• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home
You are here: Home / Archives for Seni dan Budaya

Seni dan Budaya

Cerita Si Beru Rengga Kuning

20 June 2011 by karo Leave a Comment

Cerita Si Beru Rengga Kuning juga tidak kalah menariknya. Diceritakan bahwa dulu ada sebua keRajaan dimana Rajanya dianugerahi dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Anak laki-laki kerjanya hanya berjudi. Dimana terdengar ada judi, anak Raja tersebut telah berada disitu. Walaupun sang Raja telah berulang kali melarangnya, dia tetap bermain judi.

Pada suatu ketika, berangkatlah anak Raja dengan menaiki kuda ke sebuah keRajaan lain. Kebetulan di keRajaan tersebut sedang hebat-hebatnya perjudian. Anak Raja itupun ikut main. Tetapi sayang, dia kalah dan telah banyak mempunyai hutang sehingga semua pakaiannya dibuka orang kemudian dia dipasung pada suatu pokok kayu dan diberi makan ala kadarnya.

Raja bersama permaisuri dan putrinya merasa sedih, karena anaknya tidak pulang-pulang. Semua pesuruh dan pengawal keRajaan disuruh mencarinya, namun tetap tidak berhasil. Tidak diketahui apakah anak Raja tersebut meninggal dunia atau mengalami kecelakaan.

Sementara itu, putri Raja yang bernama Beru Rengga Kuning secara diam-diam mendatangi seorang guru silat. Dia belajar main silat. Setiap hari dia berlatih silat dengan gurunya tersebut di dalam hutan. Akhirnya guru silatnya tersebut mengatakan bahwa ilmu silat Beru Rengga Kuning telah memiliki ketangkasan yang luar biasa.

Pada suatu hari Beru Rengga Kuning mohon izin kepada orangtuanya pergi mencari saudaranya. Orangtuanya melarang karena takut ia akan terkena bahaya, namun Beru Rengga Kuning bersikeras untuk tetap pergi. Semua peralatan dipersiapkannya, dia menyamar dengan menggunakan pakaian laki-laki dan berangkat dengan membawa seekor kuda.

Berpuluh-puluh kilometer jalan yang dilaluinya, hutan, jurang, lembah, dan gunung tidak menjadi halangan baginya. Tibalah dia pada suatu tempat dimana terdapat banyak orang yang sedang berjudi, kepada orang yang ada disitu ditanyakannnya tentang abangnya itu. Mereka yang sedang berjudi mengatakan bahwa abangnya telah dipasung karena tidak dapat membayar utang. Beru Rengga Kuning minta agar mereka menunjukkan tempat abangnya dipasung, tetapi para penjudi tidak mau mengatakannya sebelum mendapat izin dari Raja mereka. Beru Rengga Kuning memaksa, sehingga terjadi pertempuran yang sengit, pada akhirnya mereka semua dapat dikalahkan oleh Beru Rengga Kuning . Beberapa diantaranya lari meninggalkan tempat itu dan memberitahu Raja mereka, sang Raja meminta untuk dipertemukan dengan Beru Rengga Kuning .

Sebelum melepaskan abang Beru Rengga Kuning , Raja membuat suatu kesepakatan, bila Beru Rengga Kuning mau menikah dengan putra Raja maka abangnya pun akan dilepaskan. Tetapi setelah abangnya dilepaskan Beru Rengga Kuning tidak mau menikah dengan putra Raja tersebuh, dia minta kepada Raja agar abangnya saja yang dijodohkan dengan putri sang Raja, Raja tersebut setuju dengan usul Beru Rengga Kuning. Dan akhirnya abangnya menikah dengan putri sang Raja.

