• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home

Gawat, Rumah Dinas Kodim di Karo “Sarang” Judi Togel

10 October 2011 by karo 2 Comments

kodim
Ditangkapnya Big Boss judi Togel yang juga Ketua PMK (Pemuda Mitra Kamtibmas) Tanah Karo, Kasman Ginting beberapa waktu lalu oleh Poldasu tidak membuat nyali bandar judi di Bumi Turang ciut.  Kini penjualan judi Togel di kota buah ini bagai penjualan kacang goreng. Terbukti, sampai saat ini Big Boss judi togel terkesan kebal hukum.

Disebutkan, oknum TNI satuan Intel Kodim 02/ 05 Tanah Karo berinisial Serda A Manurung telah berkoalisi dengan petinggi kepolisian di Polres Karo untuk memuluskan peredaran judi tebak angka tersebut. Informasi yang dihimpun wartawan koran ini menyebutkan, bisnis haram ini telah lama dilakoni Serda A Manurung hingga meresahkan warga Karo khususnya kaum ibu. Namun hingga kini tak satupun komplotan dan anggota oknum TNI tersebut yang berhasil diringkus Polres Karo. Disebut-sebut, Serda A Manurung setiap bulannya memberi setoran ke sejumlah petinggi di Polres Tanah Karo seperti Kapolres, Waka Polres, Kasat Reskrim, Kanit Reskrim, Kanit Opsnal, sejajaran Panit dan lainnya. Hal itu dilakukan tentunya untuk mengamankan jalannya bisnis judi Togel yang saat ini telah merambah ke pelosok Desa di Kabupaten Karo.

Bahkan, rumah dinas TNI kesatuan Kodim 02/ 05 TK di Jalan Kapt Bom Ginting persis di sebelah Gang Naga Bonar dijadikan kantor penyetoran Togel oleh Serda A Manurung. Banyak pihak menduga kalau rumah dinas TNI yang kini dijadikan sarang judi tersebut untuk mengelabui masyarakat awam yang telah mengetahui oknum TNI itu bos pengelola Togel. “Pantas lah kantor Togel nya dibuat di rumah dinas TNI, kalau di rumah masyarakat kan pasti ribut. Dia kan anggota TNI, jadi wajar kalau dia mau “cuci tangan”. Padahal dia lah bos besar judi di Tanah Karo ini,” jelas sejumlah warga yang namanya enggan di korankan.

Dikatakan sejumlah warga, Serda A Manurung memang cerdik, setiap Kecamatan di Kabupaten Karo dibuat satu sub agen untuk tempat penyetoran. Setelah dilakukan penyetoran oleh jurtul ke sub agen, selanjutnya seluruh sub agen Kecamatan menyetor ke Bos Besar alias Big Boss Serda A Manurung.

Seperti di Kecamatan Berastagi, Simpang Empat dan Merdeka disebut-sebut dikelola oknum Koramil Berastagi, M Tarigan, di Kecamatan Tiga Binanga, Lau Baleng dan Mardinding di kelola oknum Ketua Partai, H Sitepu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tua.

Bayangkan saja, dari 23 Kecamatan di Karo, judi Togel mayoritas dikuasai Serda A Manurung. Apalagi warga Karo saat ini mencari aman tanpa gangguan.

Informasi yang beredar, sejumlah sub agen yang menyetor ke Serda A Manurung tidak akan disentuh Polres Karo. “Kalau ingin buka judi Togel kita harus melapor ke Serda A Manurung, kalau tidak kita langsung ditangkap petugas.Untuk urusan judi pasti aman di Manurung, kalau tempat lain kita menyetor langsung ditangkap lah, jelas warga. (JAS/sumutberita)

Filed Under: Kriminal Tagged With: judi, togel

“Jabu” dan Modernitas Lingga Karo

10 October 2011 by karo Leave a Comment

rumah ada karo lingga
Rumah tersebut berbentuk panggung. Tingginya sekitar dua meter dari permukaan tanah. Di dinding bawah rumah terukir motif-motif tradisional yang merupakan kombinasi dari lima warna khas daerah itu, yaitu merah, putih, hitam, hijau dan kuning atau biasa disebut oleh masyarakat yang bermukim di situ sebagai warna emas-emas.

