• Skip to primary navigation
  • Skip to main content
  • Skip to primary sidebar

Portal Berita Karo

media komunikasi Taneh Karo, sejarah budaya Karo.

  • Home

Deleng Kutu, Hati-hati dengan Cabai Rawit

13 October 2011 by karo 2 Comments

Anda mungkin pernah mendengar hewan kecil yang gatal bernama kutu. Nama binatang penghisap darah ini rupanya menjadi salah satu nama gunung di Tanah Karo, Sumatera Utara. Persisnya di Desa Guru Singa, Kecamatan Berastagi, Gunung Kutu tidak kalah uniknya dengan sejumlah gunung populer lainnya yang berada di Tanah Karo.

Padahal gunung ini tidak setinggi Sibayak dan Sinabung, namun panorama alam yang dimilikinya cukup mempesona. Deleng Kutu, demikian masyarakat lokal menyebut gunung yang memiliki ketinggian sekitar 1.300 mpdl ini. Dilihat dari kejauhan, deleng (gunung dalam bahasa Karo) itu memang mirip kutu. Mungkin itulah sebabnya masyarakat sekitar menyebutnya Gunung Kutu.

Dalam pendakian gunung yang memiliki tantangan tersendiri ini, aku bersama Esra Surbakti, Rian Ginting dan Jhon Ginting mengawali perjalanan dari sebuah desa di sekitar kaki gunung, Desa Lingga Julu. Perjalanan yang dimulai sejak sore hari itu dibayang-bayangi mendung dan kabut. Setelah beberapa puluh menit berjalan selepas Desa Lingga Julu, kami sudah menyaksikan permukaan Gunung Kutu. “Memang mirip kutu ya?” celetuk Rian sambil menunjuk ke sebuah gundukan hijau kebiruan yang masih terlihat kerdil di hadapan kami.

Sejenak kami berhenti memandangi gunung imut itu. Sembari mengabadikan gunung, beberapa teman melototi kerumunan sapi yang sedang melahap rumput. Mungkin mereka jarang menemukan suasana seperti ini di kota, pikirku. Perjalanan dilanjutkan ke Desa Guru Singa. Di jantung kampung ini, terdapat sebuah rumah adat Karo yang kondisinya cukup memprihatinkan. Kami berupaya masuk ke rumah siwaluh jabu (delapan keluarga) itu melalui jendela yang hampir ambruk. Kondisi dalam rumah adat yang dulu dihuni delapan keluarga ini kayak kapal pecah. Di sana-sini terlihat onggokan pakaian dan barang bekas yang sudah kumuh. Menurut salah seorang warga, sejak sepuluh tahun silam rumah peninggalan nenek moyang orang Karo tersebut memang sudah kosong lantaran keluarga yang dulu menghuninya sudah pindah.

Sejak itu, tidak ada upaya Pemkab Karo mengkonservasi bangunan tradisional ini sebagai salah satu situs pariwisata yang tidak ternilai harganya. Pintu Rimba. Puas menyaksikan kehancuran siwaluh jabu, perjalanan dilanjutkan ke pintu rimba. Tapi gerimis sudah mendahului kami sebelum sampai di pintu masuk itu. Di sinilah kami ditantang memanjat betis gunung setinggi 2,5 meter. Berhasil melewati tantangan ini dengan bantuan akar pohon, kami menemukan jalur yang cukup menantang pula. Jalur pendakian ke Gunung Kutu memiliki medan yang lumayan sulit.

Betul kata sesepuh pendaki gunung, semua gunung itu unik dan memiliki medan yang tantangannya berbeda. “Jadi jangan pernah menganggap remeh sebuah petualangan,” itu pesan yang kuterima. Teman-temanku rupanya terkecoh dan masing-masing mulai memberikan penilaian baru terhadap misi pendakian ini. Sebelumnya ada kesan sepele dari mereka. “Tadi kita kira gampang, rupanya jalurnya bikin sesak napas juga ya?” kata seorang teman dengan napas memburu. Hampir mencapai puncak, kami tertipu lagi. Rupanya sebuah ketinggian yang kami temukan adalah “puncak palsu”. Meski gunung ini terlihat kecil, tapi kecil-kecil cabai rawit juga.

Di puncak tipuan itu, kami hampir tersesat. Untunglah seorang teman buru-buru menemukan jalur yang mengarah ke kanan dan menuju puncak yang sesungguhnya. Lima menit menyusuri jalan tersebut, kami menemukan sebuah pilar yang konon didirikan oleh Belanda. Berada di puncak Gunung Kutu seperti berada di taman. Terasa asyik karena puncaknya dilengkapi tempat duduk yang terbuat dari batu. Pilar dikelilingi tempat duduk batu dan terdapat lokasi untuk mendirikan tenda. Selain itu kami menemukan sisa-sisa ranting terbakar yang berserakan. Mungkin baru saja ada orang yang membuat api unggun, pikirku. Setelah puas beristirahat di puncak, kami menembus padang ilalang setinggi 2 meter.

Dari sana terdapat satu tempat yang cozy untuk nongkrong. Dari ketinggian itu, Kota Kabanjahe tampak berkilat-kilat di bawah. Juga terlihat permukaan Gunung Sibayak dan Sinabung, dua ikon Tanah Karo yang sudah melegenda hingga mancanegara. Sempat Terpelanting Di puncak, senja menggairahkan alam. Burung-burung tidak berhenti berkicau. Angin senja terasa lembut menyapu kulit. Kami betah berada di sini. Alam akrab menyapa dan menjadi saksi bisu sebuah persahabatan. Di gunung inilah kami abadikan persahabatan itu.

Damai di sana, sedamai alam bila hutan dan ekosistemnya dilestarikan. Sangat disayangkan, sebagian tubuh gunung mulai ditanami penduduk. Hampir satu jam di puncak, kami kembali menuruni lereng Gunung Kutu. Karena jalannya licin, beberapa kali kami jatuh terpelanting. Tapi berkat bantuan akar-akar pohon yang tersebar di sepanjang jalur, pendakian berhasil diakhiri sekitar pukul 19.00 WIB tanpa ada yang cedera. Dari pintu rimba, rombongan kecil ini menyusuri jalan pedesaan ke Simpang Korpri selama hampir 1 jam. Simpang ini berada di Jalan Jamin Ginting yang menghubungkan Kota Kabanjahe-Berastagi. Dari sana kami menuju Kota Berastagi dan menikmati jajanan malam di kota pariwisata itu. Bagiku, ini sebuah perjalanan penuh kenangan. Tidak akan bisa kami lupakan. (insidesumara)

Filed Under: Pariwisata Tagged With: deleng kutu, pariwisata karo

Gemuruh Cinta di Puncak Sibayak

13 October 2011 by karo Leave a Comment

Ada dua jenis cinta yang selalu tumbuh di puncak Sibayak. Yang satu adalah cinta yang mekar di hati pasangan-pasangan muda yang mendakinya. Yang kedua, cinta yang tumbuh pada Sang Maha Pencipta segala keindahan yang terhampar di segala arah pegunungan dan lembah. Bagi Kabupaten Karo, di Sumatera Utara (Sumut), Gunung Sibayak bisa dikatakan sebagai mata kalung semua kegiatan wisata. Menjadi pengait bagi sebagian besar objek wisata yang ada di kabupaten itu. Pemandian air panas, udara sejuk, kegiatan pertanian dan panorama di puncak gunung.

