang kering ) Ia mempunyai anak laki-laki dan untuk dia didirikanlah kampung Paropo (kedua kampung terletak pada tepi Barat dari Danau Toba). Setelah anaknya  besar ia pergi ke Pak Pak untuk mengunjungi  saudaranya yang enma itu. Ia bertemu  dengan mereka  yang telah menjadi Raja- Raja  dari  Pakpak. Nama Pakpak berasal  dari  “kepingan – kepingan dari batang “nya (Tjelampong tentunya  berarti  batang sebuah pohon atau sepotong kaju , yang dapat  di pakai  untuk pegangan agar dapat tetap mengapung. Jadi saudara itu  juga dapat tertolong dari air bah, karena mereka  berpegangan pada sepotong kayu seperti yang lain dengan kain mereka). Kampung mereka adalah martogan.

Anak- anak dari “yang  enam itu” kawin dan mendirikan kampung Martogan . Dari “yang enam “ itu masih hidup empat orang dan ia bertemu dengan mereka . Ia kawin lagi. Telah dua kali ia kawin tetapi tidak mendapat anak  laki-laki. Dari  anak-anak Raja Ketangkukuhaen masih tinggal empat orang yang sulung dan yang bungsu masih hidup. Akhirnya meninggal. Setelah anak- anaknya  menjadi besar, maka yang bungsu tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Ia pergi ke dataran rendah (Djahe- Djahe  dimana  letak tanah ini dapat dicari  di Alas akan diberitahukan nanti. Disini tentu hanya  dimaksudkan bahwa ia pergi kehilir sungai). Setelah ia  berada  disitu, ia mendirikan sebuah kampung dekat sungaI BIYANG (WAMPU) sebelas kiri kebawah dengan sungai  itu sebagai tempat pemandian, ia mendirikan sebuah PENGULU BALANG, aji manering (Raja yang menengok kebelakang), tempat pemudjaan kita. (Lau mbelin saja terjemahkan  dengan “sungai”, tetapi disitu ada juga sungai yang namanya lau mbelin ).

Pengulu balang adalah sebuah  patung  batu yang menjaga kampung itu. Apabila akan datang suatu bahaya , maka berbunyilah  patung itu. Dekat kampung Gunung Meriah -dyangan  keliru   dengan  Gunung  Meriah yang terletak  di Serdang  masih ada beberapa patung  yang kecil-kecil, sedang tempat persembahan kampung itu namanya  masih Silan Manering).

Kampungnya dinamakan Pertibi untuk menyatakan bahwa ia adalah Raja. (Sekarang kampung itu sangat sepi ). Ia adalah orang pertama yang memasuki daerah sungai Biyang. Ia kawin dengan seorang gadis dari suku Ginting. Dua tahun kemudian ia kawin dengan seorang gadis dari Jambur Beringin, seorang putri Raja Kutabuluh, setahun kemudian pecahlah perang yang mencekik. Ia mengambil ke- empat saudaranya dari Martogan dan berkata kepada kakak- kakaknya: “O, kaka- kakak jika anda tidak malu, bahwa kampung Pertibi harus harus ditinggalkan karena musuh.”.  “Jika kamu mengatakan demikian, mari kita pergi “, kakak-kakaknya itu, pengulu- pengulu Martogaan, Maka tiga dari ke empat; saudara mengikuti dia dan sampailah mereka di Raja Pertibi kampung dari adiknya yang bungsu. “O, kakak- kakak , apakah yang harus kita buat ?” kata adiknya, ” Budyang  – budyang sipitu (nama suatu jampian). Perintahkan untuk mengambil bengkuang kumpulkan duri- durinya.

Setelah itu masaklah duri- duri itu didalam belanga (bilang kawah, sebuah wajan besi yang tjeper), tuangkan ratjub di solar di bolar untuk membasmi duri-duri itu dengan rat5jun. Perumangnya membuat suatu jaminan agar orang menjadi tidak kelihatan (pengelimun). Perminak sagi menaburkan duri- duri itu sekeliling  pertahanan musuh.  (Belakangan ternyata bahwa seorang dari saudara- saudara itu ternyata adalah seorang umang dan yang lain adalah serigala penjelmaan manusia.

Nama Perminyak sagi  sungguh  menarik perhatian, biasanya orang berbitjara , tentang harimo sagi.pada waktu  hari mulai terang  permusuhan dimulai lagi. Musuh datang dari tempat yang telah diperkuat ; sekian banyak yang keluar , sekian banyak pula yang kena; sekian  banyak pula yang mati. Sungguh pun musuh sudah kalah namun perang belum selesai. Selama pengulu- pengulu martogan masih ada, musuh tidak berani menyerang pertibi. Musuh tak berani  karena pengulu  adalah  dan seorang lagi ahli menembak dengan sumpitan. Penghulu Pertibi tidak berani untuk mejuruh pergi abang-abangnya, pengulu- pengulu dari Martogan.

Sesudah   dua tahun perang belum berhenti. Pengulu pertibi mencarikan istri untuk pengulu- pengulu Martyogan untuk  mengikat mereka. Ia bertanya kepada yang sulung tetapi ia tidak mengendaki seorang istri manusia , karena  ia umang. ia bertanya  kepada Perminak Sagi, tetapi ia keberatan. Pengulu Pertibi mengawinkan dia ( si ahli menembak dengan Sumpit), karena takut bahwa abangnya meninggalkan dia.Karena  ia adalahPerminak sagi , mkaka  ia pergi kesawah berhubung yang sudah tunggi dan dirusak oleh babi hutan. Mendjelang makan malam  ia berkata kepada  istrinya :  ” Saya pergi kesawah untuk mengusir babi hutan besak pagi  kira- kira jam 12 siang saja kembali “. (Cerita disini terlampau singkat. Disini dimaksudkan si ahli penembak dengan sumpitan karena istrinya akhirnya si serigala penjelmaan manusia  itu).

