Oleh : Robinson Sembiring
Saya sedang membaca berita tentang keputusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa Pemilukada Karo yang menyatakan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara yang diajukan oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Karo Riemenda Ginting dan Aksi Bangun.
Ringtone mobile phone saya dengan lagu “Catch the rainbow” berdentang. Seorang kawan lama bernama Buahbara Karosekali memanggil. Katanya: “Omong kosong PemiluKaDa Karo baru-baru ini dilakukan sebagai pengejawantahan kuasa rakyat ! Ini hanya sebuah skenario pembohongan besar ! Rakyat tidak pada posisi mengendalikan suara, namun lebih pada posisi dikendalikan !” Lha, ada tiga kalimat yang meluncur dari mulutnya, dan tiga kali pula saya tersentak dengan aksentuasi ucapannya. Ketiga kalimatnya wajib diakhiri tanda seru.
Roberth Dahl dalam tulisannya yang berjudul “After The Revolution” memunculkan kata “royal lie” untuk menunjukkan kebohongan-kebohongan kaum elite. Maknanya bahwa dalam politik memang ada kebohongan. Terminologi yang digunakan bisa sedemikian halus seperti: kebijakan, strategi, atau diplomasi. Lihat saja “uang sogok” telah diubah menjadi “uang perahu”. Belakangan ini malahan muncul istilah “biaya sosialisasi untuk kader partai”. Ini juga sebuah kebohongan!
David E. Apter yang juga dulu banyak dirujuk pemerhati politik Indonesia menggunakan ungkapan “penjual obat param ular” untuk menggambarkan orang-orang yang sedang kampanye untuk menggapai kekuasaan. Maknanya, ilmuwan politik ini juga menyadari bahwa para “power seeker” atau petualang kekuasaan akan bersedia menebar kebohongan agar barang jualannya dibeli masyarakat.
Apakah sahabat saya Buahbara Karosekali bicara tentang pembohongan besar PemiluKaDa Karo dalam konteks yang sama ? Apakah dia telah memiliki data mutakhir tentang perkembangan terbaru dari rumor yang beredar ? Saya belum sempat tahu. Tadi pagi dia telah pergi ke Banten untuk menemui Kang Jajat pedagang penampung sayur-mayur yang tinggal di Tangerang. Saya masih ingat salah satu pernyataannya baru-baru ini: “Kalau kau memerlukan informasi politik yang paling akurat, carilah pada rumor (kasak-kusuk) yang beredar di kedai kopi.
***
Di ujung wilayah Padang Bulan, di sudut sebuah persimpangan jalan menuju Jalan Setia Budi, ada sebuah kedai kopi yang setiap pagi ramai dikunjungi. Teh manisnya wangi, kopinya merangsang selera, terlebih-lebih lagi teh susunya. Ada 8 meja disana dan masing-masing dikelilingi 4-6 kursi. Maka pukul rata ada 40 orang pengunjung dalam setiap periode kunjungan pada pagi hari mulai jam 07.00 sampai dengan 10.00 WIB. Menurut salah seorang pelanggan, setiap harinya ada 100 kunjungan pelanggan di kedai itu. Setiap pelanggan akan duduk, minum, ngobrol atau membaca koran untuk mengikuti perkembangan mutakhir. Obrolan paling menarik hari-hari belakangan ini adalah PemiluKaDa Karo.
Menurut perkiraan mereka, pada PemiluKaDa Karo putaran kedua, pemenangnya adalah pasangan Kena Ukur Sitepu/Terkelin Brahmana. Dasar hitungannya adalah distribusi suara berdasarkan komposisi etnik dan perkembangan rumor PemiluKaDa serta aspek hukum yang akan menyertainya. Wah, hitung-hitungannya tidak kalah complicated dibandingkan dengan diskusi masyarakat akademik. Bedanya, mereka tidak menggunakan data BPS atau data forecast dari masing-masing team sukses.