Ada empat jalur yang dapat ditempuh untuk mencapai Sibayak. Jalur pertama melalui Bumi Perkemahan Sibolangit di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Jalur ini membutuhkan waktu tempuh sekitar 15 jam paling cepat. Medannya lumayan berat. Jurang-jurang akan sering ditemui dan tanjakan-tanjakan curam. Sementara longsoran tanah kerap terjadi. Jalur ini tercatat sering menelan korban jiwa. Informasi lain yang terdengar dangerously beautiful adalah kawasan Sibayak sebagai kuburan pesawat. Karena beratnya medan lintasan serta jarak tempuh yang lama, maka hanya sedikit saja yang melalui jalur ini. Dalam setahun, paling hanya dua atau tiga tim pendaki yang menantang kekejaman khas alam di sana. Meski sangat kejam, namun justru pemandangan terbaik ada di lintasan ini. Para pendaki survival sangat menyenangi pendakian Sibayak dari Sibolangit.

Tumbuhan survival yang dapat dimakan dalam keadaan darurat, banyak dijumpai di jalur sulit ini. Sebutlah misalnya asparagus, rambutan hutan, maupun rotan-rotanan. Jejak-jejak binatang liar seperti babi hutan, rusa maupun beruang masih mudah ditemukan. Namun pacet juga banyak. Lintasan kedua disebut Jalur 54. Dinamakan Jalur 54 karena posisinya persis di depan batu penanda kilometer yang menunjukkan jarak 54 kilometer dari Medan. Lokasinya berada di Desa Doulu II, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, tak jauh dari kawasan Penatapan, tempat bakaran jagung. Jarak tempuh ke puncak diperkirakan antara empat hingga enam jam. Dibandingkan jalur dari Sibolangit, jalur ini jauh lebih mudah. Tapi hati-hati! Meskipun lintasannya tampak jelas, kemungkinan tersesat cukup besar, karena banyaknya cabang jalur. Rute ketiga melalui Desa Raja Berneh. Sepanjang jalur ini, pemerintah setempat sudah membuat takik-takik anak tangga. Kemungkinan tersesat relatif kecil, tetapi pemandangan terlalu monoton. Waktu tempuh pendakian sekitar tiga jam. Jalur ini disebut sebagai jalur wisata. Rute terakhir adalah melalui Desa Jaranguda, Kecamatan Simpang Empat, tidak jauh dari Pasar Buah Berastagi. Dari sini, jalanan sudah diaspal mulus hingga satu kilometer menjelang puncak.

Anda dapat menyewa angkutan menuju ujung jalan. Kemudian melanjutkannya dengan berjalan kaki ke puncak. Jalur ini bisa dikatakan sebagai jalur keluarga. Dari Jaranguda, terdapat pos pengutipan retribusi. Pemandangan di kiri dan kanan jalan didominasi sajian hutan tropis. Di sini matahari muncul silih berganti bersama gerimis. Kadang-kadang cahaya menembus batangan pohon yang menjulang tinggi, dan di beberapa tempat, terdapat panorama pucuk-pucuk pepohonan yang menyerupai permadani hijau.

Asap Putih Solfatara Setelah mencapai ujung aspal dari Desa Jaranguda, jalur pendakian akan melalui anak tangga. Pada beberapa bagian, anak tangga sudah hancur akibat tertimbun longsor maupun karena lapuk dimakan usia. Aroma belerang yang ditiupkan angin mulai tercium sekitar 15 menit sebelum anak tangga terakhir. Suhu turun hingga sekitar 20 derajat celcius. Dalam beberapa langkah berikutnya, akan tercium aroma belerang yang bersumber dari solfatara, sumur belerang. Kini, nikmatilah sajian alam Gunung Sibayak yang mempesona itu. Dinding-dinding kawah yang menghitam mencirikan kekokohannya, berpadu dengan pohon-pohon perdu yang hanya hidup di ketinggian. Pada bukit-bukit batu yang mengelilingi kawah, tersebar sekitar 20 solfatara, yang terus menerus menyemburkan belerang. Suhu panasnya bisa mencapai 119 derajat celcius. Selain mengepulkan asap putih, sumur-sumur belerang itu juga memperdengarkan bunyi gemuruh. Warna kekuningan di sekitar semburan menandakan kandungan belerang yang tinggi. Karena proses biologis dan kimia, bebatuan di sekelilingnya menunjukkan ragam warna yang harmonis.

Persis di pusat semburan, batu berwarna kuning. Sejauh 30 sentimeter hingga dua meter dari pusat semburan, batu berwarna perak. Dan tiga meter dari pusat semburan akan terlihat batu yang tidak terkontaminasi belerang dengan warna dasar hitam, merah, jingga atau batu kapur berwarna putih. Semburan belerang terbesar berada di dalam kawah Sibayak. Kawah itu berbentuk bulat dengan diameter sekitar 200 meter persegi. Kedalaman dari sisi kawah paling terendah, yakni dekat tiga batu besar yang salah satunya seukuran kerbau, sekitar 30 meter. Dari tiga batu besar itu, Anda dapat melihat keseluruhan pemandangan di dalam kawah Sibayak. Namun untuk merekam gambar dengan kamera, butuh kesabaran.

Kabut sering mengganggu pandangan. Ada beberapa jalan turun ke kawah yang menuntut kehati-hatian secara ekstra. Di dalam kawah, terdapat batu-batuan yang disusun oleh pendaki yang telah dinamai sesuai nama diri atau nama organisasi. Jika sedang berada di kawah pada hari Minggu pagi, maka Anda dapat menyaksikan atraksi kegiatan menyusun huruf demi huruf pada kawah itu. Hari Sabtu dan Minggu merupakan peak season pendakian, terutama pada musim liburan. Pelajar dan mahasiswa umumnya sudah memasang tenda sejak Sabtu siang. Sementara pelancong yang tidak bermalam, datang pada Minggu pagi. Setiap minggunya rata-rata 300 orang melakukan pendakian hingga ke puncak. Menjelang pukul lima Minggu pagi, hampir semua pendaki keluar dari tenda menunggu matahari terbit. Pada saat seperti ini, suhu dingin lebih menusuk tulang. Hilang Walau terkesan aman sebagai objek wisata, tetapi Sibayak menyimpan satu misteri tersendiri. Ada sejumlah orang yang tercatat hilang atau meninggal dunia akibat terjatuh maupun penyebab lain.