Filed Under: Cerita Rakyat Tagged With: Beru Rengga Kuning

Suku Karo Mengantung Emas di Lehernya

17 June 2011 by karo Leave a Comment

pakaian adat karoCoba perhatikan pakaian adat pernikahan suku Karo disebelah ini. Dapatkan dibayangkan bahwa pakaian adat seperti ini sangat jarang dan lanka/unik. Karena pakaian adat ini dihiasi oleh emas. Pakaian adat bertabur emas, tentunya bukan sembarangan dan pasti memilki latar belakang yang tinggi dan kaya. Karena emas merupakan benda yang mulia, maka selain perkawinan Suku Karo itu begitu penting dan juga mulia.
Perkawinan suku Karo adalah mengawinkan dua keluarga besar, mengawinkan tiga kelompok besar yang dikenal dalam Suku Karo yaitu SUKUT (keluarga yang mengawinkan anak lelaki), KALIMBUBU (keluarga pihak perempuan) dan ANAK BERU (Keluarga dari penangung jawab kerja adat).
Emas menghiasi dari kepala hingga ke hiasan leher dan gelang di lengan. Disetiap bagian dihiasi oleh emas. Pakaian ini menunjukkan juga bahwa Suku Karo dari dulunya adalah suku yang kaya, makmur dan terpandang karena aslinya merupakan keturunan raja-raja.
Jika dibandingkan dengan pakaian penganting modern. Pakaian pegantin Karo sunguh tampak luar biasa bahkan ini lebih luar biasa dibanding sekedar pakaian pengatin modern yang putih memanjang itu.
Perkawinan Karo yang bertabur emas ini merupakan sebuah kelebihan dari suku ini. Pakaian adat perkawinan ini merupakan sebuah keunikan dari suku karo menunjukkan bahwa Karo memilki kualitas hidup yang tinggi dengan pengenalan akan jenis logam-logam mulia sedari dulunya.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Kenumgkinan besar karena nenek moyang bangsa Karo di awal abad masehi datang dari sebuah belahan bumi lain yang telah mengenal emas sebagai benda berharga, mereka menemukan dataran tinggi karo yang indah dan subur dan memulai pengidupan dengan komunitas yang baik. sumber