Namun yang menarik lagi, dalam perkiraan mereka, siapa pun yang menang tidak akan mengubah wajah Karo secara signifkan. Bang Zainuddin yang jualan nasi goreng pada malam hari di Pasar Kaget, tidak akan memperoleh untung lebih banyak setelah Bupati dan Wakilnya terpilih. Janji pemerataan kesejahteraan masih jauh api dari panggang. Mari dicermati, semua janji yang dikedepankan para calon seperti peningkatan kesejahteraan petani dan pedagang kecil, perbaikan pendidikan atau perbaikan pelayanan kesehatan adalah produk dari proses administrasi negara. Namun mereka tidak ada yang mengedepankan reformasi birokrasi. Padahal aspek ini termasuk sebagai salah satu persoalan terpenting. Mesin kebijakan adalah birokrasi. Dan birokrasi pemerintahan Karo termasuk buruk. Ingat saja ejekan dari akronim SUMUT (Semua Urusan Memerlukan Uang Tunai) yang wilayah Karo termasuk di dalamnya.
Belum begitu banyak kita mengalami bahwa perubahan pejabat telah mengubah kinerja birokrasi pemerintahan. Nasib bangsa kita dari Sabang hingga Merauke lebih kurang ya sama. Pejabat bisa berubah namun perilaku tatkala memomong kekuasaan setali tiga uang. Ranah kekuasaan adalah kemewahan dan kebohongan, terkadang bercampur ancaman atau kekerasan. Jarak Indonesia masih sangat jauh dari jangkauan Ratu Adil. Masih terlalu banyak gelimang kenistaan yang menyebabkan Ratu Adil menunda perlawatannya ke sini.
***
Tetangga saya, bernama Bisuk Sianbona kampung asalnya Tolping, Samosir memiliki perkiraan yang berbeda. Menurutnya yang menang adalah pasangan Siti Aminah/Salmon Sagala. Dasar perhitungannya adalah ikatan kepartaian, etnisitas dan intuisi.
Yang menarik adalah perkiraan di kedai kopi dan perkiraan tetangga saya sama-sama memperhitungkan kehadiran faktor etnisitas. Apakah ikatan etnisitas memang benar-benar mempengaruhi orientasi politik masyarakat kita ? Jika ya, mengapa jumlah kursi yang diperoleh orang Karo di DPRD Provinsi dan DPR tidak sejalan dengan potensi yang dimiliki?
***
Lenggang-lenggok kekuasaan ternyata tak jauh berbeda dengan lenggang-lenggok penari sendratari di panggung-panggung seni. Ketika sang penari bergerak melenggang ditimpali sebuah ketukan kendang, tiba-tiba dia melenggok ke samping kiri dan kanan. Gerakannya tidak bisa digambar dengan kurva linear. Bahkan pada tari improvisasi gerakannya acak tidak menentu arah.
Maka panggung PemiluKaDa Karo sepertinya juga laksana panggung tari. Makna potongan-potongan gerakannya hanya dipahami sang sutradara. Akankah komposisi dan distribusi suara merupakan pengejawantahan kemenangan rakyat, masih sangat diragukan. Terlalu naif rasanya kalau kita tidak meyakini bahwa pasangan calon yang membelanjakan uang hingga puluhan milyar tidak mampu membelokkan hati nurani. Maknanya sama dengan banyak kasus dimana seseorang memilih calon bukan karena hati nurani. Namun karena tekanan psikologis hingga tekanan ekonomi atau karena hobby!
***
Saya menengadah sambil menerawang jauh. Sayang sekali, kami belum mampu menciptakan sistem rekrutmen pejabat politik yang mengharuskan para calon pemilih harus menelisik kemampuan calon dalam hal penyusunan dan implementasi program yang realistik. Atau agar ada mekanisme seleksi calon sebelum dilakukan pemilu. Sebelum mereka maju menjadi calon, mereka telah diseleksi terlebih dulu, ibarat melalui fit and proper test. Agar para pemilih tidak terlalu mudah terprovokasi para petualang politik yang mencari keuntungan diantara para calon. Mungkinkah itu ?
Ringtone mobil phone saya berdentang lagi. Keponakan saya yang ikut tim sukses salah seorang calon Bupati Karo memanggil. Katanya: “Jangan lupa ya dalam pemilihan Bupati putaran berikut Pa Uda pilih X ya ! Beritahu kepada mertua Pa Uda juga. Kalau dia gak pilih X, aku akan jatuh sakit !”
Akh…!!! ***
Penulis adalah Staf Pengajar FISIP USU
sumber : analisa