Di pintu masuk pendakian dari Desa Jaranguda, terlihat nama-nama pendaki yang hilang. Pada tahun 1983, dua profesor Amerika Serikat hilang dalam pendakian, dan mayatnya tidak ditemukan sampai hari ini. Pada tahun 1986, seorang warga Amerika Serikat lainnya, John Sanders, sempat dinyatakan hilang. Dia ditemukan kembali dalam keadaan hidup lima hari berikutnya. Sementara pada tahun 1989 seorang warga Swedia, Steven Herbet, ditemukan meninggal dunia. Pada tahun yang sama, Paijs JA Hubertus, seorang warga Belanda, ditemukan jenazahnya tujuh bulan kemudian. Dunkel Wolfgang, warga Austria, baru ditemukan jenazahnya pada tahun 1995, dua tahun setelah dia dinyatakan hilang. Dua warga Jerman, Christina Ecorn dan Hasn Jorgeichorn yang hilang tahun 1997 belum ditemukan hingga kini. Dan masih pada tahun 1997, tiga warga Jerman lainnya, Uwe Fisher, Annete Strauber dan Anne Finn, dinyatakan hilang, meski dapat ditemukan dalam keadaan selamat tiga hari kemudian.

Sekelompok pecinta alam lokal dari Medan juga pernah mengalami musibah di jalur Sibolangit, dan salah seorang di antaranya meninggal pada tahun 2006 lalu. Belasan bangkai pesawat dan helikopter juga pernah ditemukan di kawasan ekosistem Sibayak. Makanya gunung ini identik dengan istilah dangerously beautiful mountain. Masih Aktif Gunung Sibayak, atau kadang juga disebut Gunung Rangkap Sibayak di Kabupaten Karo, merupakan gunung berapi aktif yang masuk dalam golongan tipe B, yakni gunung yang tidak pernah meletus dalam 400 tahun terakhir.

Catatan menunjukkan, gelegak magmanya terjadi pada tahun 1600, atau 407 tahun lampau. Tidak ada informasi mengenai korban jiwa maupun lainnya. Dari tiga gunung berapi yang ada di Sumatera Utara, Sibayak merupakan gunung yang paling rendah. Di urutan pertama adalah Gunung Sinabung yang juga berada di Kabupaten Karo, dengan ketinggian 2.451 meter dari permukaan laut (mdpl). Kedua, Gunung Sorik Marapi di Kabupaten Mandailing Natal dengan ketinggian 2.145 mdpl. Sibayak sendiri tegak dengan ketinggian 2.094 mdpl. Namun gunung ini unggul dalam keindahan panorama. Gunung Sibayak memberi banyak manfaat di kawasan sekitarnya. Pertanian yang subur menjadikan Kabupaten Karo sebagai penghasil buah dan sayur andalan.

Pengaruh vulkaniknya juga turut mendorong Sumatera Timur (istilah zaman kolonial untuk Sumatera Utara) melaju pesat menjadi daerah perkebunan paling produktif di Indonesia hingga sekarang. Belerang di kawah Sibayak pernah diambil penduduk untuk dijual. Namun kini sudah tidak lagi karena tiadanya penampung. Sementara air panas yang muncul melalui retakan di daerah selatan lereng Gunung Sibayak menjadi objek wisata pemandian air panas dan andalan mata pencarian warga, terutama di Desa Raja Berneh, Semangat Gunung, dan Doulu. Selain menyuplai air bersih untuk Kota Medan dan sekitarnya, ekosistem Sibayak juga mengeluarkan panas bumi yang kini dimanfaatkan PT Pertamina Area Geothermal Hulu (AGH) Sibayak sebagai pembangkit listrik tenaga panas bumi. Lokasi pembangkitnya berada di Desa Raja Berneh, sekitar 11 kilometer sebelah utara Berastagi. Sejak Februari 2001, sepuluh sumur panas bumi sudah selesai dibor. Sumur-sumur itu terbagi dalam tiga blok yang saling berdekatan.

Beberapa sumur dimanfaatkan untuk menyuplai 2 megawatt setrum bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kapasitas ini masih bisa ditingkatkan karena total cadangan Sibayak diperkirakan mampu membangkitkan energi listrik hingga 40 megawatt Dengan sifat dan perannya yang multifungsi, Sibayak ibarat sumber kehidupan sekaligus kematian bagi manusia dan hewan di sekitarnya. Hanya gemuruh cinta yang dapat membawa seseorang ke atasnya. Cinta pada seseorang, atau cinta pada Tuhan. Nah, selamat mendaki dan menikmati keajaiban Tanah Karo! (insidesumatra)

Filed Under: Pariwisata Tagged With: gunung sibayak

PLN Beli Listrik Dari PLTA

13 October 2011 by karo Leave a Comment

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN persero) menandatangangi perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Aggrement /PPA) dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Wampu, Sumatera Utara yang dikembangkan oleh PT Wampu Electric Power. Wampu Electric Power adalah perusahaan konsorsium yang pemegang sahamnya dimiliki oleh Korea Midland Power Co Ltd (Komipo)-Daewoo Enginerring Co (Daewoo)-PT Mega Power Mandiri (MPM).

Manajer Komunikasi PT PLN, Bambang Dwiyanto mengatakan harga beli listrik dari Wampu oleh PLN sebesar US$7,23 sen per kilowatt hour (kWh). “Kami menyepakati jual beli listrik dari Wampu dengan harga US$7,23 sen, dengan masa kontrak selama 30 tahun”ujar dia melalui keterangan pers nya, di Jakarta, Selasa 19 April 2011.

Dia menjelaskan, PLTA Wampu memiliki kapasitas 3×15 Megawatt (MW), berlokasi di Desa Rih Tengah, Kecamatan kota Buluh, kabupaten Karo, Sumatera Utara. Untuk proses konstruksi, lanjut Bambang, akan segera dilakukan tahun ini juga.”Commercial On Date (COD) nya ditargetkan pada 2014 mendatang,”tuturnya.

Penandatangan PPA dilakukan oleh Direktur Utama PLN, Dahlan Iskan dan Direktur Utama Wampu, Choi Chung Yul, pada 12 April 2011 lalu.(ferial/esdm.go.id)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: listrik, plta

Silat Karo Tergerus Zaman

13 October 2011 by karo 4 Comments

Kita mengenal silat tidak hanya sebagai teknik bela diri asli Indonesia, tetapi pula sebagai unsur penting dalam kebudayaan suku-suku, selain tari-tarian dan musik. Bahkan dalam beberapa hal, dua hal itu senyawa dengan silat. Dalam adat Minangkabau misalnya, silat merupakan elemen yang selalu hadir dalam setiap perhelatan adat, seperti dalam acara pinangan. Bahkan bagi mereka itu hal yang sakral. Serupa dengan seni bela diri lainnya, silat Minangkabau sendiri tercipta karena konteks kebiasaan masyarakatnya. Kaum pria Minangkabau memiliki tradisi merantau ke luar lingkaran asalnya. Dalam logika kealamian agar tetap dapat bertahan hidup dalam dunia yang cenderung keras, membela diri dari gangguan dan bahaya lainnya adalah keharusan. Termasuk tentu saja peran pesilat Minangkabau dalam menghalau penjajah di masa lalu. Peran yang satu ini juga ada di setiap daerah di era revolusi silam. Pada saat yang bersamaan logika internal yang hadir adalah kewajiban untuk mewariskannya kepada anak dan cucu. Salah satu cara tentu saja dengan menghadirkan perguruan atau sanggar silat di kampung halaman. Dikombinasikan dengan elemen pendidikan lain misalnya agama, silat menjadi entitas penyokong keabadian tradisi suku.