Teras rumah itu dibuat dari susunan-susunan bambu yang disusun rapi. Untuk menaikinya dari arah depan, di sana terdapat sebuah tangga kayu yang terdiri dari tiga anak tangga, sementara dari arah belakang ada lima anak tangga. Ruangan masuk ke dalam rumah tersebut cenderung condong ke arah dalam dan tidak memiliki pintu.

Ketika baru memasukinya, pandangan mata akan tertuju pada lima buah para atau tungku api tempat penghuninya memasak. Di atas jejeran batu yang dijadikan tungku itu terdapat tempat untuk menyimpan kayu bakar. Delapan buah kamar tersedia dalam rumah itu. Di atapnya terdapat dua potong kayu yang memanjang dan dua potong kayu yang melebar sebagai penyangga rumah. Di ujung kenjahe atau arah barat dipasang kepala kerbau jantan dan di kenjuru-nya atau arah timur rumah itu dipasang kepala kerbau betina.

Rumah itu terbuat dari bermacam-macam kayu yang kuat dan kokoh, namun ada tiga jenis kayu yang menjadi syarat wajib dan harus ada dalam sebuah rumah. Jika syarat tiga jenis kayu itu sudah terpenuhi, maka kayu-kayu jenis lain bisa dipakai dengan leluasa untuk dijadikan material fondasi atau kontruksi rumah.

Tiga jenis kayu tersebut adalah ndarasi, ambertuah dan sibernaek. Ndarasi merupakan jenis kayu yang berfungsi agar keluarga dalam rumah tersebut bisa hidup serasi, ambertuah digunakan agar mereka dapat tuah atau keturunan dan sibernaek agar mereka mendapatkan rezeki yang banyak terutama dalam hal bercocok tanam sebagai mata pencaharian sehari-hari penduduk di tempat itu.

Siwaluh Jabu, begitulah nama rumah adat yang ada di Desa Budaya Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Karo, Sumatera Utara. Siwaluh Jabu bermakna “rumah delapan” jika diartikan secara harfiah. Maksudnya rumah tersebut terdiri dari delapan keluarga. Satu keluarga menempati satu kamar. Namun, kini rumah tersebut sudah ditinggalkan oleh para penghuninya. Hanya tinggal satu keluarga saja yang masih bertahan. Itupun karena tugas keluarga itu untuk menjaga kebersihan rumah. Mereka dibayar Rp. 500 ribu per bulan oleh Dinas Pariwisata Kota Karo.

Penghuni lain sudah banyak yang membangun rumah sendiri. Seperti yang dituturkan Brema Pranata Tarigan. Bocah kelas 6 Sekolah Dasar (SD) itu mengatakan bahwa keluarga-keluarga yang sebelumnya menempati rumah itu satu-persatu mulai keluar dan memilih untuk tinggal serumah hanya dengan keluarga sendiri. “Di sini tak ada lagi orang, semuanya udah pindah,” ujar Brema dengan polos.

Brema merupakan keluarga terakhir yang menjadi penghuni rumah itu. Ia tinggal bersama seorang adik, ibu dan ayahnya yang bekerja menjaga dan membersihkan rumah serta pekarangannya. Kadang-kadang ada juga turis yang berkunjung ke sana dan memberikan sejumlah uang yang dimasukkan dalam kotak sumbangan kebersihan yang ada di dalam rumah. “Ada yang kasih (uang) seratus, dua atau tiga ratus ribu untuk duit kebersihan,” tutur Brema.

Sekitar tahun 1970-an, tercatat ada 28 unit rumah adat di Desa Lingga tersebut. Rumah-rumah itu ada yang sudah berusia empat, tiga dan dua abad. Namun sudah banyak yang roboh dan hancur. Sekarang hanya tersisa empat rumah. Akibat gempa bumi yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dua di antaranya roboh dan tak bisa ditempati lagi. Jadi rumah yang masih utuh saat ini hanya tersisa dua. “Kini hanya tinggal dua (rumah), dua lagi roboh karena gempa,” kata Hanita Ginting (51), salah seorang tetua kampung Desa Lingga yang kini memilih hidup mandiri dengan keluarganya.