Filed Under: Seni dan Budaya Tagged With: baju, pakaian adat

Djasa Tarigan Maestro Musik Karo

13 June 2011 by karo 2 Comments

DJASA tariganDisambut sepi di dalam negeri, tak membuat Djasa Tarigan berhenti bergelut di kesenian tradisional Karo. Eksistensi sebagai putra daerah justru mendapat berbagai penghargaan dari negeri orang.
Pada “3rd International Rondalla Festival Querdas sa Pagkakaysa di Tagum City Philipina”, 12-19 Februari lalu Djasa Tarigan kembali dianugerahkan gelar Maestro Kulcapi Karo. Penghargaan itu diserahkan setelah penampilannya yang dianggap luar biasa oleh seluruh peserta.
Pada penampilannya itu, Djasa Tarigan memainkan lagu “Penganjak Kuda Sitajul” dengan kulcapi. Lagu itu mengisahkan cerita tradisional pada masyarakat Karo tentang seorang panglima pada masa peperangan dengan pasukan Aceh. Panglima tadi kemudian tewas ditembus peluru. Sebagai penghargaan masyarakat menggelar acara setiap tahunnya. Pada acara itu masyarakat meyakini arwah sang panglima hadir lewat suara kulcapi yang dipetik.
“Menurut seorang Maestro di Filipina itu, dia belum pernah mendengar efek suara seperti yang saya mainkan dari alat musik petik yang pernah ditemuinya di berbagai belahan dunia ini. Karena memang kulcapi bisa menimbulkan efek suara unik bila dimainkan menempel di kulit,” tuturnya.
Sebelumnya 2000 ayah dari Rocky Tarigan (25) dan Yanto Tarigan (21) ini dianugerahi gelar Maestro dari pabrikan elektronik asal Jepang, Technics. Gelar itu diberi berkat ide memprogram suara-suara dari musik tradisi masyarakat Karo untuk dimainkan pada keyboard. Ide yang bahkan belum terpikir oleh negeri yang menjadi raja elektronik itu.
Begitu juga dengan gelar maestro pertama yang diraihnya di Belanda. Gelar yang dianugerahkan karena keberhasilan membuat alat musik terpanjang di dunia. Ketika itu Djasa membuat keteng-keteng, alat musik tradisional Karo yang terbuat dari bambu sepanjang sembilan meter. Atraksi saat memainkan alat musik ciptaannya tadi mendapat aplaus dari peserta kegiatan yang digelar di Leiden University Belanda 2001 silam.
Namun semua itu tidak diraih dengan mudah bahkan tidak jarang harus menguras kantong pribadinya. Belum lagi pergolakan batin karena keinginan mengembangkan kesenian tradisional Karo justru membuatnya mundur dari bangku kuliah. Juga kerakusan masyarakat yang keliru melihat karyanya.
Lahir di Kabanjahe 19 Oktober 1963, Djasa kecil juga mewarisi bakat seni dari keluarga yang memang seniman. Untuk mengasah kemampuannya, Djasa berguru pada seniman tradisional Karo, Tukang Ginting (Alm) di Berastagi. Setelah menamatkan pelatihan, anak keenam dari 10 bersaudara ini bergabung dengan grup musik tradisi dan bermain di Hotel Bukit Kubu Berastasi sejak 1982.
Permainan alami yang diperlihatkan ternyata mendapat perhatian dari AP Pasaribu yang kala itu Rektor Universitas Sumatera Utara dan Rizaldi Siagian yang menjabat Ketua Jurusan Etnomusikologi USU. Djasa pun ditawarkan sebagai dosen musik Karo di kampus tersebut. “Setahun juga baru saya kasih jawaban dan itulah jalan saya ke Kota Medan,” kenangnya.
Perkembangan di dunia hiburan kala itu membuat Djasa yang juga aktif bermain musik di pesta-pesta masyarakat Karo sedikit kewalahan. Permintaan pun tidak lagi lagu tradisi semata juga lagu dangdut hingga lagu asing yang tidak mungkin diiringi dengan instrumen tradisional. Maka, mulai 1988 dirinya mengadopsi keyboard mendampingi alat musik tradisi yang tetap dipertahankan.
Inisiatif tadi terus menerus memberinya undangan bermain keliling Indonesia. Tidak itu saja, dirinya bahkan menjadi inspirasi puluhan grup musik Karo di sekitar kawasan Padang Bulan. Berlanjut pada membuat program suara masing-masing instrumen tradisional Karo ke dalam keyboard. Ide yang di satu sisi positif karena membuka lapangan pekerjaan sebagai pemain keyboard sekaligus berdampak negatif dan menyesakkan dada.
“Ide itu mendapat tentangan dari pemerintah dan kampus. Karena sekarang semua acara adat sekalipun hanya menggunakan keyboard. Tidak ada lagi alat musik tradisional yang memiliki interval nada berbeda dengan musik barat pada keyboard. Sekalipun orientasinya pada bisnis tapi situasi ini jauh dari gambaran saya dulu,” tutur pria single parents ini.
Djasa kemudian memutuskan berjalan sendiri memperkenalkan musik tradisional Karo. Bersama sahabatnya yang juga etnomusikolog Irwansyah Harahap mereka mengibarkan sansaka Merah-Putih dan menyanyikan Indonesia Raya di berbagai belahan dunia. Semua itu membuktikan bagaimana kebudayaan negeri ini sudah seharusnya mendapat perhatian pemerintah. Penghargaan yang tulus akan karya sang maestro pun diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kala di Istana Negara 2005 lalu. (jul)

Djasa Tarigan
Lahir : Kabanjahe, 19 Oktober 1963
Istri : Rosnala Br Barus (Alm)
Anak : Rocky Tarigan (25), Yanto Tarigan (21)
Alamat : Jalan Bunga Herba II No.26 Medan
Jabatan : Pemilik Djast Entertaiment
Penghargaan : Maestro Musik Karo di Leiden University Belanda 2000
Maestro dari Technics di Osaka Jepang 2001
Maestro Kulcapi Karo di Manila 2011
Karya : Program instrumen tradisional Karo pada keyboard 1986
Keteng-keteng terpanjang di dunia 2001
Konser Budaya Karo “Semalam di Tanah Karo” di Pardede Hall 2004

sumber

Filed Under: Seniman Karo Tagged With: seniman karo

Benteng Putri Hijau Diruntuhkan, Sejarahwan Akan Class Action

6 June 2011 by karo Leave a Comment

Kalangan sejarahwan memprotes keras tindakan pengembang yang membuldozer kawasan Benteng Putri Hijau Delitua rata dengan tanah.

Kami akan segera melakukan class action dan akan melaporkan Bupati Deli Serdang ke polisi karena secara nyata telah melanggar UU Nomor 11 tentang Cagar Budaya.

“Terkait persoalan ini, beberapa pengacara telah menyampaikan kesediaannya untuk membantu,”kata Kepala Pussis-Unimed Dr. Phil Ichwan Azhari kepada wartawan di Medan, Kamis (2/6).