Di sisi lain bela diri merupakan bagian tidak terpisahkan dari tradisi kemiliteran dan sudah lama diterapkan. Sebab, bela diri diajarkan sebagai pendidikan militer. Jepang misalnya memasukkan Karate sebagai bahan ajar pendidikan militer yang pada gilirannya memungkinkan mendunia, menjadi salah satu cabang olahraga yang bergengsi. Militer Indonesia, selain silat juga memasukkan Tarung Drajat sebagi seni bela diri kontemporer yang memadukan beberapa seni bela diri yang lain.

Pencak silat atau silat sendiri adalah seni bela diri yang berasal dari Asia Tenggara. Seni bela diri ini secara luas dikenal di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura, Filipina selatan, dan Thailand selatan sesuai dengan penyebaran suku bangsa Melayu nusantara. Berkat peranan para pelatih asal Indonesia, saat ini Vietnam juga telah memiliki pesilat-pesilat yang tangguh. Kini silat sudah mendunia.

Dalam pembicaraan biasa bersama Pemimpin Redaksi Sora Sirulo, Ita Apulina Tarigan beberapa waktu yang lalu saya bertanya bagaimana kondisi Silat Karo sekarang. Pasalnya satu hari sebelum pembicaraan itu, saya tidak sengaja melihat Silat Karo di video musik Karo milik ayah saya. Di saat yang sama pikiranku mengembara kembali ke masa 26 tahun silam. Tatkala itu saya menonton sinema elektronik di TVRI tentang Karo yang adegan ceritanya dibumbui Silat Karo. Yang menarik bukan saja gerakannya yang khas, tetapi kemampuan kanuragan atau metafisik yang memungkinkan sang pendekar berubah wujud menjadi binatang. Silat Karo juga bukan sekadar olah raga bela diri, tapi merupakan seni tari yang indah yang ditampilkan dengan iringan gendang lima sendalanen. Di beberapa kampung di Karo justru mengenal silat karo dengan sebutan tari-tarian. Maka, tidak heran ketika ditampilkan dalam beberapa ajang, tidak ada adegan perkelahian layaknya silat, tetapi hanya memeragakan gerakan-gerakan khasnya.

Setelah pertemuan bermedium televisi itu, saya tidak mencari tahu lagi tentang Silat Karo atau dalam bahasa Karo disebut mayan atau ndikkar itu. Sebagai pemuda urban lainnya, saya lebih sibuk dengan artefak kebudayaan komputer daripada mempelajari adat istiadat Karo. Dalam upaya mencari sisi kenikmatan menonton keyboard Karo melalui video yang mirip teknik Campur Sari, hingga hari ini orang Karo sangat jarang menampilkan Silat Karo di berbagai kesempatan, khususnya berpenciri adat. Saya jarang melihat Silat Karo dalam Kerja Tahun. Saya juga tidak mendapati Silat Karo dalam acara pernikahan (pasu-pasu), termasuk guro-guro aron. Padahal di acara yang satu ini di masa silam Silat Karo wajib ditampilkan. Saya pikir ini masalah besar.

Apa jawaban Ita atas masalah itu? Sebagai pemimpin media komunitas untuk pembaca Karo, menurutnya Silat Karo mulai punah karena sangat sedikit orang Karo yang berminat mempelajarinya. Kalaupun ada yang mampu, ia hanya bisa mempraktikkan sekadarnya saja. Maka tidak heran Silat Karo kini mulai punah. Ita juga sependapat dengan saya bahwa Silat Karo tidak lagi dikenal, karena rendahnya kemampuan publikasi tertulis orang Karo. Maka, dapat dimaklumi kalau sahabat saya tidak percaya kalau Karo punya silat.

Dalam aksi kebudayaan Karo kontemporer, sangat sedikit yang sangat serius memeliharanya sebagai gugus kearifan lokal yang maha penting. Orang Karo sekarang lebih gemar ber-keyboard-ria, ramai-ramai menghaturkan keindahan tari dan musik. Tetapi tentu saja saya memuji keadian suara alat-alat musik tradisional Karo yang lebih memiliki ruh, meresap menembus raga pendengar. Jika di masa silam pendekar Silat Karo memiliki citra istimewa berbanding seniman musik, bagi saya hari ini yang mendapat lebih banyak tepukan tangan adalah “pendekar keyboard”. Jelas, zaman kian menggerus Silat Karo pada titik terendahnya.

Guru Silat Karo memang ada di sebuah kampung jauh di Kabupaten Karo. “Ada satu orang yang masih hidup, tetapi sudah tua sekali usianya. Pipinya saja sudah cekung,” ujar Ita sambil mencekungkan pipinya meniru pipi kempot. Tidak jelas apakah sang guru memiliki murid atau menulis kitab. Yang jelas sepengetahuan Ita, Silat Karo tidak memiliki perguruan. Beberapa ada yang berupaya memeliharanya hanya sebagai elemen kecil dari sanggar seni Karo bersama musik dan tari.

Sora Sirulo beberapa waktu silam juga pernah menelusuri jejak-jejak Silat Karo di Pertumbungen yang beritanya saya kutip dari www.sorasirulo.net. Berita ditulis Caranta dengan beberapa gubahan dari saya demi kepentingan penulis artikel ini. Pertumbungen adalah desa terpencil di Kecamatan Munte, Kabupaten Karo. Desa ini berpenduduk sekitar 300 jiwa dengan 100 KK. Jaraknya sekitar 4 km dari Munte. Di sana pernah tinggal seorang pendekar Karo yang cukup terkenal di era 1970-an hingga 1980-an. Namanya Pa Mayan Surbakti. Like father like son, sang putra, Mayan Surbakti juga piawai ermayan mewarisi “kesaktian” seperti ayahnya. Sang pendekar bukan saja ahli ndikkar dan ermayan, juga sangat tangkas memeragakan alat bela diri modern seperti double stick Bruce Lee. Semasa hidupnya, dia mengikuti banyak olah raga bela diri di luar silat Karo untuk menambah kemampuan bela dirinya.

Menurut salah seorang murid Mayan, dulunya banyak pelatih bela diri yang datang kepada Pa Mayan untuk berlatih. Sebelum berlatih, umumnya mereka mencoba kemampuan mereka dengan Pa Mayan, namun mereka dikalahkan oleh Pa Mayan. Mereka salut, angkat tangan dan berguru kepadanya. Sambil bercerita panjang lebar tentang keberadaan silat Karo di Pertumbungen, mantan muridnya ini memperagakan beberapa jurus yang ia pelajari dari Pa Mayan. Ternyata, di samping ada unsur seni hiburannya, Silat Karo memiliki jurus-jurus maut.