Ia pergi  kesawah dan berubah menjadi  macan. (Esok harinya) kira- kira  jam satu siang istrinya pergi kdesawah untuk  nengantarkan  makanan. Sampai  di sawah ia melihat kedalam, tetapi suaminya  tidak disitu . Ia  berjalan dipinggir sawah dan bertemu dengan seekor  macan. Macan itu menelan dia sampai  keyang. Kemudian ia pergi kekampung dan berubah menjadi manusia  lagi. ia mencari istrinya. Orang- orang berkata : ” Ia pergi  keswah “. Ia mencari  kesawah , menyusulnya ke pinggir sawah . Istrinya sudah mati. Ia pergi kekampung . ” O. adikku, adalah nasib bahwa saudara- saudara  harus berpisah. saya berkata  demikian , karena orang- orang tidak akan   pertjaja  pada saja , sungguh pun saja  sudah berubah  menjadi manusia saja  (biasa- sebenarnya ) tidak djahat terhadap  orang- orang . kaluloreng- loreng  harimau itu merapat, maqka  namanya arimo kembaren , itu binatang pantangan ”  Demikianlah ia berkata kepada adiknya   Djagat , si ahli menembak dengan sumpitan . Maka adiknya mendjawab : ” Demikian lah  kakak kita berkata :  Saja  juga  pergi kepegunungan, itu, itu tidak nasib”.

Maka  Umang berkata : Kita berempat adalah anak dari satu ibu , satu anak tinggal di Martogan, satu lagi di Pertibi, satu lagi jadi macan, dan satu lagi jadi umang. Memang kita yang dahulu meminta ( yaitu nasib kita kepada dewa- dewa ), sekarang kita harus menerima nasib kita. O, adikku, kamu berdua tinggal di Pertibi. ( banyak suku diantar orang- orang Batak Karo mempunyai binatang pantangannya, mungkin iotutotemnya yang dianggap sutji. Terutama macan memang binatang binatang pantangan . Disitu  ada arimo kembaren yang lorengnya harus berjumpa  pada satu titik  adalah tidak galak dan  tidak ditakuti ). Beru  Jambur Beringin, istri pengulu Pertibi tidak mempunyai anak dan tiap-tiap kali mengadukan  suaminya (tentu karena ia diterlantarkan). Pengulu Pertibi juga takut , kalau-kalau  si Djagat perpergi, maka  ia  berkata  kepada  adiknya si Djagat  : Biarlah begini sadja , 0 , kakak, anda harus  harus  mengambil istri saja,   saja  tidak sanggup memeliharanya . kalay saja  kembalikan  dia kepada  familinya , tentulah timbul hal- hal yang tidak  menyenangkan, maka  kamu harus  harus  mengambilnya . saja  mengetahui  hutang saja kepada mertua  saja. dan kepada  mertuanya  ia berkata : “Jambur Beringin  akan di ambil oleh si Djagat. kami adalah betul- betul kakak- beradik” demikianlah pengulu Pertibi berkata kepada si Djagat.Pengulu Pertibi memperoleh kedudukan ( pangkat ) Raja itu, karena  ia  telah mendirikan Pertibi. Kalau ada  kerbau lewat dari  dari tanah Alas, maka pengulu  Pertibi menerima  bea keluar, karena ialah yang paling tua.”

Supaya  kemudian tidak bertengkar “. (Jalan ke Langkat menuju Bohorok adalah melalui Pertibi ).Beru Jambur beringin  Beringin, istrinya  pengulu Pertibi, telah di berikan kepada si Djagat  sebagai istrinya, karena ada perang besar, agar ia tidak akan pergi. Demikianlah  pengulu  Pertibi berpikir . Kita adalah bersaudara hingga pertibi (?? ). ” Setelah empat tahun musuh hendak menaklukkan Kuta Buluh. Karena  Kuta Buluh memelihara perhubungan dengan pertibi, maka  datanglah perang. Ia hendak mengalahkan Kuta Buluh .” Tidak ada gunanya saja tinggal disini ”  berkatalh pengulu Kuta Buluh  dengan perasaan malu. Ia berkunjung pada iparnya si Djagat di Pertibi,.

Ia  bertemu dengan iparnya: ” O, ipar “, kata si pengulu Kuta Buluh kepada i[parnya si Djagat, ” jika anda tidak berbaik hati , maka Kuta Buluh akan hilang “. Jika anda berkata demikian , o, ipar, maka biarlah kita pergi, kata iparnya  si Djagat berrsama istrinya Beru Jambur Beringin pergi ke Kuta Buluh. Setelah sampai di Kuta buluh, mjaka iparnya oengulu Kuta Buluh bertanya : ” Apa yang harus kita berbuiat ?” Aturan Budyang- budyang si pitu . Suruh memetik bengkuang ( semacam pandan yang dipakai untuk anyaman ).

Kumpulkan duri-durinya, masukkan dalam wadjan masukkan ratjun si bolar untuk meratjuni duri- duri itu. Setelah itu taburkan sekeliling kampung “. Maka duri- durinya ditaburkan sekeliling kampung dan permusuhan dimulai lagi. Sekian banyak musuh yang keluar, sekian banyak yang kena , sekian banyak yang mati. Musuh kalah, tetapi perang belum selesai.Iparnya Si Djagat tidak boleh pulang . Dua tahun kemudian iparnya  mendirikan kampung Nggalam untuk dia.

Lahirlah seorang anaknya  laki- laki. Ia mengandung iparnya, yaitu Raja Kuta Buluh untuk datang di Ngalam . Iparnya datang dan menginap  dua malam disitu. Raja Kuta Buluh berkata kepada  iparnya si Djagat: ” Marilah kita tentukan bnatas- batas  negeri kita, agar supaya  anak- anak kita dibelakang hari tidak tidal bertengkar karena itu “. maka di djawab si Djagat kepada Raja Kta Buluh: ” Karena kau menginginkannya , marilah kita tentukan “.

Raja Kuta Buluh berketurunan dari Suka Tendel. Disini perlu diberi catatan bahwa hal ini tidakcocok dengan yang dahulu. Mula- mula diberitahukan bahwa putri Raja Kuta Buluh adalah beru Jambur Beringin. Dengan demikian dapat secara wajar diambil kesimpulan bahwa marga ayahnya juga harus Jambur Beringin.