Dijelaskan Ichwan, Pussis-Unimed pada tanggal 1 Juni 2011 mengunjungi Benteng Putri Hijau bersama Dr. Edward McKinnon (arkeolog Inggris konsultan arkeologi Pussis-Unimed).

Dari peninjauan itu, tampak bahwa badan benteng di dusun 11 desa Delitua telah diratakan dengan buldozer. Ditempat yang diratakan tersebut terdapat gundukan batu dan pasir yang akan digunakan dalam rangka membangun perumahan.

Juga patok-patok untuk batas untuk pendirian rumah telah ditancapkan. Badan benteng yang diratakan tersebut sepanjang 150-200 meter disebelah selatan dusun 11dan sebelah utara telah diratakan dengan lahan persawahan.

Padahal, terang Ichwan Azhari yang didampingi peneliti Pussis-Unimed Erron Damanik benteng ini merupakan pertahanan militer yang memanfaatkan kontur tanah dengan kearifan lokal masyarakat Aru pada abad ke-16-17 Masehi.

Pemkab Tidak Serius

Menurut Ichwan Azhari, tindakan pengembang juga menunjukkan ketidakseriusan Pemkab Deli Serdang dalam pelestarian dan penyelamatan Situs Sejarah yang sangat penting terutama bagi orang Melayu dan Karo tersebut.

Patut dipertanyakan juga, mengapa izin mendirikan bangunan di situs sejarah kembali dikeluarkan oleh Pemkab Deli Serdang yang berdasarkan hasil penelitian, situs tersebut sudah jelas-jelas dinyatakan sebagai situs sejarah yang wajib dilindungi.

Anehnya lagi, ungkap Ichwan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Deli Serdang yang menggagas penelitian 2 tahun silam dan jelas sekali mengetahui bahwa Benteng Putri Hijau Delitua adalah situs sejarah yang wajib dilindungi.

“Mereka pasti mengetahui bahwa Benteng Putri Hijau telah dinyatakan sebagai situs sejarah dan laporan penelitian ada pada mereka,” imbuhnya.

Fakta menyakitkan ini, tegasnya menunjukkan ketidakseriusan Pemkab Deli Serdang yang menerbitkan izin pembangunan perumahan diatas lahan situs tersebut.

Jelas sekali tidak ada kordinasi antar instansi dan antar dinas di Deli Serdang terbukti dengan keluarnya izin mendirikan rumah di lahan situs yang jelas sekali bertentangan dengan UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, ujar Ichwan.

Pengrusakan terhadap situs sejarah ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak peduli terhadap perlindungan kawasan-kawasan yang penting untuk dilindungi. Jika memang pemerintah menaruh apresiasi terhadap penyelamatan situs, maka pembuldozeran kembali situs Benteng Putri Hijau tidak perlu terjadi lagi, kata Ichwan.

Sementara itu, Edward McKinnon yang juga turut serta dalam rombongan tersebut memperlihatkan kekecewaannya terhadap benteng yang lagi-lagi harus menerima perlakukan tidak manusiawi itu. ‘Mengapa benteng yang begitu memiliki nilai sejarah ini harus di buldozer?’, ucap Mc Kinnon bertanya.
Arkeolog berkebangsaan Inggris itu mengemukakan bahwa hasil penelitian sudah jelas merekomendasikan bahwa Benteng Putri Hijau wajib dilindungi, dan pengrusakan terhadap benteng ini memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia khususnya Deli Serdang menunjukkan perhatian minim terhadap pelestarian situs sejarah. “Ini akan membuat citra pemerintah semakin jelek” ucap Mc Kinnon.

Sebagaimana diketahui bahwa, McKinnon merupakan arkeolog yang pertama sekali meneliti tentang Benteng Putri Hijau dan diikuti kemudian oleh John Norman Miksic pada tahun 190-an. (rmd)

sumber

Filed Under: Seni dan Budaya Tagged With: benteng putri hijau, karo

Kedai Kopi dan Televisi

6 June 2011 by karo Leave a Comment

Pulumun P. Ginting, M.Sn.