Ita Tarigan bilang ada satu lagi seorang pendekar Silat Karo yang telah melanglang buana mengajarkan ilmunya. Yang satu ini memang belum kempot, masih bertenaga muda tetapi mengaku tidak bisa melenting tinggi akibat faktor usia. Dia punya kitab yang diturunkan ayahnya, termasuk sebuah perguruan. Namun, jangan berpikir ada di tanah kelahirannya. Jangan berpikir muridnya kebanyakan adalah orang Karo sendiri. Siapakah sang pendekar? Namanya Yakinsyah Brahmana, seorang Karo yang lama tinggal di negeri kincir angin. Di sana, tepatnya di Sekolah Kristen Oikumene di Groningen, Yakinsyah mengajar mayan kepada lebih dari 200 siswa sekolah dasar itu.

Seperti yang dikutip dalam dokumentasi berita Sora Mido, Yakinsyah berucap, “Setidaknya lebih dari 200 orang telah belajar ndikkar Karo disini, oleh sebab itu suatu saat bisa saja pandikkar-pandikkar akan datang dari Belanda ini dan kita akan belajar dari mereka.” Wow, saya langsung membayangkan kelak ada beberapa billboard di Padang Bulan berisi ajakan belajar Silat Karo. Ada gambar seorang Belanda di sisi kanannya, seorang guru Silat Karo, hasil godokan Yakinsyah. Ukurannya setinggi billboard itu! Belajar Silat Karo dari orang Belanda tentu saja kenyataan yang menyebalkan.

Bertualang menurunkan ilmu

Yakinsyah sendiri banyak belajar gerakan-gerakan mayan dari beberapa guru mayan Karo sejak tahun 1981 hingga tahun 1992, ketika dia masih berprofesi sebagai tourist guide di Berastagi dan Sungai Alas, Aceh Tenggara. Yakinsyah belajar dari banyak guru di berbagai kampung, seperti Seter Sembiring (Lau Baleng), Pa Kuling-Kuling atau Menet Ginting (Lau Cimba), Pa Johan Barus (Pendekar Buntu), Belat Tarigan (Kaban), Tagok Peranginangin (Lau Buluh), dan berbagai informasi dari Ginting Capah (Beganding), dan Tukang Ginting (Berastagi).

Yakinsyah mendapatkan ilmu Silat Karo dari ayahnya. Ketika masih bocah sang ayah memberikan kepadanya kitab silat buatan ayahnya, berharap sang anak mempelajarinya. Menurut Yakinsyah ayahnya benar-benar paham teori bersilat, tetapi kurang dalam praktik. Untuk itulah sang ayah mencarikannya seorang guru. “Ayah menganjurkan saya belajar Silat Karo supaya saya memiliki rasa percaya diri yang besar. Dengan demikian saya bisa mudah bergaul dengan banyak orang,” jelas Yakinsyah. Berkat kemahirannya bersilat itu pula di masa mudanya ia menjadi lebih dekat dengan noni-noni Belanda.

Yakinsyah Brahmana

Berdasarkan pengalamannya dari tokoh-tokoh pendekar Karo tersebut, Yakinsyah juga telah menampilkan mayan di berbagai ajang pertunjukan seni di Eropa, misalnya di Pasar Malam Den Haag, Tong-Tong Fair, Zundert, dan sebagainya. Dengan pengetahuannya tersebut ia diminta mengajarkan mayan sejak tahun 2002 di sekolah. Setiap semester ada sekitar 15 orang peserta. Setidaknya beberapa jurus Silat Karo ia ajarkan kepada para murid di sekolah orang Belanda tersebut, seperti jurus pertahanen, langkah 2, langkah 7, tare-tare bintang, jile-jile sarudung, pertahanen harimau, pertahanen pedi, dan sebagainya. “Sebenarnya ada 48 jurus mayan, setidaknya para siswa sudah dapat buang lepas,” kata Yakinsyah seperti yang dikutip dari Sora Mido.

Di Belanda Yakinsyah mengaku tidak terlalu dekat dengan media yang memungkinkan dia memperluas pengaruh Silat Karo di sana. Dengan segala kerendahan ia mengakui inilah kelemahan pribadinya. “Diwawancarai oleh media lokal belum pernah saya lakukan, karena inilah mungkin kekurangan karakter saya sendiri yang tidak pernah mau menjadi seorang yang dikenal. Yang saya harapkan dengan karakter ini adalah keunikan menjadi seorang pendekar. Dan itu unik,” ujarnya.

Walaupun demikian Yakinsyah benar-benar yakin Silat Karo akan mendapatkan tempat tersendiri di tengah perubahan perubahan zaman. “Saya sangat optimis, karena jurus ndikkar Karo itu adalah jurus hidup selalu disesuaikan dengan situasi kehidupan pada zamannya. Misalnya saja dulu pesilat dilatih menghadapi babi hutan dengan dasar langkah si telu-telu. Sekarang langkah ini mampu digunakan kalau ada serangan musuh saat kita duduk di belakang meja ketika bermain catur misalnya, jurus ini kan masih dapat digunakan sepanjang masa,” tutur Yakinsyah.

Kami pun berguru

Dari pembicaraan bersama Ita itu, kami sepakat mengundang Yakinsyah, sang pendekar hadir di depan kami yang kebetulan sedang berada di Medan. Saya pastilah senang, karena ini kesempatan langka, seperti bertemu fosil dinosaurus.Tentu saja kami tak sekadar berdiskusi, mencari jawaban tetapi hendak belajar langsung beberapa jurus dasar. Kami berguru.

Pertemuan pertama pada Jumat, 29 Juli 2011 lalu jauh dari sebutan ramai. Padahal ajakan kepada teman-teman lain sudah disampaikan. Yang berminat ada 10 orang, 5 orang dewasa dan 5 lagi kaum bocah. Kami tak menyangka sang guru ternyata sudah menuliskan sebelumnya beberapa materi yang hendak diajarkan. Maksudnya supaya lebih sistematis. Tetapi, karena tahu kami buta sama sekali soal Silat Karo, terutama yang paling mendasar: mengikat sarung di pinggang, ia pun menyesuaikan cara penyampaian dengan lebih sederhana. Pertemuan kedua pada 31 Juli 2011 di malam hari “murid” yang datang berkurang, hanya 3 orang di antaranya Ita Tarigan sendiri dan Ananta Perangin-angin, jurnalis waspadaonline.com.

Apa kesan pertama bertemu pendekar Silat Karo? Yah, jujur saja sebenarnya biasa-biasa saja. Tampang pendekar yang satu ini jauh dari kesan sangar seperti jagoan Taekwondo Advent Bangun yang juga aktor film laga Indonesia itu. Pendekar Yakinsyah yang berkacamata ini rajin tersenyum dan sulit berhenti bercerita, kecuali saya “serang” dengan pertanyaan. Barangkali ini karena sudah bawaan orok dan profesinya dulu sebagai pemandu wisata. Ia juga gemar merokok dan tak lupa menenggak Coca-Cola.