Hanita baru sekitar lima bulan lalu meninggalkan rumah adat tersebut. Dulu ia tinggal di Sepuluh Dua Jabu atau rumah dua belas, yaitu rumah tempat tinggal raja yang terdiri dari dua belas keluarga. Ia merupakan generasi ketujuh dari seorang raja yang bernama Uroeng. Ia beralasan bahwa keluarganya memilih untuk meninggalkan rumah Sepuluh Dua Jabu karena zaman sekarang orang-orang sudah modern dan mulai mengenal privasi dan kebebasan berekspresi. “Kalau dulu ‘kan orang masih mau mengikuti aturan adat yang berlaku, tapi sekarang sudah maju. Sudah modern. Kalau (tinggal) di rumah itu ‘kan serba tertutup. Kita nggak bisa ngomong sembarangan. Orang juga butuh privasi,” tuturnya dengan Bahasa Indonesia yang lancar. Kebanyakan masyarakat Desa Lingga tidak bisa berbicara dengan bahasa Indonesia.

“Sekarang di kampung (Lingga) ini sudah masuk listrik. Sudah ada lampu, tivi, radio dan peralatan canggih lainnya. Jadi kalau mau hidupin tivi di rumah (adat) itu ‘kan nggak mungkin, bisa mengganggu keluarga lain. Makanya kami pindah dan membangun rumah baru,” kata Hanita yang kemudian menyeruput segelas tuak panas yang terhidang di hadapannya.

Kini semakin banyak bekas penghuni rumah adat Lingga yang membangun rumah baru. Perlahan-lahan, penghuni rumat adat itu kian berkurang. Apalagi sekarang hanya tersisa dua rumah adat saja. Maka tak lama lagi eksistensi rumah ada tersebut akan punah. Hanita memahami realitas tersebut dan membuatnya khawatir. Namun bagaimanapun nasibnya rumat adat itu nanti, hal itu kembali berpulang ke kebijakan masyarakat Lingga sendiri. Seperti sekarang, yang tersisa hanya penjaga dan tukang bersih rumah adatnya saja, sementara rumah adat itu sendiri sudah lebih cenderung terlihat sebagai museum daripada rumah adat yang pernah menjadi bukti sejarah peradaban masyarakat Desa Budaya Lingga. []

*Penulis merupakan pemimpin redaksi DETaK Unsyiah dan delegasi Pelatihan Jurnalistik Tingkat lanjut (PJTL) Salam Ulos 2011 yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiwa (LPM) Suara USU, Berastagi, 27 September – 1 Oktober 2011.

Filed Under: Berita Baru Tagged With: rumah adat karo

Mengumpulkan Koin, Menyelamatkan Rumah Adat (Sebuah Bakti Mahasiswa)

7 October 2011 by karo 1 Comment

mari selamatkan rumah adat karo
Sekumpulan mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan Universitas Negeri Medan yang tergabung dalam Sanggar Seni Sirulo dan Sanggar Seni Tinuang melakukan pentas seni di beranda sebuah rumah adat Karo di Desa Melas, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, Sabtu (29/5)

Apakah anda perduli dengan nasib Budaya Karo. Jika andad perduli silakan baca artikel ini lebih lanjut. Artikel ini saya ambil dari kompas, barangkali ada diantara kita yang belum sempat membacanya. Mari kita sama-sama lestarikan budaya karo. Berikanlah sumbangsih anda meskipun itu adalah berupa Koin.

Nada suara Rajadat Bukit terdengar berat saat menceritakan nasib rumah adat milik keluarganya di Desa Melas, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara Matanya menerawang ke masa 30 tahun lalu, saat dirinya bersama tujuh keluarga lain harus meninggalkan rumah adat. Gerimis sore itu seperti memaksa Rajadat mengingat satu-satunya kesalahan komunal warga Karo yang menelantarkan warisan leluhur mereka, tak dapat merawat rumah adat.