Oh…Turang

Oh…mbiring Manggisku

Mbiring-Mbiring

Seh Kal Jilena

(Mbiring Manggis – Tumtam)

Sepenggal lirik lagu pop Karo yang sangat populer dan bahkan tidak seorangpun di Karo tidak mengenal jalinan nadanya. Saya terduduk di salah satu kedai kopi dan tidak seorangpun yang tidak mengenal kata globalisasi. Kepopuleran globalisasi mendesak masuk dalam kedai kopi, seperti nada-nada Mbiring Manggis. Saat ini, Karo telah menjadi bagian dari masyarakat global dan bahkan tidak menutup kemungkinan nada-nada globalisasi menjelajah, hingga sudut yang tak terlihat di Karo.

Hadirnya televisi di kedai kopi menjadi tak hanya hiburan, tetapi juga ikut menggerus ingatan akan jalinan nada-nada indah dari pop Karo. Disinilah, di kedai kopi inilah, kedai kopi dan televisi menjadi gambaran pertempuran globalisasi dan tradisi.

Sentuhan budaya global dan budaya lokal telah menjadi persoalan kita saat ini. Saya sebagai seorang seniman musik memahami, ada kebutuhan dari tradisionalitas untuk bersaing dalam kompetisi pasar musik populer saat ini. Mike Featherstone mengatakan, ketika budaya lokal terintegrasi dengan budaya global, dia turut terintegrasi ke dalam struktur yang lebih bersifat impersonal. Di dalamnya pengaturan pasar atau administrasi dijaga oleh elit-elit nasional atau para profesional dan ahli lintas budaya yang mempunyai kapasitas untuk mengenyampingkan proses pengambilan keputusan lokal dan menentukan nasib lokalitas. Kondisi ini menggiring kita untuk secara jelas memahami, globalisasi akhirnya membuat masyarakat lokal yang tadinya komunal menjadi individual.

Dari segi musik, dulu musik-musik Karo dikenal sebagai bagian dari musik seluruh masyarakat Karo. Ketika kita bicara tentang musik pop Karo, kita akan bicara tentang siapa pencipta, terutama penyanyinya. Seperti inilah gambaran globalisasi. Kita tidak lagi duduk dalam kedai kopi untuk bicara tradisi, tetapi aksi-aksi televisilah yang menjadi pusat narasi. Televisi bukanlah setumpuk benda mati, di dalamnya terdapat ideologi globalisasi yang menyiarkan individuasi. Pengaruh globalisasi yang menghantam tradisi akhirnya memaksa kita untuk lebih sering berbincang tentang ekonomi. Musik pop Karo pun hanya menjadi “kertas dinding” tanpa isi tradisi, karena dihantam oleh televisi yang menjadi bagian dari globalisasi, ekonomi dan individuasi.

Jean Baudrillard (1990) mengatakan, anda adalah layar dan televisi sedang menonton anda. Bahkan Idi Subandy Ibrahim menganggap televisi adalah contoh mesin konstruksi citra dipanggung selebriti. Dia memungkinkan semua ranah kehidupan dan budaya, menjadi produk tontonan di dalam masyarakat, tidak terkecuali kematian, terutama kematian selebriti.

Baru-baru ini masyarakat Karo telah terbius oleh berita dari Inggris yang didapatnya dalam televisi. Kedai kopi belum lagi sempat untuk mengingat tradisi sendiri karena ruang-ruangnya diisi oleh kemewahan dan glamornya prosesi pernikahan kerajaan Inggris yang dikemas bak selebriti.

Pernyataan dari Baudrillard sangat mungkin terjadi di masyarakat kita. “Televisi sedang menonton anda”, dalam hal ini kita bisa menjadi yang asing ketika kita tidak berbicara apa yang ada di televisi tadi. Seseorang dapat dianggap tidak mengikuti zaman ketika tidak menonton televisi, sepeda motor baru bisa jadi kuno, hp canggih bisa jadi bahan diskusi, Julia Perez bisa jadi teman catur dan perkembangan politik yang mutakhir menjadi akhir dari buah bibir. Siapa lagi tidak bicara televisi di kedai kopi kini?

“Ula rusursa ndedah nakku!!!”. Masyarakat Karo sebenarnya telah memahami, televisi mengganggu aktivitas keseharian putra-putrinya dalam belajar. Televisi memiliki kekuatan lebih besar dari itu. Lebih telanjang dari yang telanjang, lebih cantik dari yang cantik, lebih merdu dari yang merdu dan lebih terkenal daripada yang terkenal. Jadi, bagaimana televisi kemudian menjadi bagian dari kedai kopi? Masalah atau hiburan?