Sekarang dikatakan disini, bahwa marga mereka adalah Suka Tendel. Ini juga marga  dari Sibajak pada waktu sekarang. Orang mengatakan kepada saja bahwa marga Jambur Beringin telah hilang. Sukan Tendel adalah sebuah kampung yang masih ada didekat gunungSinabung. “Datanglah besok ” kata Raja Kuta Buluh pada si Djagat datang dan menunggu di tempat yang telah dibuat sebagai tempat pertapaannya. Disitulah ia bertemu dengan Raja Kuta Buluh.Marilah kita tentukan batas- batas kita kata Raja Kuta Bulkuh pada si Djagat .

Dengan sumpitan si Djagat menunjukkan bats- batas mulai tempat yang sutji itu ke Nggalam  terus lurus sampai Lau Buridi ke hilir sampai hilir sungai Lau Biyang , akhirnya samapidi Damak. ” itulah negeri saja “, kata si Djagat kepada  Raja Kuta Buluh. Ia mengajunkan sumpitannya  sebelah kiri hilir sampai kelaut di Tangkuhen. Kemudian ia letakkan sumpitan itu.Kemudian iparnya dari  Kuta Buluh  menundjuknya  mengikuti arah iparnya dan menundjuk  ke arah sungai Lau Biang ke hilir sampai kelaut. ” Sebelah kasna hilir adalah tanah saja  sekiann jauhnya kearah daratan dimana  bunji senapan saja terdengar, 0,ipar, kata radjka Kuta Buluh kepada iparnya si Djagat. ia menembak dan setelah itu Raja Kuta Buluh pulang, si Djagat juga pulang ke Nggalam.

Sesudah itu satu bulan  si Djagat  mengirim pesan kepada Raja Kuta Buluh : ” Berilah nama kepada  kemenakanmu! ” dan pamannya memberi nama “Si Bulan KeRajan ” *( KeRajan yang luas ). ” Mengapa saja memberinya nama  ” KeRajan yang luas ” adalah karena Raja Bangko   keturunan Raja  Pagaujung . Karena ipar adalah Raja dari Alas. Mabar, Tumbga ( tamba ), Raja dari Pakpak, Pertibi sampai kelaut  anda adalah Raja.” Si Djagat adalah  ayah dari  Belang KeRajaan”. Kalau keRajaan n sajan begitu luasnya , maka  saja berhak menerima bea keluar dari muara sungai itu, jika muara sungai itu milik sja. ” Yang ndemikian demikian itu adalah hak “, kata Raja Kuta Buluh. ” ‘ Boleh diadakan Eksport jika sin Djagat  mendiaminya . ” Demikian hak itu”, kata Raja  Kuta Buluh.” Jika ada  Eksport, dari apa harus ada penerimaan  ) ? ”  Kuda, Kerbau, bdak belian,yang melewati daerah kita. ” de adi “, kuRajat gularna (?). Kata pengulu   dari nKuta Buluh. termpat membajar tjukai adalah Pertibi, karena daerah ini klepujaan  anak sulung. Dari semua  Kuda.

Kerbau dan Budak belian, yang  lewat aayah si Belang KeRajaan  menerima  ( hak bea keluar ). ( Tidak dapat dikatakan bahwa bagian yang dikutip ini tegas. Apakah kuala dimaksudkan muara sungai kelaut? Ataukah muara  dari suiatau sungai kedalam sungai lain ?. berhubung dengan adanya cerita- cerita  yang disampaikan dengan lisan bahwa Marga Perangin- angin telah meluaskan kekuasaannya sampai ke Bindjei , maka  saja  teringat kepada penentuan  batas- batas ” swampai kelaut “.

Tetapi kemudian disebut Pertibi sebagai tempat pembjaran bea keluar ).Ia (siapa? si Djagat atau si Belang Kerajaan)  mendapat enam orang anak. Seorang pergi ke Sungkun Berita , seorang ke Lau Mbentar, seorang ke Sampe Raja , sedang  ketiga lainnya pergi juga: seorang ke Udyang Deleng, seorang ke Batu  Mamak ,seorang lagi ke kuruas, tempat yang tinggi letaknya  di Lau Ntebah. ia membuat sawah dan mendirikan sebuah gubuk ( Sapo ) dengan atapnya   dari rumput  ( padang ) yang akhirnya menjadi kampung, dengan di beri nama Sapo Padang .Selama satu generasi lahirlah tiga anak laki- laki. yang bungsu pergi ke Kelange, yang kedua ke kuta Tjih, sedang yang sulung tonggal di Sapo Padang. dalam waktu  satu atau dua generasi lahirlah enam orang anak.

Seorang  pergi ke gunung Silkukuten, seorang ke Tuladeh, seoran g ke Batu katak, sedang tiga orang anak tinggal di Sapo padang.Yang sulung , yang tengah , dan yang bungsu. Yang sulung mempunyai seorang anak laki- laki, sedang yang bungsu dua anak laki-laki. Anak yang sulung meninggal, tetapi ia tidak meninggalkan anak, dan sekarang tinggallah  yangb bungsu. Ia(siapa ) kawin dengan istri abangnya  yang sulung tidak mempunyai anaqk laji- laki.

Nyanjian :Kata- kata  kulit phon alim yang diambil oleh (saja) paman dari suku Sembiring dari pihak ibu keturunan  Raja kula Ajer Batu yang bernama  Kintja  tampe Kula , Raja dari Ketangkuhen , di lembah sungai Alas.Sunguhpun banuak Manusia hidup tak ada seorangpun mempunyai nasib seperti saja.Saja katakan, bahwa tidak demikianlah halnya :Dilahirkan di Kuala Ajer Batu, sangat mudah saja pergi kebangko.Raja Kaula Ajer Batu mengantarkan kita.Belum lagi besar.

