Selain wisata alam Danau Toba dan alam pegunungan di Bukit Lawang, Sumatera Utara (Sumut) masih mempunyai beberapa segi wisata, antara lain wisata sejarah. Salah satu wisata sejarah di Sumut yang belum banyak dikenal orang adalah menelusuri sejarah Kerajaan Haru, yang merupakan salah satu cikal bakal kesultanan yang melahirkan Istana Maimoon di Medan. Sejarah Kerajaan Haru pulalah yang memadukan masyarakat Karo, Melayu, dan Aceh pada sebuah pertalian.
Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-15, Kerajaan Haru itu termasuk salah satu kerajaan terbesar di Sumatera, setara dengan Kerajaan Pasai dan Malaka. Saat ini, di wilayah bekas Kerajaan Haru ini telah berdiri sebelas kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara bagian timur, yaitu Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Karo, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu.
Pertalian Aceh, Karo, dan Deli bisa dilihat dari hal ini. Sultan pertama Kerajaan Deli yakni Tuanku Panglima Gocoh Pahlawan. Ia adalah Panglima Perang Aceh yang ditempatkan di sekitar wilayah Kerajaan Haru. Penempatan tersebut dilakukan untuk meredam pemberontakan terhadap Kerajaan Aceh pada masa Raja Iskandar Muda. Setelah menguasai ibu kota Kerajaan Haru di Deli Tua, Gocoh Pahlawan meminang putri keturunan Karo dan mendirikan Kerajaan Deli di tempat yang sama.
Salah satu Keturunan Gocah Pahlawan adalah Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah, yang membangun Istana Maimoen pada akhir abad ke-19. Istana itu bahkan masih berdiri megah hingga saat ini di tengah Kota Medan, Sumatera Utara. Sabtu, 6 April 2002.
Menjelajahi situs Kerajaan Haru adalah sebuah keasyikan tersendiri. Lokasi bekas ibu kota Kerajaan Haru itu terletak sekitar lima kilometer dari Pasar Deli Tua Baru di Jalan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada daerah yang udaranya masih bersih. Cocok untuk trekking sambil berwisata.
Setelah melalui jalan aspal beberapa saat, perjalanan ke situs itu kemudian dilanjutkan dengan melewati jalan berbatu dan sempit, menyusuri pinggiran Sungai Deli dan menyeberangi sebuah jembatan gantung yang bergoyang saat dilewati.
Usai melewati jembatan gantung, sampailah kita pada jalan yang diberi nama Jalan Pancur Gading. Nama ini diberikan, sebab di sepanjang jalan tersebut akan ditemui dua dari sebelas pancuran air yang dikeramatkan penduduk setempat. Masyarakat setempat mempercayai bahwa pancuran-pancuran air tersebut, dulunya, sering digunakan oleh penduduk di Kerajaan Haru, mulai dari raja hingga dayang-dayang kerajaan.
Kini, semua pancuran air tersebut telah dibuat permanen. Mata air yang turun langsung dari bukit tersebut ditampung dalam sebuah bak tembok setinggi satu setengah meter. Air tersebut kemudian dikeluarkan melalui dua buah pipa plastik yang tidak pernah ditutup sehingga airnya yang jernih itu mengalir terus-menerus.
Pancuran yang terbesar, yaitu berasal dari tiga titik keluaran air, terletak setelah kita melewati pancuran pertama yang berada di pangkal Jalan Pancur Gading. Penduduk setempat mempercayai bahwa pancuran terbesar itu merupakan tempat Putri Hijau, salah seorang penguasa terakhir Kerajaan Haru, untuk mandi. Situs sejarah bekas Istana Kerajaan Haru berada dekat dengan pancuran yang kedua itu. Pada hari libur atau akhir pekan, puluhan orang bermalam di pancuran ini.
Kini kita sudah dekat dengan situs sejarah peninggalan Kerajaan Haru. Dengan menaiki satu bukit lagi, sampailah kita di sana.
Akan tetapi, jangan membayangkan akan menjumpai runtuhan istana atau serakan batu candi misalnya. Situs itu kini hanya menyisakan gundukan tanah dengan tinggi sekitar lima meter dan lebar empat meter sehingga membentuk parit-parit yang dalam dan panjang. Gundukan tanah tersebut dibangun sebagai benteng pertahanan Kerajaan Haru saat menghadapi serangan laskar Sultan Aceh Alaiddin Mahkota Alam Johan Berdaulat atau Sultan Alaiddin Riayat Shah Al Qahhar.
“Orang Karo zaman dulu membangun rumah atau istana semata dari kayu. Jadi, tidak ada peninggalan yang bisa kita rasakan saat ini,” kata Darwan Perangin-angin, seorang tokoh masyarakat Karo yang mengarang buku “Adat Karo”.
Bukti bahwa gundukan tanah tersebut digunakan sebagai benteng pertahanan jaman Kerajaan Haru adalah letak gundukan tanah itu yang mengelilingi tanah datar yang ada di atas bukit itu. Tepat di atas tanah datar itulah tempat Istana Kerajaan Haru dan permukiman penduduk Kampung Deli Tua dulu berada. Sementara, letak gundukan tanah yang menghadap ke arah Sungai Deli dimaksudkan untuk menangkal serangan dari musuh yang masuk lewat laut melalui aliran Sungai Deli.