Tanpa televisi tidak ada kedai kopi. Saya hanya membayangkan seandainya saya tidak mengikuti trend dari televisi, gaya hidup dari televisi dan apa yang benar menurut televisi, siapakah saya di kedai kopi? Saya tidak tahu juara dunia dalam piala dunia 2010 lalu, kawan saya bilang Spanyol. Apa yang dia bayangkan tentang saya? Saya seorang seniman musik dan saya tak perduli sepakbola, tetap saja mereka bicara Briptu Norman dengan musiknya yang begitu terkenal kini. Apakah saya bukan lagi seorang seniman musik yang tidak paham musik karena tidak menonton televisi? Siapa kita di kedai kopi seandainya televisi itu mati?

Televisi dan kedai kopi. Terbayang emosi yang sama digiring oleh televisi ketika Spanyol jadi juara dunia, caya-caya didendangkan oleh pedangdut dari kepolisisan negeri ini dan layaknya ketika kita bersama dalam irama Mbiring Manggis.

Inilah desa global yang diutarakan Marshall McLuhan, kecenderungan yang pesat dari media cetak, hingga media elektronik berkembang menyatukan budaya-budaya dunia. Tidak hanya masyarakat Karo yang merasakan Spanyol menjadi juara dunia, tidak hanya masyrakat Karo yang terlena dengan irama caya-caya. Apakah masih ada kekaroan yang tersisa, ketika kita menjadi bagian dari desa global?

Disinilah keunikan yang masih tersisa ketika berbicara Karo, kedai kopi dan tradisinya. Masih ada kekerabatan yang dapat menjadi filter dari kuatnya arus globalisasi. Seperti halnya bangsa lain di dunia, masyarakat Karo juga mempertahankan sistem kehidupan keluarga dengan membuat nama keluarga. Nama keluarga dipertahankan dengan cara mencantumkannya di belakang nama. Nama keluarga ini disebut merga (untuk laki-laki) dan beru (untuk perempuan), yang diwarisi secara turun-temurun berdasarkan patrilineal (garis keturunan berdasarkan ayah), tapi masyarakat Karo juga tidak mengabaikan garis keturunan Ibu.

Sistem kekerabatan masyarakat Karo mau tidak mau harus memahami tentang sangkep nggeluh (kinship) pada merga silima, karena dalam setiap pelaksanaan adat istiadat yang berperan adalah sangkep nggeluh. Pusat dari Sangkep nggeluh adalah sukut, yaitu pribadi atau keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru dan kalimbubu-nya.

Dalam melaksanakan upacara adat tertentu seperti perkawinan, kematian, memasuki rumah baru dan lain-lain, sangkap nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut dalam acara itu. Misalnya dalam perkawinan, sukut adalah orang yang kawin beserta orang tuanya, dalam acara adat kematian sukut adalah janda atau duda dan anak dari yang meninggal (keluarga dari orang yang meninggal). Atau dalam acara memasuki rumah baru (mengket rumah) sukut adalah pemilik rumah baru.

Terkait dengan patrilineal, kedai kopi menjadi ajang dari pertemuan putra-putra Karo. Pernah dalam suatu perbincangan kedai kopi, seseorang dapat duduk lama karena pewrtemuannya dengan seorang kerabat yang masih semarga. Mereka bercakap tentang apa dan siapa mereka. Kedai kopi menjadi tempat bertemunya cerita atas apa-apa yang telah dilalui. Dia menjadi arena kabar kelahiran, cerita pernikahan dan berita kematian. Lebih dari sekedar kumpul-kumpul, main-main dan senda gurau. Bahkan dirinya adalah sebentuk universitas non-formal bagi masyarakat Karo.

“Pindo tehndu ma …”

“Pindo tehndu pa …”

“Pindo tehndu mpal …”

“Pindo tehndu silih …”

“Pindo tehndu kila …”

Sapaan ini tidak membedakan siapapun yang datang ke kedai kopi, baik kelas, jabatan dan apapun perannya di masyarakat. Disinilah kekuatan kekerabatan Karo dapat terlihat. Seorang profesor bisa berbicara sebagai Sembiring, seorang petani bisa berbicara sebagai Ginting, seorang seniman bisa berbicara sebagai Tarigan, seorang anggota dewan yang terhormat bisa berbicara sebagai Perangin-angin dan bahkan seharusnya seorang bupati bisa bicara sebagai Karo-karo.