Ayah memberikan kepada saja  alat- alat keRajaan dari Pagaruyung.Bukti bahwa seseorang  itu Raja.Raja- Raja mengenal lat- alat keRajaan Pagaruyung .Raja Kuala Ajer Batu mengenalnya.kata ayah saja dahulu, keturunan Pagaruyung.Raja Bangko.Kemudian ayah meninggal, saja belum besar.Tidak ada saudara -saudara  untuk sakaing mengadjarTanah Bango dilanda bandjir.Ajkah meninggalkan sebuah perahu.Saja turun kedalamnya, anak- anak  buah turun kedalamnyaPerahu itu berlabuh di Alas , yang disebut Ketangkuhen,O,anak- anak laki- lakiiku berdua , mungkin saja meninggal,Disini saja ceritakan kepada keturunan saja  tentang perjalan – perjalanan saja.tentang berpisahnya  orang- orang  yang bersaudara.Inilah pelajaran yang harus diikuti.

Oleh mereka yang datang sesudah  saja.Sampai kepada anak tjutju  saja janhg deatang sesudah saja Jika lama berpisah, mereka yang bersaudara,Orang saling tidak mau tahu,Dyangan lupa ini, kata saja  kepada putera- putra  saja.Inilah kata- kata   saja kepada anda , kata sajayang asal dari suku sembiring ,, kemanah dari Raja  Kuala Ajer.yang merupakanputra tunggal . Yang datang dari jauh ke Ketangkuhenyang berkusa  di tanah Ketangkuhen.Dilembah sungai Alas.

Pentingnya isi dari pustaka  ini  adalah : Bahwa diletakkan suatu hubungabn antara Minangkabau dan suku Sembiring kKembaren,. Yang diberitahukan itu dapat kita pisahkan menjadi dua . Sebagian yang termasuk sedjarah dahulu  , yaitu  perjalan Pagar ruyung melalui bangko  sampai keketangkuhen di Tanah Alas dan  bagian yang kedua  yang termasuk sdjarah yang lebih muda , yaitu terjadinya  Pertibi dan perluasannya dari situ dari kampung- kampung Sembiring – Kembaren di daerah  Liang Melas dan Langkat Alas.Berangkatlah dari istana  Pagar rujung  seorang putra  Raja, tetapi berlainan ibu dengan kakaknya  yang tertua, berjalanlah ke Bangko, mendirikan sebuah kampung atau keRajaan  disana  dan ia  sendiri menjadi Raja. Ia mempunyai tudjuh orang putra, diantaranya  enam  dilahirkan dari ibu- ibu budak belian .tidak mengakui  putra Raja  yang sebenar .

Suatu  bandjir mengusir mereka. ke . Ke- enam saudara  pergi ke tanah Pak pak ( barangkali mengikluti jalanjka  sungai  Renun ) dan menjadi  Raja disana.DiSilahi-lahi dan paropo ditepi danau  Toba orang – ioarang suku Ginting dikalahkan dan orang Kembaren berkuasa . Putra Raja  yang sebenarnya  pergi kehulu sungai Alas  dan mendirikan Ketangkuhen.. Juga disitu  Keluarga ini terdesak oleh Orang Burung  Layang- layang: seorang putra yang yang lebih muda mendirikan Mabar  disungai Petani, dan seorang lain lagi Pertibi, di sungai Lau Biyang .Dengan ini kita  sampai kepada masa  masih ada dongeng- dongenyang disampaikian secara lisan.Inilah secara singkat  isi dan  keuntungan sedjarah,yang  diperoleh dari Pustaka ini.

Sungguhpun demikian, pemberitahuan yang sedikit itu membuka harapan yang luas. Suku Sembiring (orang- orang Hitam),berasal dari Minangkabau , paling sedikit orang- orang suku nKembaren. Sungai Singkel  dahulu adalah jalan ketanah Pakpak dan Karop. Aceh belum dibicarakan. Kemudian setelah suku – suku Senmbiring masuk, maka Aceh mulai dibicarakan. Aceh pada waktu ituadalah musuh Maleale dsb.Dari sini  kita akan dapat menarik kesimpulan bahwa pada waktu itu Aceh belum memegang peranan penting di pesisir  Barat , tetapi baru kemudian bhwa orang mengambil orang- orang perempuan di Akkah dapat memberi lagi alasan untuk menduga,bahwa bagaimanapun Islam ada disekitarnya.. Tetapi bagaimana juga orang- orang laki- laki bukan orang- orang Islam.Dugaan- dugaan kita dapat lebih jauh lagi.

Orang dapat menyangka ( sekarang  tidak tanpa sesuatu alasan ) bahwa marga Sumanik dari Minangkabau Manik dari Tjinndeng . Ginting manik ditanah Karo, dan Damanik dari Simalungun mempunyai hubungan keluarga diantara  mereka dan ingat  kepada Imigrasi dahulu  sepandyang sungai Sungai Singkel ,sehingga orang Sembiring- Kembaren mengikuti suatu jalan yang sudah sedjak lama  diikuti . Pertayaan  yang di adjukan dalam sumbangan saja yang tadi.: Mengapa bahasa Karo  tersebar begitu luas, akan juga dapat diterangkan lebih baik.

Hanya nama Sembiring, orang – orang hitam, dapat mengingatkan kitakepda suku Hindu Minagkabau. Dengan demikian  juga akan dapat diterangkan , bahwa  sangat  bajak unsur- unsur  Hindu terhadap  gambaran- gambaran keagamaan dari orang- orang Batak  Karo.Saja tidak tahu dimana kita harus mencari Bangko dan Kuala  Ajer Batu. Mungkin  orang lain mempunyai alasan untuk memberitahukan pengetahuannya saja  ingin menunjuk lagi kepada bagian yang tidak djelas mengenai dimilikinya  kuala     “muara  sungai ”   oleh Pertibi. Ini mungkin muara di dalam sungai lain tetapi juga muara di dalam laut. Apakah ini bukan suatu petunjuk  tentang adanya  keRajaan di Teluk Aru ? Mungkin bahwa kemudian penemuan membuat hal ini lebih terang.Berhung  dengan  keRajaan pagar  Rujung  timbul tjap  siwah menimbulkan suatu kesulitan. Kita segera ingat jkepada  tjap sembilan dari Aceh .  ” Kesembilan meterai atau meterai  rangkap sembilan ” yang di pergunakan untuk mentjap surat atau dubuhkan pada surat , dianggap berasal  dari Pagar rujung .