Well, seperti bela diri lainnya tentu kami belajar soal kuda-kuda dulu. Kemudian dilanjutkan gerakan dasar tangan memutar mirip Tari Piring orang Minangkabau. Silat Karo mengenalnya sebagai rampung belo. Satu variasi dari gerakan itu disebut tare-tare bintang. Dalam praktiknya dengan tangan kosong satu tangan digerakkan dengan telapak tangan terbuka, jari-jari merapat. Kedua-duanya digunakan untuk menyerang lawan. Dengan gerakan serupa, menggunakan senjata hasilnya dapat dipastikan melumpuhkan lawan. Pasalnya, Silat Karo menurut Yakinsyah lebih banyak didominasi mengelak dan menyerang daripada menangkis serangan. Atau dengan kata lain, setiap kali serangan datang tidak langsung dibalas menangkis, tetapi langsung mengelak dan membalas serangan yang berefek melumpuhkan. Inilah ciri khas Silat Karo, tegas Yakinsyah.

Dalam logika saya dengan teknik seperti itu berarti menghemat gerakan karena minus menangkis, sembari mengalihkannya kepada serangan yang telak. Nah, andaikata saya menendang Yakinsyah ke arah perut dengan kaki kanan, maka ia tidak mendorong balik kaki saya ke bawah sebagai gerakan tangkisan. Yang perlu ia lakukan adalah langsung menumbukkan pangkal telapak tangan atau tinju ke arah tulang kering dengan kekuatan penuh. Efeknya, untuk sementara mungkin saya tidak bisa menginjak pedal rem sepeda motor saya.

Dalam beberapa hal, seperti bela diri lainnya, Silat Karo mampu menghimpun energi serangan lawan yang dielakkan sebelumnya dan dijadikan tambahan energi kekuatan balas. “Kalau dihitung-hitung bisa mencapai 150 persen energi,” kata Yakinsyah.

Menurut Yakinsyah Silat Karo tradisi mirip dengan silat tradisi lainnya. Tetapi, ada sedikit perbedaan dalam hal bertahan atau pertahanan. Kata “bertahan” dapat kita bayangkan menangkis setiap serangan musuh, sehingga kesannya tidak pernah menyerang. Arti itu yang jauh dari praktik. “Tepatnya ketika ada serangan pertama, pendekar selalu melangkah dan mengelak serangan. Begitu luput dari serangan pertama maka dia sudah dalam posisi menyerang. Sementara musuh dalam posisi menarik serangan dan belum sempat dalam posisi sempurna,” kata Yakinsyah.

Berladang jagung untuk Silat

Sebagai seorang pendekar yang nyaris sendiri di dunia persilatan Karo, Yakinsyah tentu sangat prihatin dengan Silat Karo yang tidak dipelihara oleh tanah kelahirannya. Sebagai warisan leluhur yang pernah berjaya, Silat Karo justru dipelajari oleh bangsa lain dengan sungguh-sungguh. Walaupun Yakinsyah bangga hanya bisa mengajarkan itu kepada orang bukan Karo dan bisa mendapatkan uang dari itu, bagi saya ada tersirat penyesalan dalam diri Yakinsyah. Tetapi, di atas semua itu mengajarkan Silat Karo kepada orang bukan Karo mungkin adalah jurus terbaik menghadirkannya ke permukaan publik daripada tidak sama sekali. Apalagi di tengah kondisi di Tanah Karo sendiri yang memang tidak memungkinkan.

Nah, seperti cerita-cerita dunia persilatan, seorang guru sulit bertahan lama di sebuah tempat meskipun sudah mendirikan perguruan dan mendapatkan banyak sahabat. Demikian pula Yakinsyah yang mengaku mulai jenuh di tinggal Belanda. Ada kerinduan yang amat sangat tergambar di wajah sang pendekar untuk kembali ke tanah kelahirannya. “Saya berniat berladang jagung sembari mendirikan perguruan Silat Karo di kampung. Sebagian hasil menjual jagung bisa dimanfaatkan mendirikan semacam padepokan,” kata Yakinsyah.

Bagi Yakinsyah menghidupkan kembali Silat Karo di tanah kelahirannya adalah sebuuah aksi. “Haris dimulai dengan dasar ekonomi yang memadai, sebab pengembangan ndikkar merupakan aksi pengembalian bagi pemiliknya, yaitu orang Karo sendiri. Jadi saya usahakan selalu memberikan latihan dengan cara gratis,” tambahnya.

Konteks Masa Lalu

Membaca nasib Silat Karo tentu saja tidak enak tanpa melihat sudut pandang antropologi, termasuk konteks sejarahnya. Dalam hal itu seorang yang tepat adalah Juara R. Ginting, Antropolog Universitas Sumatera Utara yang juga lama meneliti di Universitas Leiden, Belanda. Menurut pria yang juga Pemimpin Umum Sora Sirulo ini dalam catatan sejarah, Silat Karo pernah menjadi alat perjuangan melawan penjajah. Sebagaimana dituturkan oleh Anthony Reid dalam bukunya Revolusi Berdarah di Sumatera Timur, para pemuda pergerakan Karo di daerah sekitar Pancurbatu (Deliserdang) mendirikan beberapa perguruan silat melalui sebuah upacara yang disebut mantek gelanggang (mendirikan gelanggang). Saat upacara, sang guru silat mendemonstrasikan kemampuan silatnya kepada masyarakat dan lalu mengangkat orang-orang yang berminat menjadi murid-muridnya. Pengangkatan murid-murid dilakukan dengan bersumpah tidak mempermalukan perguruan lalu meminum darah segar ayam jantan merah langsung dari lehernya yang baru disembelih.

Kelompok-kelompok pergerakan ini sasaran utamanya adalah merebut tanah-tanah yang disewakan Sultan Deli ke perusahaan-perusahaan perkebunan asing di bawah naungan asosiasi perkebunan Deli Maschapij untuk menjadi lahan pertanian rakyat. Mereka menyebut diri Gerakan Aron yang dikoordinir organisasi-organisasi berhaluan kiri seperti halnya Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut Juara gerakan itu berlanjut hingga Jepang mengambil alih kekuasaan. Bentrokan fisik yang memakan banyak korban sering terjadi antara tentara Jepang yang mengawal perkebunan dengan aron (pemuda) yang berusaha merebut tanah-tanah perkebunan. Masih dari buku yang sama dan para orangtua Karo masih banyak yang mengingatnya, Revolusi sosial di Sumatera Timur (1945-1950) yang digerakkan oleh organisasi-organiasi pemuda berhaluan kiri, banyak digerakkan jago-jago Silat Karo. Salah satu di antaranya yang terkenal adalah Pantuk Ginting yang di kalangan bangsawan Deli dan Serdang sebagai pemimpin preman.

Pecahnya peristiwa G30S 1965 membawa malapetaka pada Silat Karo. Banyaknya pesilat-pesilat Karo yang tumbuh bersama organisasi/partai berhaluan kiri menimbulkan citra yang buruk antara belajar silat dengan ideologi kiri. Apalagi ruang gerak guru-guru silat yang umumnya berhaluan kiri dipersempit oleh pemerintah Orde Baru atau mereka dipenjarakan.