Apakah karena televisi kita kemudian membedakan mereka dalam perannya? Bagaimanakah seharusnya kita memandang mereka dalam era globalisasi? Bukankah mereka seharusnya tetap sama di kedai kopi. Nyatanya kedai kopi telah menjadi arena baru bagi pergumulan kepentingan akan kuasa. Kampanye politik seakan menjadi penting dari pada silaturahmi dan “minum kopi”.

Kedai kopi saat ini tidak hanya ruang 6 x 8 meter, meja-kursi, sekumpulan roti kering, kaleng susu dan tumpukan gelas-gelas. Salah satu anak ajaib industrialisasi yang ada di kedai kopi adalah televisi, bahkan menurut Idi Subandi Ibrahim, televisi sebuah kotak ajaib yang ditempatkan secara khusus. Disanalah satu ruang keseharian kita. Da merupakan hasil produk kemajuan teknologi yang paling banyak memperoleh “gelar kehormatan”, seperti “jendela dunia”, “kotak dungu” dan yang pada gilirannya telah membentuk “pseudo environment” atau lingkungan semu. Hal ini berarti kita tidak berhadapan dengan informasi ansich tetapi merupakan kebudayaan yang telah dipaketkan, baik tentang gaya hidup, realitas kelas-kelas sosial dan nilai-nilai global. Bagaimana kita akan mempertahankan tradisi ketika televisi menjadi santapan sehari-hari?

Pada akhirnya, Mbiring manggis kembali membawa saya pada romantisme klasik akan indahnya tradisi. Jalinan nadanya menggiring saya untuk memaknai pergumulan globalisasi dan tradisi. Kedai kopi, ruang-ruang bagi kelokalan dan televisi ialah seperangkat media global. Dalam pandangan saya, kedai kopi mampu menjadi ruang bagi harmoni akan perbedaan yang didapat dari kekerabatan lokal dan budaya global yang disemai melalui televisi. Karena bagi saya seharusnya yang ada adalah “Televisi dalam Kedai Kopi, bukan Kedai Kopi dalam Televisi”.

sumber

Filed Under: Seni dan Budaya Tagged With: kalak karo, lagu karo

Deleng Kuta Gugung

1 March 2011 by karo 1 Comment

Turi-turin Deleng Kuta Gugung

Ituriken : Nini Riodes br Tarigan Tambak

Nini Riodes br Tarigan TambakI daerah deher Kuta Jurung, Deli Serdang, lit me sada perjuman gelarna Deleng Kuta Gugung. Duapuluh tahun si lewat, ope denga perjumaan e langa jadi perkebunen, adi gelari “gundur’ biasana minter reh udan. Emaka adi merdang kenca ibas daerah e, biasana enggo ipersingeti orang tua gelah adi mindo gulen ula gelari gundur, erkiteken adi merdang kebiasaan daerah e gulenna biasana gundur ras dantis (sarden). Adi gelari gundur ugape nusur udan, lanai banci ngerdangi juma, entah pe nuan page. Uga maka bage banci terjadi ? Kepeken lit turi-turinna si cukup populer daerah sekitar enda. Turi-turinna bagenda, bagi sini turiken Nini Tigan Riodes br Tarigan.

Hio.., nai ningen ibas sada kuta si kitik denga, lit me ije tading sekalak perbapan ras ndeharana, anakna dua kalak diberu. Sinuan-nuannna pe mbuah kerina rikut pe rubia-rubia ni asuh pe merih kerina. Babi, manuk, bagepe lembu na enggo pe mbue. Anak-anak pe sehat-sehat kerina. Namun bage gia lit denga si kurang akap bapa tengah jabu, erkiteken anak ni pupus langa lit dilaki. Amin seri nge penatapku kerina anak-anak e nina, tapi langa akapna kuh adi langa lit pupus dilaki. Kenca enggo mbages iukuri perbapan ndai, ibas sada berngi pesehna me sura-surana man ndeharana. “Sentabi kel aku man bandu, adi banci min ijin kenndu ka aku erjabu, gelah banci lit pupus ta dilaki.”. Kira-kira bagem isi pusuhna iturikenna man ndeharana. Tapi uga pe penurikenna, lalap sa senang ndeharana. Padahal enggo iturikenna maka labo pagi urak atena kelang nandangi ndeharana e. Tujunna hanya gelah ndatken anak dilaki saja. Emaka labo dalih man bana ras diberu siapai pe erjabu, termasuk diberu kawan. Enggo pe piga-piga kali pesehna man ndeharana, tapi lalap la senang ndeharana.