Dengan berada di situs bekas Istana Haru, kita merasakan betul bahwa lokasi istana itu sangatlah strategis. Dengan membayangkan bahwa keliling istana itu dulu dikelilingi pohon bambu, terasa betul betapa kuat dan strategisnya lokasi Istana Haru terhadap serangan musuh mana pun.
MASIH ada hal lebih menarik untuk kita telusuri. Perjalanan dilanjutkan ke permukiman penduduk yang terdekat dengan situs sejarah ibu kota Deli Tua tersebut, yaitu Dusun 1, Kampung Deli Tua, di Kabupaten Deli Serdang. Sekitar abad ke-15, kampung ini merupakan ibu kota Kerajaan Haru dengan nama yang sama yakni Deli Tua.
Sebagai bagian yang menyatu dengan bekas reruntuhan ibu kota Kerajaan Haru, yang masih tertinggal di dusun ini hanyalah ceritera-ceritera legenda yang dimiliki oleh hanya sebagian penduduknya, yang diperoleh mereka secara lisan turun-temurun dari orang tuanya. Maka, mampirlah ke sebuah kedai kopi di sana, dan dengarkan berbagai ceritera menarik dari penduduk, misalnya dari Nambun Sembiring Milala (71).
Di kampung tersebut, hanya Nambun yang masih menyimpan ceritera-ceritera legenda, seperti Putri Hijau yang mempunyai dua orang saudara yang berubah wujud menjadi naga dan meriam puntung. Legenda rakyat yang berkembang tentang Kerajaan Haru, pada beberapa bagian, memperoleh penguatan dari bukti-bukti yang ditemukan oleh penduduk Kampung Deli Tua itu sendiri.
Kisah tentang kemenangan laskar dari Sultan Aceh dalam perang melawan Kerajaan Haru, misalnya dari kisah mata uang dirham (deraham dalam bahasa Karo), yang berbentuk logam dan konon yang terbuat dari emas. Uang logam emas bertuliskan huruf Arab tersebut digunakan pasukan Aceh untuk memancing pasukan Haru keluar dari bentengnya.
Bukti bahwa peristiwa penyebaran uang logam tersebut terjadi bisa kita dapatkan dari ceritera para penduduk di sini. Nambun mengatakan sudah pernah menemukan lima keping uang logam emas yang dipercaya pernah digunakan oleh pasukan Kerajaan Aceh tersebut. Uang-uang emas itu ia temukan di sekitar pekarangan rumahnya pada sekitar tahun 1970.
“Sudah saya jual. Waktu itu, sekitar 10 tahun lalu, satunya masih laku Rp 4.000. Sekarang saya tidak menyimpan satu pun. Di sekitar sini juga pernah ditemukan patung naga terbuat dari emas dan pada bagian matanya dari berlian. Tapi, sudah diamankan polisi saat itu juga,” kata lelaki kelahiran tahun 1931 itu menambahkan.
Bukan hanya Nambun, Ngirim Ginting juga mempunyai pengalaman sama, hanya saja benda bersejarah yang ditemukannya berbeda. Ngirim menceritakan bahwa ia pernah menemukan sarung keris yang terbuat dari emas, serta beberapa peluru timah berbentuk bulat. Sarung keris berlapis emas itu kemudian ia jual ke Pasar Deli Tua Baru, sedangkan peluru-peluru timah itu ia lebur dan dijadikan sebagai vas bunga di rumahnya.
“Saya jual sarung keris itu waktu harga emas masih Rp 2.000 segramnya. Hampir semua penduduk di sini pernah menemukan uang logam emas Deraham itu, tapi pasti dijual. Terakhir masih ada yang menemukannya tahun kemarin,” kata Ngirim.
Satu-satunya penduduk yang masih menyimpan uang logam tersebut adalah seorang ibu, penduduk dusun yang sama, yang enggan disebut namanya. Uang emas berdiameter kurang dari satu sentimeter itu ditunjukkannya kepada Kompas untuk difoto.
Berhiaskan kaligrafi dalam huruf Arab dan ukiran berbentuk bulat di sekeliling pinggiran lingkarannya, uang dirham itu memang tampak sangat tua. Penduduk setempat menyebut kaligrafi itu sebagai tulisan berbahasa Aceh.
Namun, baik Nambun maupun Ngirim mengakui, mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa uang logam tersebut bernilai sejarah yang tinggi. Mereka tidak mengerti bagaimana sebuah uang emas tipis seperti itu mampu mengungkapkan jati diri dan sejarah keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa uang logam tersebut terbuat dari emas 24 karat dan bernilai uang jika dijual.
“Mereka juga tidak mengerti bahwa selama ini rumah yang mereka diami berada di sebuah bekas ibu kota kerajaan besar di zaman dahulu. Mereka tidak sadar bahwa dusun tempat mereka tinggal adalah sebuah situs sejarah yang mengenaskan karena tidak tersentuh usaha perlindungan sejarah, dan segera akan terlupakan,” ujar Darwan.(Kompas)