“Namun demikian, hingga tahun 1970-an, masih terdapat beberapa perguruan silat di beberapa kampung Karo. Menurut beberapa pengakuan, para remaja Karo di saat itu tertarik belajar silat untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan kota untuk melanjutkan studi. Kebanyakan mereka harus berangkat ke Kabanjahe atau Berastagi dan Tigabinanga untuk meneruskan SMA. Ada juga perguruan silat seperti di Berastepu, Kecamatan Simpangempat, Kabupaten Karo yang mempersiapkan murid-muridnya untuk menguasai terminal Kabanjahe dan nantinya Pasar Bawah Binjai,” ujar Juara.

Meningkatnya pemikiran bahwa silat semata-mata hanya untuk berkelahi, dan orang-orang yang suka berkelahi biasanya malas bersekolah, menurun pula minat orang-orang Karo untuk mengembangkan pelatihan silat. Tapi, sejak tahun 1990-an, beberapa video Karo memperlihatkan adanya penampilan ndikkar di acara-acara kerja tahun yang ternyata cukup diminati sebagai sebuah hiburan seni.

Di tahun 2000-an ini, beberapa kelompok seni di Kabanjahe menampilkan silat sebagai sebuah pertunjukan. Mereka memaksudkan itu seperti pertunjukan Silat Karo tradisional dengan menampilkan para pesilat di atas diiringi musik tradisional Karo. Akan tetapi, bagi Juara kebanyakan gerakan silat mereka menggambarkan bahwa mereka bukan belajar Silat Karo. “Mereka diajar oleh pesilat-pesilat yang memang orang Karo, tapi mempelajari silat dari salah satu perguruan silat di bawah naungan IPSI yang cabang-cabangnya ada di seluruh Indonesian,” kata Juara.

Tambah Juara lagi, mereka bukannya menampilkan filosofi pertunjukan silat tradisional Karo yang mengutamakan hubungan dengan kosmos dan alam sekitar seperti Sembah Empat Desa (Timur-Barat-Utara-Selatan). Itulah yang dipersembahkan kepada penonton, sebuah pelukisan kosmos dan alam sekitar menurut versi individual pesilat sebelum diadakan pertarungan. Pertarungan silat Karo di atas pentas mengharamkan terjadinya kontak fisik. Hanya para pesilat yang bersangkutan dan penonton yang pesilat kawakan yang mengetahui siapa sebenarnya pemenang pertarungan itu. Dengan kata lain, pertarungan silat Karo di atas panggung mengutamakan seni meskipun, namanya pun manusia, pasti ada kompetisi terselubung di antara pesilat.

Silat Karo dalam keseluruhannya adalah kekayaan budaya Karo yang perlu dilestarikan dan ditumbuhkembangkan bukan dengan cara memasukkan silat dari luar dan dicocok-cocokkan sehingga kelihatan seperti silat Karo. Akan tetapi, sebuah usaha pencarian menyeluruh atas keasliannya lalu disuburkan dengan arena modern saat ini.

Well, menunggu niat itu terkabul Yakinsyah, sang pendekar kini berkeliling mewacanakan gerakan mengenal Silat Karo ke tingkat lebih tinggi. Setidaknya upaya publikasi tertulis yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya di berbagai media bisa menjadi instrumen penting bagi laju wacana tersebut di hadapan publik. Di masa depan adalah harapan bersama komunitas Karo akan terbit sebuah kitab tentang Silat Karo sebagai jurus yang adiwacana. Ciaaattt…!!! (http://vinsensius.info)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: ndikkar karo

Ndikkar Seni Silat dan Tari Karo

13 October 2011 by karo Leave a Comment

ndikkar karo
Adalah kantor redaksi Sora Sirulo yang menjadi tempat bercengkerama sekaligus “mencicip” latihan dasar pencak silat khas Karo, pada Jumat (29/7) lalu. Walau yang hadir bisa dihitung dengan jari, setidaknya kami semua memiliki pendapat yang sama mengenai seni bela diri tradisionil (dalam bahasa Karo disebut Ndikkar). Prihatin. Yakni, mulai pupusnya identitas yang menunjukkan kami sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan nilai Timur.

“Saya lebih senang melatih Ndikkar* untuk sedikit orang, dengan niat yang sungguh-sungguh belajar,” ujar bang Yakinsyah Brahmana (47 tahun). Dalam lintas bincang kami, sempat saya mengutip bahwa dirinya adalah salah satu dari dua orang yang menguasai seni Ndikkar, tak hanya sebagai bela diri namun juga digunakan dalam tarian tradisional.

Maka, kantor redaksi ini pun disulap sementara jadi dojo mini. Kami lalu dibimbing mulai dari cara mengikat sarung (menjadi semacam sabuk) dan memasang bulang (kain penutup kepala), hingga gerak dasar Rampung Belo** dan Tare-tare Bintang.

yakinsyah brahmana

Dalam seni beladirinya, Ndikkar digunakan untuk menyambut serangan lawan. Dijelaskan bang Yakinsyah, teknik yang dijunjung Pandikkar, atau mereka yang menguasai Ndikkar, ialah menjatuhkan lawan dengan menggandakan daya tolak lawan dengan tenaga dari Pandikkar sendiri. “Kita tidak menyerang lawan, tetapi memanfaatkan setiap celah untuk menjatuhkannya,” imbuh abang yang juga dikenal dengan nama Kawar ini***.

Keluwesan gerak tangan dalam Ndikkar sepintas mirip dengan tari piring dari Padang, Sumatera Barat. Karenanya, dalam latihan perdana ini bang Yakinsyah meminta kami menggunakan piring kecil. Menjaga keseimbangan piring saat digerakkan memutar dari pinggang hingga ke atas kepala adalah agar terbiasa bila menerapkan Ndikkar secara tangan kosong, katanya.

“Sebenarnya ada 48 jurus mayan,” kata bang Yakinsyah. Dia melanjutkan, para muridnya di Belanda telah mempelajari jurus pertahanen, langkah 2, langkah 7, tare-tare bintang, jile-jile sarudung, pertahanen harimau, pertahanen pedi, dan sebagainya. “Setidaknya para siswa sudah dapat buang lepas****.”

Dia juga mengatakan, di masa perjuangan melawan penjajah, para Pandikkar biasa mengirim sandi-sandi khusus melalui gerakan yang sudah saling dimahfumi sesama mereka. Jika dibandingkan, mungkin mirip dengan sandi bendera Pramuka saat ini.

Ndikkar, ‘harimau’ yang tertatih

Kembali pada bincang-bincang mengenai keprihatinan kami atas Ndikkar ini, bang Yakinsyah juga mengakui bahwa minat pemuda Karo untuk mempelajari Ndikkar kian tergerus seiring zaman. Laiknya harimau yang tertatih, generasi muda Karo yang mestinya menopang keharuman Ndikkar cenderung mengabaikan harta budaya dan seni tradisional ini.