Rumah adat milik keluarga Rajadat kini hampir rusak seluruhnya. Atap ijuknya di beberapa tempat telah berlubang, tak kuasa menahan gempuran air hujan. Akibat lama tak dirawat, banyak lumut tumbuh di atap ijuk tersebut.

“Saya lahir dan besar di rumah adat. Bahkan, sampai anak bungsu saya lahir, saya masih tinggal di sana. Sekarang anak bungsu saya sudah berusia 30 tahun,” ujar Rajadat yang mengaku tak lagi mendiami rumah adat sejak akhir 1970-an. “Mungkin sekitar tahun 1979 rumah itu tak lagi kami tempati. Saya tak ingat kapan persisnya,” kata Rajadat.

Rumah adat milik keluarga Rajadat didirikan pada 1922. Rajadat, yang kini berusia 68 tahun, mengingat, kakeknya yang dulu membangun rumah adat. Kini dia memasrahkan perbaikan rumah adat keluarganya kepada komunitas anak-anak muda yang tergabung dalam Sanggar Seni Tinuang dari Universitas Negeri Medan (Unimed) dan Sanggar Seni Sirulo dari Universitas Sumatera Utara (USU).

Kepedulian mahasiswa

Awalnya, aktivis Sanggar Seni Tinuang yang kebanyakan berasal dari mahasiswa Jurusan Seni Rupa Unimed mencoba memperbaiki dinding kayu rumah milik keluarga Rajadat. Mereka mengecat ulang dan menggambar beberapa ornamen adat khas Karo. Selain itu, anak-anak muda ini juga membuat beranda dari batang bambu di depan pintu. Beranda itu dilengkapi tangga kecil karena memang rumah adat Karo berbentuk panggung.

Karena ditinggalkan lama, jangankan beranda atau tangga, rumah adat di Desa Melas ini kondisinya mengenaskan hingga di bagian dalam. Tak bersisa sedikit pun bekas bahwa di dalam rumah pernah tinggal delapan keluarga. Namun, struktur bangunan rumah masih banyak yang utuh. Bekas dapur atau perapian masih tersisa dua, dari biasanya ada empat. Bagi rumah adat yang didiami delapan keluarga, biasanya memiliki empat dapur. Satu dapur untuk dua keluarga.

Selain itu, ornamen tempat menggantung bumbu masakan hingga tempat mengeringkan padi masih tersisa di dalam rumah. Struktur panggung rumah juga masih utuh. Kayu juhar dan ingul yang bisa dijadikan penopang lantai dan panggung rumah masih utuh dan selamat dari keropos. Hanya saja lantai rumah tak lagi bersisa. Kerusakan lain yang jelas terlihat adalah atap ijuknya.

Upaya aktivis Sanggar Seni Tinuang memperbaiki rumah adat Karo tersebut rupanya diketahui penggiat seni tradisi Karo lainnya di USU, yakni Sanggar Seni Sirulo. Secara kebetulan, komunitas yang tergabung dalam Sanggar Seni Sirulo menerbitkan tabloid bulanan bagi komunitas Karo di seluruh dunia. Mereka pun kemudian mengekspos upaya perbaikan rumah adat oleh Sanggar Seni Tinuang.

“Akhirnya kami berdiskusi dan sepakat agar ada gerakan moral untuk menyelamatkan rumah adat Karo dari kepunahan. Kami kemudian menggagas gerakan pengumpulan koin sebagai simbol kampanye moral menyelamatkan rumah adat Karo. Kami berharap kampanye ini bisa membuat masyarakat Karo di mana pun mereka tinggal sekarang ini ikut tergerak menyelamatkan warisan leluhurnya,” ujar salah seorang aktivis Sanggar Seni Sirulo, Juara Ginting.

Juara, yang kebetulan juga pengajar di Jurusan Antropologi USU, tengah meneliti rumah adat Karo untuk disertasi doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda. Bak gayung bersambut, upaya sesama anak muda Karo yang kebetulan tengah menempuh studi di Medan ini diwujudkan dalam Deklarasi Penyelamatan Rumah Adat Karo di Desa Melas, Sabtu (29/5). Diiringi gerimis, mereka berkumpul bersama perwakilan delapan keluarga pemilik rumah adat. Rajadat adalah kepala dari delapan keluarga yang pernah tinggal di rumah adat Desa Melas.