Saja  tidak beranimenentukan  bagaimana  satu  dan lainnya  dapat dicocokkan. Apakah  di Padgar rujung juga dipergunakan meterai rangkap sembilan.Dalam hubungan ini  saja hendak menundjuk  pada karangan  G,R. Rouffer  , ” De Hindostanscheoorsprong van het negenvoudig Sultanszegel  van Aceh . ( Asal Hindustan  dari meterai rangkap  sembilan dari Sultan Aceh ) . ( Bijdragen Djilid 59, halm 380 ). Disini penulis mengatakan : ” Jadi ide tentang tjap sembilan dari Aceh diperoleh  dari Hindustan , sesudah 1603  … yang lebih dapat diterima antara  1605 dan 1627 “.

Karena dalam pustaka  kita ada satu tanggal pun , bahkan Agama Islam sudah memainkan peranan, kecuali  pengambilan perempuan dari Makkah, maka  saja menarik kesembilan sebagai  berikut : Aceh belum disebut- sebut dan orang- orang Kembaren bukanlah orang- orang Kembaren  bukanlah orang orang- orang Islam.Kemudian dongeng yang disampaikan.Kemudian donmgeng yang disampaikan secara  lisan mengatakan, bahwa orang- orang Sembiring lainnya memang di- kejar- kejar oleh Aceh.Tetapi dengan demikian kita berada  dalam suatu priode  lain dari pada  waktu orang- orang  Kembaren masuk.

Raya , Agustus 1927

Raya adalah terletak  antara Berastagi dengan desa Sumbul , dahulu 1926  pernah dibangun meseum (Gereja) tetapi dibakar dalam masa repolusi  1945.*) Terjemahan ini dikerdjakan  tidak  langsung dari bahasa Karo , tetapi  merupakan  terjemahan  dari terjemahan  dalam bahasa Belanda. Yang ditulis oleh penulis  karangan ini  ( J.H.Neuman ). /sapo holan

Filed Under: Sejarah Tagged With: arti pakpak, kain toba, sejarah karo

Marga (Merga) Lingga

28 September 2011 by karo Leave a Comment

Marga Lingga merupakan marga yang berasal dari suku Pakpak yang merupakan Subsuku Batak. Kebanyakan dari marga Lingga hidup disekitar Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Kabupaten Simalungun. Oleh karena itu ada sebagian dari marga Lingga yang mengaku sebagai keturunan Suku Simalungun. Karena mereka telah lama tinggal disekitar tanah Simalungun.
Penerimaan marga Lingga dalam suku Simalungun tidak luput dari pepatah yang ada dalam suku Simalungun: “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei”

Beberapa marga Lingga sudah mulai beradptasi dengan lingkungan sekitarnya. Seperti halnya beberapa marga Lingga yang berada di sekitar daerah Simalungun sudah mulai menggunakan adat-adat Simalungun dalam beberapa ataupun seluruh acara adat yang mereka lakukan.

Kerajaan Lingga

Kerajaan Lingga di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya “Gajah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kesultanan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri, Lamuri, Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

Dinasti Lingga

Dalam Dinasti Lingga terdapat beberapa bagian yaitu :

1. Raja Lingga I di Gayo
Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Lingga
Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga[rujukan?], yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era yaitu :

1. Raja Sendi Sibayak Lingga (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga
sumber : Wikipedia

Filed Under: Sejarah Tagged With: merga lingga

Sejarah Kabupaten Karo Zaman Kemerdekaan

23 September 2011 by karo Leave a Comment

peta kab karo
Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin santer, puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan “Polisionel Actie” yang sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati 2 tahun.

Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, wakil presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.

Rute yang dilalui Wakil Presiden adalah Berastagi-Merek-Sidikalang-Siborong-borong-Sibolga-Padang Sidempuan dan Bukit Tinggi. Di Berastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan, Bupati Karo Rakutta Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen I Letkol Djamin Ginting’s, Komandan Laskar Rakyat Napindo Halilintar Mayor Selamat Ginting, Komandan Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar (BHL) Payung Bangun dan para pejuang lainnya, di penginapan beliau Grand Hotel Berastagi. Dalam pertemuan itu wakil presiden memberi penjelasan tentang situasi negara secara umum dan situasi khusus serta hal-hal yang akan dihadapi Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang.

Selesai memberi petunjuk, kepada beliau ditanyakan kiranya ingin kemana, sehubungan dengan serangan Belanda yang sudah menduduki Pematang Siantar dan akan menduduki Kabanjahe dan Berastagi. Wakil Presiden selanjutnya melakukan: “Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera”.

Setelah wakil presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat berbahaya.

Apabila Belanda dapat merebut pertahanan kita di Seribu Dolok, maka Belanda akan dengan mudah dapat mencapai Merek, oleh sebab itu kompi markas dan sisa-sisa pecahan pasukan yang datang dari Binjai, siang harinya lebih dahulu dikirim ke Merek. Komandan Resimen I Letkol Djamin, memutuskan, memerlukan Pengawalan dan pengamanan wakil presiden, maka ditetapkan satu pleton dari Batalyon II TRI Resimen I untuk memperkuat pertahanan di sekitar gunung Sipiso-piso yang menghadap ke Seribu Dolok, oleh Napindo Halilintar ditetapkan pasukan Kapten Pala Bangun dan Kapten Bangsi Sembiring.

Sesudah persiapan rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan puasa, berangkatlah wakil presiden dan rombongan antara lain: Wangsa Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat (Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.

Sedang sayup-sayup terdengar tembakan dari arah Seribu Dolok, rupanya telah terjadi tembak-menembak antara pasukan musuh / Belanda dengan pasukan-pasukan kita yang bertahan di sekitar Gunung Sipiso-piso.