Sikap berbeda malah ditunjukkan generasi muda dari Negara Kincir Angin, Belanda. “Setidaknya lebih dari 200 orang telah belajar ndikkar Karo disini, oleh sebab itu suatu saat bisa saja pandikkar-pandikkar akan datang dari Belanda ini dan kita akan belajar dari mereka,” kata bang Yakinsyah.

yakinsyah sembiring brahmanaBang Yakinsyah mengajar Ndikkar di sebuah sekolah Kristen Oikumene di Groningen Belanda, yaitu Dom Helder Camara, Oecumunes Bassies Schooler, Noord Netherlands. Para siswa SD di sekolah tersebut merasa bangga dapat mempelajari dan mempraktekkan Ndikkar tersebut.

Bang Yakinsyah sendiri banyak belajar gerakan-gerakan mayan dari beberapa guru mayan Karo sejak tahun 1981 hingga tahun 1992, ketika dia masih berprofesi sebagai tourist guide di Berastagi dan Sungai Alas. Beliau belajar dari beberapa guru, seperti Seter Sembiring (Lau Baleng), Pa Kuling-Kuling atau Menet Ginting (Lau Cimba), Pa Johan Barus (Pendekar Buntu), Belat Tarigan (Kaban), Tagok Peranginangin (Lau Buluh), dan berbagai informasi dari Ginting Capah (Sibolangit) dan Tukang Ginting (Berastagi).

Menurutnya, sikap enggan untuk membagikan pengetahuan Ndikkar adalah akar dari fenomena hilangnya seni beladiri ini di buminya sendiri. “Banyak dari kita yang hanya mengajarkan 7 jurus, padahal dia tahu 10 jurus. Ini amat berbeda dari masyarakat Eropa yang terus berupaya mengimprovisasi 10 jurus tadi menjadi lebih banyak.”

Bang Yakinsyah pun tak sungkan mudik, guna menerima undangan Sora Sirulo, untuk memberi pelatihan Ndikkar bagi sejumlah kaum muda yang berminat mempelajarinya. Selain di Medan, dia juga memberi bimbingan serupa di Desa Limang, Kabupaten Tanah Karo.

“Sekarang ini, saya beri latihan dasar dulu. Namun, saya yakin kita bisa belajar hingga konsep gerak tariannya,” tuturnya kepada kami, pada Minggu (31/7) lalu, yang menyusut pesertanya dari 8 orang hingga 3 orang saja.

Meski sedikit, bang Yakinsyah berharap pengetahuan Ndikkar ini tidak terkubur, namun terus disebarkan ke banyak generasi muda dalam negeri sendiri. Sebuah gebrakan yang mengingatkan pada perkataan Presiden Soekarno: “… Tetapi betapa pun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama, dan itu mulai kami lakukan.”

Setidaknya, upaya menjaga sang ‘harimau’ tetap mengaum bangga di bumi sendiri: Sumatera Utara, Indonesia. (sumber : bloggersumut)

Filed Under: Seni dan Budaya Tagged With: belajar ndikkar, erlajar ndikkar, ndikkar karo

Sopir Ngantuk Menyebabkan Mobil Masuk Jurang

13 October 2011 by karo Leave a Comment

mobil masuk jurang

Tiga orang meninggal dunia sementara dua lainnya menderita luka berat, setelah mobil yang ditumpangi para korban masuk jurang di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.Kecelakaan itu terjadi diduga akibat supir mengantuk saat mengemudikan mobil.

Kecelakaan naas ini terjadi di kilometer 35 jalan Sidikalang, Kabanjahe, yang berada di Desa Pengambatan, Kecamatan Merek, Karo atau sekitar 110 kilometer dari ibukota Medan, Sumut.

Saat melintasi di kawasan tersebut sekitar pukul 05.30 WIB, mobil Daihatsu Xenia bernopol BK 1829 KO yang dikemudikan Zainal Arifin tidak bisa dikendalikan dengan baik, dan langsung masuk ke jurang sedalam sekitar 200 meter.

“Mobil tersebut dalam perjalanan dari Aceh menuju Medan. Kemungkinan besar penyebab kecelakaan karena supirnya mengantuk, namun hal ini masih dalam penyelidikan lebih lanjut,” kata Kepala Kepolisian Resor (Polres) Karo, AKBP Agung Prasetyoko kepada wartawan, hari ini.

Disebutkan Agung, para korban yang tewas dalam kejadian ini masing-masing, Zainal Arifin (45), pengemudi mobil yang beralamat di Meulaboh, Aceh Barat, sementara dua lagi warga Kampung Semut, Kota Tebing Tinggi, Sumut, yakni Dian (17) dan Asmidar (54).

Sementara dua korban yang mengalami luka parah, yakni M. Diah (59) penduduk Meulaboh. Dia mengalami luka robek di hidung, kening, lecet induk jari kaki sebelah kanan, pinggang patah, mata memar sebelah kiri, luka memar di dagu, dan luka robek di alis mata sebelah kiri. Sedangkan Reza (19) asal Kampung Semut, Tebing Tinggi, mengalami luka robek pada bagian kepala dan luka di tangan kiri.

Para korban yang selamat sempat dirawat Puskesmas Merek sebelum mendapat perawatan yang lebih serius di rumah sakit. Sementara para korban tewas selanjutnya dibawa ke rumah sakit setempat untuk kepentingan visum.(sumbaronline)

Filed Under: Berita Baru Tagged With: kecelakaan, meninggal dunia

  • « Go to Previous Page
  • Page 1
  • Interim pages omitted …
  • Page 25
  • Page 26
  • Page 27
  • Page 28
  • Page 29
  • Interim pages omitted …
  • Page 57
  • Go to Next Page »

Primary Sidebar

Darami Artikel

Simbaruna

  • Update Kamus Karo Online
  • Aplikasi Android Kamus Karo bas Play Store
  • Salah Penggunaan Istilah Untuk Orang Karo
  • Persiapen Perjabun Kalak Karo
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android

Komentar

  • Leo Perangin angin on Kebun Tarigan dan Gendang Lima Puluh Kurang Dua
  • karo on Website Kamus Karo Online
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Myna on Gelar Uru-urun Merga ras Beru Kalak Karo
  • Apinta perangin angin on Budaya Karo dalam Ekspresi Seni Lukis Modern Rasinta Tarigan

Categories

RSS Lagu Karo

  • La Kudiate
  • Percian
  • Rudang Rudang Sienggo Melus
  • Sayang
  • Nokoh

RSS Dev.Karo

  • Radio Karo Online v2.9
  • Kamus Karo v.1.2
  • Update Radio Karo Online 2.4
  • Bene bas Google nari
  • Aplikasi Lirik Lagu Karo Bas Android
  • Relaunching Situs Sastra Karo
  • Traffic Mulihi Stabil
  • Upgrade Server Radio Karo

Copyright © 2025 · Genesis Sample on Genesis Framework · WordPress · Log in

  • Home