Sebenarnya masih ada satu bangunan rumah adat lain di Desa Melas. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah adat milik keluarga Rajadat. Namun, kondisinya sudah tak mungkin lagi diperbaiki. Atap ijuknya jebol. Air hujan langsung menimpa struktur kayu. “Rumah yang satu lagi tinggal menunggu runtuh. Kami tak mungkin lagi memperbaikinya. Sebenarnya yang seperti ini banyak dijumpai di pelosok desa Tanah Karo. Rumah adat yang rusak parah dan tinggal menunggu runtuh,” kata Juara. Rumah adat bagi masyarakat Karo adalah simbol komunalitas mereka.

Sabtu sore itu, setelah disepakati bagaimana cara menggalang dana memperbaiki rumah adat, dua komunitas seni tersebut berbarengan menampilkan seni musik tradisional Karo di hadapan seluruh penduduk Desa Melas. Seperti ingin menggugah kesadaran penduduk setempat akan warisan leluhur mereka, selain bermain musik dan menyanyi, mahasiswi USU dan Unimed tersebut juga mengajak warga menari landek, tarian keakraban dalam masyarakat Karo.

Niat baik dan kepedulian anak-anak muda Karo ini membuat trenyuh Kepai Tarigan yang pernah mendiami rumah adat di Desa Melas. Kepai merupakan kerabat Rajadat. Dia mengatakan, jika sampai rumah adat mereka selesai diperbaiki, mereka mempersilakan siapa pun yang hendak tinggal dan merawatnya. “Tanpa kami pungut apa pun, asal mau merawat rumah tersebut,” ujar Kepai. Bagi Kepai dan Rajadat, sudah cukup generasi setelah mereka mengingatkan kesalahan kebanyakan warga Karo yang membiarkan rumah adat mereka di ambang kepunahan.

Banyak pihak sebenarnya peduli terhadap ancaman kepunahan rumah adat Karo. Kolektor rumah adat di Indonesia malah tak peduli mengeluarkan banyak biaya untuk mengangkut seluruh struktur bangunan rumah adat itu supaya bisa dibawa ke luar Tanah Karo dan dimiliki mereka. Rumah adat milik keluarga Rajadat sempat ditawar untuk dibeli oleh Gereja Batak Karo Protestan. Namun, akhirnya keluarga memutuskan, tak menjualnya. Terlebih setelah ada niatan dua komunitas seni tradisi Karo di Medan memperbaiki rumah tersebut.

Menurut Juara, koin yang dikumpulkan ini akan menjadi titik awal perjuangan mereka merevitalisasi rumah adat Karo. “Semoga dengan upaya kami ini, akan semakin banyak orang Karo tergugah menyelamatkan salah satu identitas komunitasnya. Bagaimana pun rumah adat ini salah satu bentuk peneguhan identitas orang Karo,” katanya (sorasirulo)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: rumah adat karo, selamatkan rumah adat karo

Masakan Khas Karo

7 October 2011 by karo 8 Comments

Berbicara mengenai suatu daerah, pasti tidak akan lepas dari masakan khas. Begitu juga dengan Karo, Salah satu identitas Suku Karo yang belum hilang sampai saat ini dan memang tidak boleh hilang sampai kapanpun adalah bidang kuliner. Berbagai kuliner tradisional khas Karo masih tetap bisa kita temui diberbagai wilayah di Indonesia yang ditempati oleh orang Karo.

Adapun kuliner yang tetap eksis sampai saat ini, diantaranya adalah:
1. Cipera
cipera
Ciper merupakan masakan khas Karo yang terbuat dari potongan ayam kampung termasuk leher, sayap, kaki, hati,ampla dan dimasak dengan tepung jagung sampai empuk dan berkuah kental. Tepung jagungnya harus dari bulir tua jagung Medan, agar menghasilkan kuah yang kental.