Seraya memeluk Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring, wakil presiden mengucapkan selamat tinggal dan selamat berjuang kepada rakyat Tanah Karo. Kemudian berangkatlah wakil presiden dan rombongan, meninggalkan Merek langsung ke Sidikalang untuk selanjutnya menuju Bukit Tinggi via Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan.

Sementara itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.

Bupati Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.

Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.

Taktik bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa dari rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa dengan segala isinya.

Kenyataan itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang berbunyi sebagai berikut:

“Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.

Selanjutnya melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat wakil presiden tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Bukittinggi, 1 Januari 1948
“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kuncintai”.
Merdeka!
Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO.
Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.
Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.
Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia

Selanjutnya, untuk melancarkan roda perekonomian rakyat di daerah yang belum diduduki Belanda, Bupati Rakutta Sembiring mengeluarkan uang pemerintah Kabupaten Karo yang dicetak secara sederhana dan digunakan sebagai pembayaran yang sah di daerah Kabupaten Karo.

Akibat serangan pasukan Belanda yang semakin gencar, akhirnya pada tanggal 25 Nopember 1947, Tiga Binanga jatuh ke tangan Belanda dan Bupati Rakutta Sembiring memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Karo ke Lau Baleng. Di Lau Baleng, kesibukan utama yang dihadapi Bupati Karo beserta perangkatnya adalah menangani pengungsi yang berdatangan dari segala pelosok desa dengan mengadakan dapur umum dan pelayanan kesehatan juga pencetakan uang pemerintahan Kabupaten Karo untuk membiayai perjuangan.

Setelah perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, Pemerintah RI memerintahkan seluruh Angkatan Bersenjata Republik harus keluar dari kantung-kantung persembunyian dan hijrah ke seberang dari Van Mook yaitu daerah yang dikuasai secara de jure oleh Republik.

Barisan bersenjata di Sumatera Timur yang berada di kantung-kantung Deli Serdang dan Asahan Hijrah menyeberang ke Labuhan Batu. Demikian pula pasukan yang berada di Tanah Karo dihijrahkan ke Aceh Tenggara, Dairi dan Sipirok Tapanuli Selatan. Pasukan Resimen I pimpinan Letkol Djamin Ginting hijrah ke Lembah Alas Aceh Tenggara. Pasukan Napindo Halilintar pimpinan Mayor Selamat Ginting hijrah ke Dairi dan pasukan BHL pimpinan Mayor Payung Bangun hijrah ke Sipirok Tapanuli Selatan.

Berdasarkan ketentuan ini, dengan sendirinya Pemerintah Republik pun harus pindah ke seberang garis Van mook, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Karo yang pindah mengungsi dari Lau Baleng ke Kotacane pada tanggal 7 Pebruari 1948. Di Kotacane, Bupati Rakutta Sembiring dibantu oleh Patih Netap Bukit, Sekretaris Kantor Tarigan, Keuangan Tambaten S. Brahmana, dilengkapi dengan 14 orang tenaga inti.

Selanjutnya untuk memperkuat posisi mereka, Belanda mendirikan Negara Sumatera Timur. Untuk daerah Tanah Karo Belanda menghidupkan kembali stelsel atau sistem pemerintahan di zaman penjajahan Belanda sebelum perang dunia kedua.

Administrasi pemerintahan tetap disebut Onder Afdeling De Karo Landen, dikepalai oleh seorang yang berpangkat Asisten Residen bangsa Belanda berkedudukan di Kabanjahe. Di tiap kerajaan (Zeifbesturen) wilayahnya diganti dengan Districk sedangkan wilayah kerajaan urung dirubah namanya menjadi Onderdistrick.

Adapun susunan Pemerintahan Tanah Karo dalam lingkungan Negara Sumatera Timur adalah: Plaatslijkbestuur Ambteenaar, A. Hoof. Districthoofd Van Lingga, Sibayak R. Kelelong Sinulingga, Districhoofd Van Suka, Sibayak Raja Sungkunen Ginting Suka, Districhoofd Van Sarinembah, Sibayak Gindar S. Meliala, Districthoofd Van Kuta Buluh, Sibayak Litmalem Perangin-angin

sumber : http://silima-merga.blogspot.com/2011/02/sejarah-kabupaten-karo-zaman.html

Filed Under: Sejarah Tagged With: kabupaten karo, soekarno di karo

Deli Tua Situs Sejarah yang Terlupakan

14 September 2011 by karo 1 Comment

Selain wisata alam Danau Toba dan alam pegunungan di Bukit Lawang, Sumatera Utara (Sumut) masih mempunyai beberapa segi wisata, antara lain wisata sejarah. Salah satu wisata sejarah di Sumut yang belum banyak dikenal orang adalah menelusuri sejarah Kerajaan Haru, yang merupakan salah satu cikal bakal kesultanan yang melahirkan Istana Maimoon di Medan. Sejarah Kerajaan Haru pulalah yang memadukan masyarakat Karo, Melayu, dan Aceh pada sebuah pertalian.

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-15, Kerajaan Haru itu termasuk salah satu kerajaan terbesar di Sumatera, setara dengan Kerajaan Pasai dan Malaka. Saat ini, di wilayah bekas Kerajaan Haru ini telah berdiri sebelas kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara bagian timur, yaitu Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Karo, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu.
Pertalian Aceh, Karo, dan Deli bisa dilihat dari hal ini. Sultan pertama Kerajaan Deli yakni Tuanku Panglima Gocoh Pahlawan. Ia adalah Panglima Perang Aceh yang ditempatkan di sekitar wilayah Kerajaan Haru. Penempatan tersebut dilakukan untuk meredam pemberontakan terhadap Kerajaan Aceh pada masa Raja Iskandar Muda. Setelah menguasai ibu kota Kerajaan Haru di Deli Tua, Gocoh Pahlawan meminang putri keturunan Karo dan mendirikan Kerajaan Deli di tempat yang sama.

