Pada dasarnya, masyarakat tradisional Karo adalah masyarakat yang agraris. Agraris dalam artian, segala aktifitas sosialnya berkaitan dengan kehidupan bertani (mata pencarian mayoritas masyarakat Karo adalah bertani), sehingga untuk mencapai kesejahtraannya dibutuhkan keuletan dalam mengelola tanah sebagai media dasar dalam kegiatan bertani.
Dalam perjalanannya sebagai masyarakat yang agraris, untuk memaksimalkan hasil dari pengolahan tanah (bertani) yang dilakukan, maka masyarakat Karo bukan hanya (telah) mampu menciptakan alat-alat pertanian (alat tradisional) untuk mengolah tanah, namun juga dalam hal pemberdayaan bibit unggul, pemilihan jenis tanaman, dan perawatan tanaman, tetapi juga telah mampu melakukan prediksi tanam (kapan saat menanam dan kapan saat menuai yang tepat/cocok) agar mencapai hasil yang maksimal.
Prediksi tanam tersebut, seperti yang kita ketahui dalam kehidupan masyarakat agraris secara umun, ini berkaitan dengan masa tanam dan masa menuai. Jadi, dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan akan kondisi alam yang berkaitan dengan cuaca (iklim) yang mungkin akan terjadi dalam tiap-tiap waktu dalam prediksi minimal satu tahunnya. Dalam hal ini, masyarakat tradisional Karo telah mampu mengembangkan satu sistem yang disebut dengan “Katika.” Mungkin bagi sebagian orang katika ini masih terdengar asing, akan tetapi masyarakat Karo telah mengenal dan menerapkannya dalam setian aspek kehidupannya (bukan hanya untuk keperluan bertani saja).
KATIKA, adalah salah satu ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Karo, yang meliputi: pembagian waktu (namis si lima), hari (wari si telu puluh), bulan (paka sepuluh dua), dan juga arah mata angin (dasa siwaluh).