Bulir jagungnya disangrai terlebih dulu, kemudian ditumbuk menjadi tepung. Tepung jagung inilah yang sebenarnya disebut cipera. Kuah kental ini bercitarasa pedas karena memakai cabe rawit, dan sedikit asam karena memakai asam tikala (dari buah honje/kecombrang).

Supaya pedasnya lebih menggigit dan mencuatkan karakter yang berbeda, ada juga yang menambahkan tuba (andaliman, Shanghai peppercorn) sebagai bumbu. Selain ayam, juga dicampurkan jamur merang (atau jamur kuping dan jenis jamur lainnya) ke dalam kuah. Ayamnya dimasak hingga sangat lunak dan menyerap bumbu.

2. Tasak Telu
Tasak Telu merupakan masakah khas Karo lainnya yang berarti “masak tiga” atau “tiga masakan” yang terdiri dari masakan ayam rebus yang dicampur dengan berbagai bumbu. Air rebusannya disisihkan dan disajikan sebagai kuah atau sup. Ayam rebusnya yang termasuk jeroannya dipotong-potong untuk disajikan. Bila dikehendaki, ayam rebus ini dapat dimasak lagi sebentar dengan darah ayam. Dalam bahasa setempat, darah disebut dengan istilah “getah”

Bagian tulang-tulangnya dimasak lagi dengan sebagian kuah dan dicampur dengan cipera. Dengan tambahan bumbu-bumbu, campuran ini menjadi kuah kental yang gurih. Kuah kental ini – sebagai elemen kedua dari sajian ayam tasak telu – nanti diguyurkan pada ayam rebus ketika menyantapnya.

Elemen ketiganya adalah cincang sayur. Berbagai sayur rebus – kacang panjang, batang pisang, jantung pisang, daun pepaya, daun singkong, tauge – diurap dengan parutan kelapa berbumbu.

3. Terites
terites
Terites merupakan salah satu makanan Khas Masyarakat karo yang paling unik, dimana makan ini terbuat dari berbagai jenis sayuran dan berisikan oleh jeroan atau bagian dalam Sapi, Kerbau, atau kambing. Bahan dasar dari makanan ini adalah rumput yang terdapat pada perut besar Sapi, Kerbau, atau Kambing.

Rumput yang digunakan belum jadi kotoran karena rumput ini diambil bukan dari usus besar nya atau bagian sistem pencernaan. Rumput ini masih segar karena ketika kerbau atau sapi memakan rumput maka rumput yang baru di mamah di mulut akan ditelan dan dimasukan kedalam lumbung penyimpanan (perut besar) dimana kemudian akan di mamah kembali baru rumput tersebut akan di masukan kebagian pencernaan. Nah di kantung penyimpanan itulah rumput tersebut di ambil.

Terites ini merupakan makanan khas yang biasanya dibuat atau di sajikan pada saat pesta besar seperti Merdang Merdem (Pesta Panen Tahunan).

Yang tertulis disini hanya sebagian kecil dari kuliner tradisional Karo yang diketahui oleh penulis. Mudah-mudahan dilain kesempatan ditemukan lagi refrensi mengenai kulinener khas Karo agar kemudian dapat dituliskan kembali disini. (http://www.kompasiana.com/billwong)

Filed Under: Kuliner Tagged With: masakan karo, tasak telu, trites

Rumah Adat Karo

7 October 2011 by karo Leave a Comment

Rumah Adat Karo

Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabu-nya didalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.

Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Rumah sianjung-anjung
Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi bertanduk.
b. Rumah Mecu
Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk. Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:

a. Rumah Sangka Manuk
Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.
b. Rumah Sendi
Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh. Dalam nyanyian rumah ini sering juga disebut Rumah Sendi Gading Kurungen Manik.
Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran air pada suatu kampung.

Jabu dalam Rumah Adat

Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Kuta Buluh, Buah Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain.

Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara dapuar dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.

Sumber: Darwin Prinst

Filed Under: Seni dan Budaya Tagged With: rumah adat, rumah adat karo, rumah siwaluh jabu

Rumah Adat Karo, Ditinggal Tradisi

7 October 2011 by karo Leave a Comment

rumah adat karo hancur

Menyusuri petak demi petak tanah suku Karo, berjejer rumah dengan atap seng, kadang bertembok kayu, kadang bertembok beton. Di antara rumah-rumah modern itu, masih ada dua rumah unik. Rumah adat suku Karo, Desa Lingga, Kabupaten Karo.