Salah satu Keturunan Gocah Pahlawan adalah Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, yang membangun Istana Maimoen pada akhir abad ke-19. Istana itu bahkan masih berdiri megah hingga saat ini di tengah Kota Medan, Sumatera Utara. Sabtu, 6 April 2002.

Menjelajahi situs Kerajaan Haru adalah sebuah keasyikan tersendiri. Lokasi bekas ibu kota Kerajaan Haru itu terletak sekitar lima kilometer dari Pasar Deli Tua Baru di Jalan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada daerah yang udaranya masih bersih. Cocok untuk trekking sambil berwisata.
Setelah melalui jalan aspal beberapa saat, perjalanan ke situs itu kemudian dilanjutkan dengan melewati jalan berbatu dan sempit, menyusuri pinggiran Sungai Deli dan menyeberangi sebuah jembatan gantung yang bergoyang saat dilewati.

Usai melewati jembatan gantung, sampailah kita pada jalan yang diberi nama Jalan Pancur Gading. Nama ini diberikan, sebab di sepanjang jalan tersebut akan ditemui dua dari sebelas pancuran air yang dikeramatkan penduduk setempat. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pancuran-pancuran air tersebut, dulunya, sering digunakan oleh penduduk di Kerajaan Haru, mulai dari raja hingga dayang-dayang kerajaan.

Kini, semua pancuran air tersebut telah dibuat permanen. Mata air yang turun langsung dari bukit tersebut ditampung dalam sebuah bak tembok setinggi satu setengah meter. Air tersebut kemudian dikeluarkan melalui dua buah pipa plastik yang tidak pernah ditutup sehingga airnya yang jernih itu mengalir terus-menerus.
Pancuran yang terbesar, yaitu berasal dari tiga titik keluaran air, terletak setelah kita melewati pancuran pertama yang berada di pangkal Jalan Pancur Gading. Penduduk setempat mempercayai bahwa pancuran terbesar itu merupakan tempat Putri Hijau, salah seorang penguasa terakhir Kerajaan Haru, untuk mandi. Situs sejarah bekas Istana Kerajaan Haru berada dekat dengan pancuran yang kedua itu. Pada hari libur atau akhir pekan, puluhan orang bermalam di pancuran ini.

Kini kita sudah dekat dengan situs sejarah peninggalan Kerajaan Haru. Dengan menaiki satu bukit lagi, sampailah kita di sana.

Akan tetapi, jangan membayangkan akan menjumpai runtuhan istana atau serakan batu candi misalnya. Situs itu kini hanya menyisakan gundukan tanah dengan tinggi sekitar lima meter dan lebar empat meter sehingga membentuk parit-parit yang dalam dan panjang. Gundukan tanah tersebut dibangun sebagai benteng pertahanan Kerajaan Haru saat menghadapi serangan laskar Sultan Aceh Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat atau Sultan Alaiddin Riayat Shah Al Qahhar.

“Orang Karo zaman dulu membangun rumah atau istana semata dari kayu. Jadi, tidak ada peninggalan yang bisa kita rasakan saat ini,” kata Darwan Perangin-angin, seorang tokoh masyarakat Karo yang mengarang buku “Adat Karo”.

Bukti bahwa gundukan tanah tersebut digunakan sebagai benteng pertahanan jaman Kerajaan Haru adalah letak gundukan tanah itu yang mengelilingi tanah datar yang ada di atas bukit itu. Tepat di atas tanah datar itulah tempat Istana Kerajaan Haru dan permukiman penduduk Kampung Deli Tua dulu berada. Sementara, letak gundukan tanah yang menghadap ke arah Sungai Deli dimaksudkan untuk menangkal serangan dari musuh yang masuk lewat laut melalui aliran Sungai Deli.

Dengan berada di situs bekas Istana Haru, kita merasakan betul bahwa lokasi istana itu sangatlah strategis. Dengan membayangkan bahwa keliling istana itu dulu dikelilingi pohon bambu, terasa betul betapa kuat dan strategisnya lokasi Istana Haru terhadap serangan musuh mana pun.

MASIH ada hal lebih menarik untuk kita telusuri. Perjalanan dilanjutkan ke permukiman penduduk yang terdekat dengan situs sejarah ibu kota Deli Tua tersebut, yaitu Dusun 1, Kampung Deli Tua, di Kabupaten Deli Serdang. Sekitar abad ke-15, kampung ini merupakan ibu kota Kerajaan Haru dengan nama yang sama yakni Deli Tua.

Sebagai bagian yang menyatu dengan bekas reruntuhan ibu kota Kerajaan Haru, yang masih tertinggal di dusun ini hanyalah ceritera-ceritera legenda yang dimiliki oleh hanya sebagian penduduknya, yang diperoleh mereka secara lisan turun-temurun dari orang tuanya. Maka, mampirlah ke sebuah kedai kopi di sana, dan dengarkan berbagai ceritera menarik dari penduduk, misalnya dari Nambun Sembiring Milala (71).

Di kampung tersebut, hanya Nambun yang masih menyimpan ceritera-ceritera legenda, seperti Putri Hijau yang mempunyai dua orang saudara yang berubah wujud menjadi naga dan meriam puntung. Legenda rakyat yang berkembang tentang Kerajaan Haru, pada beberapa bagian, memperoleh penguatan dari bukti-bukti yang ditemukan oleh penduduk Kampung Deli Tua itu sendiri.

Kisah tentang kemenangan laskar dari Sultan Aceh dalam perang melawan Kerajaan Haru, misalnya dari kisah mata uang dirham (deraham dalam bahasa Karo), yang berbentuk logam dan konon yang terbuat dari emas. Uang logam emas bertuliskan huruf Arab tersebut digunakan pasukan Aceh untuk memancing pasukan Haru keluar dari bentengnya.

Bukti bahwa peristiwa penyebaran uang logam tersebut terjadi bisa kita dapatkan dari ceritera para penduduk di sini. Nambun mengatakan sudah pernah menemukan lima keping uang logam emas yang dipercaya pernah digunakan oleh pasukan Kerajaan Aceh tersebut. Uang-uang emas itu ia temukan di sekitar pekarangan rumahnya pada sekitar tahun 1970.