Ibas sada berngi, erkiteken enggo keri beras, emaka suruh perbapan ndai me ndeharana singuda nutu page ku lesung. Igum-gumna (bedong) anakna, tamakenna bas jole-jole. Erkiteken perasaan nembeh bas ndehara sintua ngutkut denga bagi api bas kedep, emaka dalankenna sura-surana si jahat. Ibuatna gundur, igum-gumna ka, emaka tamakenna kubas jole-jole ndai, dingen anak dilaki ndai ibabana ku pudi rumah. Bagi biasana berngi ndehara sintua erbahan lambuk babi, emaka erkiteken nembehna atena, ilambukkenna me anak di dilaki ndai.

Turah perasaan curiga ibas ndehara singuda ndai, engkai maka bage dekahna la tangis anakku ndai atena. Emaka nehenna me kubas jole-jole anak ndai, idahna denga je gum-gumen. Bukana gum-gum ndai, tapi enggo gundur ibas. Seh kel ia senggetna. Kuja nge ndia anakku ndai atena. Erkiteken enggo daramina tapi lalap la jumpa, serko ngandung me ia. Sengget pe perbulangenna. “Engkai maka kam ngandung?”, nina. Emaka iturikenna maka anakna lanai idahna, anakna enggo salih jadi gundur. Ibas berngi e pe idarami anak ndai ku ingan-ingan dideban, tapi lalap lanai teridah.

Lanai bo tertunduhken ndeharana singuda ndai ibas berngi e, erkiteken anakna ndai lalap ibas ukurna. Emaka enggo kenca terkuak manuk sipeduaken, ope langa ndarami anakna, berena lebe babina man. Iangkatna lambuk ndai, emaka tamana kubas pelangkah. Sanga tamana lambuk ndai ku pelangkah, babi pe la pet man. Engkai maka la pet man babi enda atena, emaka pernehenna lambuk ndai, enggo kepe ije teridah bites, tan, si enggo melumat kepeken itek-teki ndehara sintua. Erkiteken senggetna ndehara singuda ndai ngidah bage rupana, emaka sadar ia maka anakna ndai enggo kepe imutilasi. Emaka minter entamkennda daging kubas pelangkah ndai. Tempaskenna bana kubas pelangkah ndai rikut ras atena ceda.

Bage tempaskenna dagingna ku pelangkah, rikut perkas pe erkilap sumagan. Pernanden ndai, bagepe pelangkah ras gera-gera babi si biasa ipakena sanga mbere babina man, rempet ngobah jadi batu. Ngidah sibagenda rupana, tuhu-tuhu kel perbapan ndai pe labuh ras sedih ukurna. Ia pe sadar engkai maka e banci terjadi, erkiteken la senang ndeharana erkidua. Kenca kejadin e, emaka ibas ingan e pelangkah e, bagepe takal anakna si enggo jadi batu, rikut pe ras ndeharana singuda enggo jadi batu, tetap la lit kalak si pang mindahkenca. Batu e she gundari banci denga inehen ibas daerah e. Amin gia gundari lanai lit ije kuta. Khusus ingan batu e, pernah ikeramatken kiniteken sindekah. Menurut tua-tua sindekah, adi pindahken batu e kuteruh deleng e, pasti pindah ka mulihken ku datas. Bagepe adi diloken ‘gundur’ uga pe minter udan wari e, sebagai simbol kesedihen ndeharan sipeduaken nginget kejadin e. Bagepe menurut kebiasaan ibas daerah enda, adi enggo ergeruh Deleng Kuta Gugung, ugape biasana udan wari. Tradisi sibagenda rupana ndekah nggeluh idaerah enda.
(Julianus Limbeng).

Sumber : Julianus Limbeng

Filed Under: Turi Turin Tagged With: turi-turin karo

  • « Go to Previous Page
  • Page 1
  • Interim pages omitted …
  • Page 6
  • Page 7
  • Page 8
  • Page 9
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • La Kudiate
  • Percian
  • Rudang Rudang Sienggo Melus
  • Sayang
  • Nokoh

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2025 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home