Gerga, rumah panggung yang pernah ditinggali raja dan keturunannya, masih terlihat kokoh. Nampak kuat dibanding rumah adat lainnya. Ada satu keluarga yang tinggal di Gerga. Untuk merawat, dan mengasapkan rumah. “Kita tinggal di sini, biar rumah tidak rusak,” kata Brema Pranata Tarigan, seorang anak yang sekarang tinggal di Gerga. Ibarat kapal laut, makin sering kena air dan berpenghuni, tetap awet. Rumah adat, makin sering diasapi tengku api, tetap kokoh rumah adat itu.

Rumah adat yang ada sejak ratusan tahun yang lalu ini, dibangun dengan gotong royong warganya. Dengan ditopangi kayu pancang sekitar 16 buah, sebagai pondasi awal membangun rumah adat. Pemuda suku Karo mengambil kayu-kayu di hutan. Biar semangat, anak gadis ikut menunggangi kayu yang diangkat pemuda. Kayu dipilah dengan teliti, demi sebuah rumah yang layak ditinggali. Ada tiga kayu wajib yang harus ada ditiap rumah. Kayu Ndarasi, arti dalam bahasa Karo, sehat. Kayu Ambartuah, artinya keturunan. Kayu Sibarnaek artinya rejeki. “Supaya dalam satu rumah itu, sehat semua, banyak keturunan, mudah rejeki,” ujar Hamita Ginting, warga keturunan raja yang pernah tinggal di Gerga.
Ia juga menjelaskan, tidak sembarang kayu dalam membuat rumah. “Harus dimimpikan dulu sama dukun,” katanya. Para dukun yang menentukan, kayu mana yang layak untuk rumah. Jika dukun tak setuju. Cari lagi kayu yang lain, kemudian tunggu mimpi dukun, begitu seterusnya sampai dukun menyetujuinya.

Hamita Ginting masih menghuni rumah adat sekitar 7 bulan lalu. Namun ia lebih memilih tinggal di rumah sendiri. Bapak berumur 51 tahun ini, tahu betul tentang rumah adat, turis lokal atau internasional, banyak tanya kepadanya. Sehari-hari hidup bertani, pernah sekolah tamat SMA. Ingatannya masih kuat, cerita-cerita dari amaknya belum hilang.
“Saya dulu tinggal di rumah adat, 5 bulan lalu. Kehidupan jaman sekarang berbeda. Saya lebih memilih tinggal di rumah sendiri.”
“Di rumah adat, tidak bisa bebas.”
“Tidak bisa nonton TV dan denger radio…”

Dengan suara pelan, ia menceritakan segala hal tentang rumah adat Suku Karo. Ia tidak tahu pasti kapan rumah-rumah itu dibangun. Seingatnya, sekitar tahun 70-an, ada sekitar 28 rumah. Kian kemari, kian rusak. Tersisa 15 buah pada tahun 90-an. Sekarang 2 buah rumah adat suku Karo masih kokoh. Ia masih ingat, 7 tahun lalu masih banyak yang menghuni.

Selebihnya, rusak tak terawat. Gerga dan satu rumah adat biasa, yang tersisa. Ada beberapa rumah yang rusak 5 bulan lalu. Gara-gara hujan es dan angin kencang. Kebanyakan yang rusak tak berpenghuni. Dari pemerintah, Rp.500.000, tiap bulan, untuk uang perawatan. Warga banyak memilih hidup di rumah masing-masing. Sembari melihat robohnya rumah adat mereka. (lpminstitute)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: rumah adat karo, tidak terurus

  • « Go to Previous Page
  • Page 1
  • Interim pages omitted …
  • Page 27
  • Page 28
  • Page 29
  • Page 30
  • Page 31
  • Interim pages omitted …
  • Page 57
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • La Kudiate
  • Percian
  • Rudang Rudang Sienggo Melus
  • Sayang
  • Nokoh

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2025 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home