“Sudah saya jual. Waktu itu, sekitar 10 tahun lalu, satunya masih laku Rp 4.000. Sekarang saya tidak menyimpan satu pun. Di sekitar sini juga pernah ditemukan patung naga terbuat dari emas dan pada bagian matanya dari berlian. Tapi, sudah diamankan polisi saat itu juga,” kata lelaki kelahiran tahun 1931 itu menambahkan.

Bukan hanya Nambun, Ngirim Ginting juga mempunyai pengalaman sama, hanya saja benda bersejarah yang ditemukannya berbeda. Ngirim menceritakan bahwa ia pernah menemukan sarung keris yang terbuat dari emas, serta beberapa peluru timah berbentuk bulat. Sarung keris berlapis emas itu kemudian ia jual ke Pasar Deli Tua Baru, sedangkan peluru-peluru timah itu ia lebur dan dijadikan sebagai vas bunga di rumahnya.
“Saya jual sarung keris itu waktu harga emas masih Rp 2.000 segramnya. Hampir semua penduduk di sini pernah menemukan uang logam emas Deraham itu, tapi pasti dijual. Terakhir masih ada yang menemukannya tahun kemarin,” kata Ngirim.

Satu-satunya penduduk yang masih menyimpan uang logam tersebut adalah seorang ibu, penduduk dusun yang sama, yang enggan disebut namanya. Uang emas berdiameter kurang dari satu sentimeter itu ditunjukkannya kepada Kompas untuk difoto.
Berhiaskan kaligrafi dalam huruf Arab dan ukiran berbentuk bulat di sekeliling pinggiran lingkarannya, uang dirham itu memang tampak sangat tua. Penduduk setempat menyebut kaligrafi itu sebagai tulisan berbahasa Aceh.

Namun, baik Nambun maupun Ngirim mengakui, mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa uang logam tersebut bernilai sejarah yang tinggi. Mereka tidak mengerti bagaimana sebuah uang emas tipis seperti itu mampu mengungkapkan jati diri dan sejarah keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa uang logam tersebut terbuat dari emas 24 karat dan bernilai uang jika dijual.

“Mereka juga tidak mengerti bahwa selama ini rumah yang mereka diami berada di sebuah bekas ibu kota kerajaan besar di zaman dahulu. Mereka tidak sadar bahwa dusun tempat mereka tinggal adalah sebuah situs sejarah yang mengenaskan karena tidak tersentuh usaha perlindungan sejarah, dan segera akan terlupakan,” ujar Darwan.(Kompas)

Filed Under: Sejarah Tagged With: benteng putri hijau, deli tua

Karo bukan Keturunan si Raja Batak

29 June 2011 by karo 85 Comments

Batak sering disebut sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama batak itu sendiri sering dijadikan rujukan untuk mengidentisifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Utara.

Adapun suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah, Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Namun bila ditinjau dari segi sejarah, maka anggapan Karo adalah bagian dari Batak merupakan presepsi yang sangat keliru. Kutipan tulisan dari koran Suara Pembaruan dengan judul “Siapakah Orang Batak Itu?” yang terbit pada 29 Januari 2005, menyebutkan bahwa benar, bangsa Batak adalah keturunan langsung dari si Raja Batak.

Si Raja Batak pada tulisan itu diperkirakan hidup di sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus.

Pada tahun 1275, Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1400, kerajaan Nakur berkuasa di sebelah timur Danau Toba, dan sebagian Aceh. Dengan memperhatikan tahun dan kejadian di atas, diperkirakan si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari selatan Danau Toba (Portibi), atau dari barat Danau Toba (Barus), yang mengungsi ke pedalaman akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya, ditempatkan di Portibi, Padang Lawas, dan sebelah timur Danau Toba (Simalungun)

Sebutan Raja kepada si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan si Raja Batak, seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan dan sebagainya, meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.

Selanjutnya menurut buku Leluhur marga-marga Batak, dalam silsilah dan legenda, yang ditulis Drs Richard Sinaga, Tarombo Borbor Marsada anak si Raja Batak ada tiga orang, yaitu Guru Teteabulan, Raja Isombaon, dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.

Di antara masyarakat Batak, ada yang mungkin setuju bahwa asal-usul orang Batak dari negeri yang berbeda, tentu masih sangat masuk akal. Siapa yang bisa menyangkal bahwa Si Raja Batak yang pada suatu ketika antara tahun 950-1250 Masehi muncul di Pusuk Buhit, adalah asli leluhur Orang Batak?

Dari sejarah Batak yang tertulis di Koran Suara Pembaruan ini, maka kita dapat membuat perbandingan antara kehidupan Si Raja Batak dengan sebuah kerjaan besar bernama Aru yang disebut-sebut sebagai kerjaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara saat ini. Dari catatan kronik Cina pada masa Dinasti Yuan, disebutkan bahwa pada tahun 1282 Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina. Tuntutan itu disebutkan ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295. Maka dari catatan ini dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Aru sendiri pasti sudah ada sebelum tahun 1282? Antara Karo dan Kerjaan Aru selalu terkait, bahkan terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo.

Membandingkan antara masa kehidupan si Raja Batak dengan masa berdirinya Kerjaan Aru yang secara bersama-sama hidup diantara abad ke-12 sampai abad ke-13 dengan dua kerjaan yang berbeda, maka sudah tentu, antara nenek moyang Batak dengan nenek moyang Karo itu berbeda. Disatu sisi nenek moyang Batak berasal dari Si Raja Batak. Namun disisi lain nenek moyang Karo berasal dari Kerjaan Aru yang rajanya disebut juga dengan Pa Lagan (nama orang karo). sumber

Filed Under: Sejarah Tagged With: depan, patam patam, soekarno landek

  • « Go to Previous Page
  • Page 1
  • Page 2
  • Page 3
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • La Kudiate
  • Percian
  • Rudang Rudang Sienggo Melus
  • Sayang
  • Nokoh

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2025 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home